Liputan6.com, Jakarta - Motif batik berlatar hitam berwarna sogan dengan motif burung menghiasi Google Doodle hari ini, Selasa (11/5/2021). Gambar tersebut ternyata dipersembahkan untuk Go Tik Swan yang tengah merayakan ulang tahun ke-90. Siapakah dia?
Go Tik Swan merupakan pelopor Batik Indonesia. Dikutip dari artikel Intisari yang tayang pada Juni 1998, ia merupakan seorang pria keturunan Tionghoa yang lahir pada 11 Mei 1931. Sejak kecil, ia diasuh kakek dari pihak ibunya, Tjan Khay Sing, yang merupakan produsen batik yang mapan di Solo.
Advertisement
Baca Juga
Sang kakek memiliki empat lokasi pembatikan, dua di Kratonan, satu di Ngapeman, dan satu di Kestalan. Total karyawan yang bekerja padanya saat itu sekitar seribu orang.Â
"Semasa kecil, saya bermain di antara tukang cap, bocah ngerok-ngumbah (anak yang melepaskan lilin atau malam dari kain dan mencucinya), wong nyoga (orang yang membubuhkan zat warna cokelat dari kulit pohon soga), dan pengobeng batik (orang yang menggambari kain dengan canting yang mengalirkan malam)," cerita KRT Harjonagoro, gelar yang diberikan Keraton Solo kepadanya.
Go Tik Swan bersekolah di Neutrale Europesche Lagere School, yaitu sekolah Belanda untuk anak-anak pembesar Belanda, anak-anak ningrat, dan anak-anak pemuka masyarakat. Ia bisa bersekolah di sana lantaran baik keluarga dari pihak ayah maupun ibunya adalah pemuka masyarakat Tionghoa. Ayahnya cucu Lieutenant der Chinezen (pemimpin masyarakat Cina setempat, berpangkat letnan tituler) dari Boyolali, sedangkan ibunya cucu Lieutenant der Chinezen dari Surakarta.
Di sekolah, ia bergaul dengan anak-anak pembesar, seperti putra Paku Buwana XI, Bendoro Raden Mas Soerjo Goeritno, yang kemudian jadi Sri Susuhunan Paku Buwana XII dari Surakarta. Ia juga akrab bergaul dengan Pangeran Hamidjojo, putra Paku Buwana X yang membangkitkan minat Go Tik Swan pada karawitan Jawa. Meski begitu, ia mengaku tak canggung bergaul dengan orang-orang desa selama tinggal di rumah sang kakek.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bertemu Bung Karno
Setelah lulus dari VHO (Voortgezet Hoger Onderwijs, sebuah SMA) di Semarang, orangtuanya ingin ia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tetapi, Go Tik Swan diam-diam masuk jurusan Sastra Jawa di Fakultas Sastra UI. Selama menimba ilmu di Fakultas Sastra, ada dua mahaguru yang memberi pengaruh besar padanya, yakni Profesor Dr. Tjan Tjoe Siem, seorang ahli sastra Jawa lulusan Leiden yang berasal dari Solo, dan Profesor Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka, seorang autodidak yang legendaris.
"Saat belajar di Jakarta, paling tidak, seminggu tiga kali saya datang ke rumah Pak Poerba yang saat itu tinggal di Jl. Sumenep. Di sana saya latihan menari dibimbing Pak Kodrat dan Pak Wiradat, adik-adik beliau. Lalu, dalam Dies Natalis U.I. kami diundang menari di istana," kata Go Tik Swan pada Intisari.
Kepiawaiannya menari menarik perhatian Presiden RI pertama, Bung Karno. Ia terkesan karena ada pemuda keturunan yang bisa menarikan tarian Jawa dengan baik. Bung Karno pun mengetahui bahwa keluarga Go Tik Swan Hardjono turun-temurun mengusahakan batik.
Ia lantas menyarankan agar Go Tik Swan yang sudah dipanggil Hardjono untuk menciptakan "Batik Indonesia." Ia memutuskan pulang kampung untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.
Ia beruntung karena disayangi oleh ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola-pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lain digalinya dan dikembangkan tanpa menghilangkan ciri dan makna yang hakiki.
Pola yang sudah dikembangkan itu diberinya warna-warna baru yang cerah, bukan hanya cokelat, biru, dan putih kekuningan seperti yang lazim dijumpai pada batik Solo-Yogyakarta. Lahirlah yang disebut "Batik Indonesia."
Saat itu, warna-warna cerah hanya dipakai pada batik Pekalongan, namun motif batik Pekalongan kebanyakan buketan (karangan bunga aneka warna) yang berbeda sekali dari motif batik Vorstenlanden (Solo dan Yogyakarta) yang biasanya sarat makna.
Advertisement
Rebutan Wanita Kelompok Atas
Terobosan baru berlatar belakang pemahaman yang mendalam tentang falsafah batik, selera yang baik dalam merancang pola, komposisi dan warna, serta kehalusan pengerjaannya membuat batik Go Tik Swan menjadi rebutan kaum wanita golongan atas. Ia juga dibantu pemasarannya oleh Ibu Soed, penggubah lagu anak-anak yang dekat dengan Bung Karno dan luas pergaulannya.
Saat ini, banyak batik Harjonagoro jadi koleksi museum-museum di Eropa, Amerika, Australia, maupun koleksi pribadi orang-orang yang menghargai batik bermutu tinggi. Di masa kepresidenan Bung Karno, setiap ada tamu negara datang, Go Tik Swan sebagai anggota Panitia Negara Urusan Penerima Kepala Negara Asing bertanggung-jawab menyelenggarakan pameran batik di Istana Negara.
Setelah Soekarno meninggal, Go Tik Swan sempat kehilangan gairah merancang batik. Ia bahkan merasa tersisih, tidak dihargai, dan jerih payahnya sia-sia. Hardjono kemudian melancarkan protes berupa batik kembang bangah.
"Kembang bangah adalah bunga yang tumbuh di comberan. Karena mekar di tempat kotor dan berbau busuk, ia dijauhi orang," cerita Harjonagoro.
Ternyata kreasinya itu mendapat banyak penghargaan sehingga harapannya tumbuh kembali. "Pola kembang bangah ini kebanggaan saya," katanya.
Susuhunan Paku Buwana XII menganggap Hardjono Gotikswan berjasa besar terhadap kebudayaan Jawa dan Keraton Surakarta. Sunan menganugerahinya gelar bupati karaton kasunana, bahkan Bupati Sepuh, selain bintang jasa Sri Kabadya III. Sejak itu, Hardjono Gotikswan yang "Jawa lahir batin" itu dikenal sebagai Kanjeng Raden Tumenggung Harjonagoro.
Tentang nama Harjonagoro itu ada latar belakangnya. Kakek Buyut Hardjono Gotikswan, Tjan Sie Ing, yang Luitenant der Chinezen van Soerakarta itu merupakan orang pertama yang mendapat pacht (hak sewa) atas pasar yang paling besar di Surakarta, yaitu Pasar Harjonagoro.
Â
Batik-Batik Dunia
Advertisement