Liputan6.com, Jakarta - Kasus perundungan di sekolah merupakan salah satu masalah kompleks yang butuh solusi komprehensif. Menyoroti ini dalam satu kacamata besar, GREDU, perusahaan teknologi pendidikan, percaya bahwa ketika anak yang terlibat dalam kasus perundungan, entah sebagai pelaku maupun korban, keduanya adalah korban.
Menurut Goldi Senna Prabowo, aktivis anti-bullying dan inisiator organisasi Sudah Dong Malang, dalam keterangan resmi yang diterima Liputan6.com, Rabu, 28 April 2021, anak cenderung jadi perundung karena lingkungan rumah yang kurang kondusif, ingin menunjukan popularitas atau status sosial, tekanan lingkungan, pembalasan akan intimidasi sebelumnya, kurang rasa empati, dan kurang perhatian.
Dampaknya, anak yang mengalami perundungan cenderung depresi, perubahan pola hidup, serta kesehatan dan prestasi yang menurun akibat kecemasan terkait perundungan tersebut. Dampak yang sama tidak hanya terjadi pada korban, tapi juga pelaku dan saksi perundungan.
Advertisement
Bila tidak ada penanganan khusus atau menyeluruh, perundung dapat memasuki dunia kriminalitas lebih besar. Sedangkan untuk saksi perundungan dapat menyebabkan trauma.
Baca Juga
Perundungan punya pemahaman yang luas. Candaan yang dapat dikatakan perundungan, kata Goldi, adalah ketika terdapat salah satu pihak yang merasa tidak nyaman dan kejadian maupun perkataan candaan terjadi secara berulang kali.
Berdasarkan pengalaman Goldi yang dirundung sewaktu Sekolah Dasar (SD), bercanda memang kerap jadi kedok perundungan. Bahkan, orang dewasa yang mengetahui perundungan terjadi sering kali hanya menganggap bahwa hal tersebut sebagai "candaan anak dan kenakalan yang wajar."
Menanggapi hal ini, Prameshwari Sugiri dari KumparanMOM, mengatakan bahwa anak dan orangtua mestinya memiliki definisi sama akan perundungan dan telah disepakati sebelumnya. Di samping, orangtua juga harus mau belajar bahwa bentuk-bentuk perundungan berubah seiring zaman, terlebih di era serba digital seperti sekarang.
Agita Pasaribu, pendiri Bullyid App, pun sepakat. Ia menjelaskan bahwa untuk saat ini, perundungan belum memiliki definisi yang konkret menurut undang-undang dan tenaga ahli, sehingga bisa dimaknai sangat luas dan didefinisikan dengan beragam.
Cyberbullying, sambungnya, memiliki keterlibatan lebih sedikit, tapi dampak lebih besar dibanding perundungan secara langsung. Pasalnya, pelaku tidak merasa bersalah karena tidak mengungkap identitasnya pada korban, bisa terjadi kapan dan di mana saja, mudah untuk viral, serta meninggalkan jejak digital.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Macam-Macam Cyberbullying
Agita memaparkan berbagai jenis dan tingkatan dari cyberbullying, yaitu flaming atau pertengkaran yang melibatkan kemarahan melalui pesan elektronik. Kemudian, harassment atau melontarkan pesan buruk, ancaman, maupun hinaan yang kejam secara berulang kali.
Disusul denigration atau tindakan membenci maupun menghina seseorang dengan cara mengirim atau memuat rumor yang merusak reputasi. Lalu, impersonation atau memalsukan akun dan berpura-pura jadi orang lain. Ada pula revenge porn atau menyebarkan konten pribadi seseorang.
Live streaming child sexual abuse atau memaksakan dengan kekerasan agar anak melakukan hal seksual, lalu ditayangkan pada publik. Terakhir, child grooming, yaitu upaya menjalin hubungan dengan maksud memanipulasi, eksploitasi, dan melecehkan seseorang. Kasus child grooming paling banyak terjadi melalui gim daring pada anak-anak, sedangkan media sosial untuk remaja.
Agita menambahkan bahwa setiap orang memiliki reaksi berbeda ketika mengalami perundungan, sehingga untuk ciri-ciri dan dampak perundungan untuk setiap orang pun berbeda. Ada anak yang tidak merasa dirundung ketika diejek teman, tapi dalam kadar yang sama, ada anak yang sampai tidak semangat belajar.
Dalam kasus lain, ada anak yang tidak memperlihatkan perubahan pola tingkah laku di rumah, tapi kesulitan bergaul di sekolah akibat perundungan. Di sinilah peran guru sebagai orangtua kedua dibutuhkan. "Jadi, selain mengajar yang berlandaskan kurikulum, guru harus mampu mengenali murid-muridnya, terutama ketika terjadi perubahan sikap pada anak," ujar Agita.
Advertisement
Membangun Karakter Anti-Perundungan
Sebagai orangtua, Imesh, sapaan akrab Prameshwari Sugiri, menyarankan untuk membangun karakter anti-perundungan sejak dini. Pola asuh yang baik sangat dibutuhkan untuk mencegah tindakan merundung atau dirundung.
"Orangtua perlu menekankan pada anak bahwa mereka menyenangkan, dicintai, berharga, kuat dan hebat, serta tetap kuat dan hebat tanpa merendahkan yang lain," kata Imesh.
Goldi juga menegaskan bahwa orangtua harus mengenali anaknya, karena setiap anak memiliki masalah dan reaksi yang berbeda pada setiap permasalahan. Penting bagi orangtua untuk mengetahui cara tepat membantu anak dalam menghadapi masalah tersebut.
Sependapat dengan Goldi, Imesh mengatakan bahwa selain pola asuh, pola komunikasi juga sangat penting. Keberadannya akan menciptakan keterbukaan anak yang nantinya membantu orangtua mengenali, memberi pengarahan, kekuatan, dan mengembangkan keterampilan anak.
Di samping, menerapkan budaya yang baik di rumah pun tidak kalah penting, seperti tidak pernah menjatuhkan pencapaian anak, menumbuhkan rasa kepedulian, dan menumbuhkan dukungan tanpa menjatuhkan.
Ini juga mesti dibarengi dengan lingkungan sekolah yang mendukung. Menurut Imesh, penanganan perundungan di sekolah kurang tepat bila hanya menangani permasalahan yang telah terjadi.
Sekolah sebaiknya melakukan pencegahan sebelum perundungan terjadi. Cara yang dapat dilakukan, yakni membudayakan kebiasaan baik di sekolah, tidak hanya untuk antar murid, tapi untuk semua yang terlibat di lingkungan sekolah.
Eksploitasi Seksual Anak
Advertisement