Sukses

Cerita Akhir Pekan: Kapan Teh Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri Seperti Kopi?

Padahal, Indonesia merupakan produsen teh terbesar ke-7 di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Kebanyakan orang Indonesia telah mengenal teh, tapi komoditas ini sayangnya belum jadi tuan rumah di negeri sendiri. Ahli Peneliti Utama di PT Riset Perkebunan Nusantara, Dr. Rohayati Suprihatini, dalam jumpa pers pekan lalu, menyebut bahwa konsumsi teh orang Indonesia rendah, di mana rata-rata setiap orang hanya minum setengah gelas per hari, terlepas fakta bahwa kita adalah produsen teh terbesar ke-7 di dunia.

Ahli teh, Ratna Somantri, mengatakan, sebenarnya saat bicara tentang teh, siapa yang tidak kenal teh di Indonesia? "Hampir semua rumah pasti punya teh di rumahnya. Hampir semua orang Indonesia kenal teh, rasanya tidak ada yang tidak suka teh," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Selasa, 25 Mei 2021.

"Kalau kopi, meski sangat tren, tapi tidak semua orang Indonesia suka atau bisa minum kopi. Yang jadi permasalahan dengan teh di Indonesia adalah teh dianggap sebagai minuman biasa saja, murah," imbuhnya. Contoh sederhana yang diberikan Ratna adalah teh tawar di warung-warung umumnya gratis atau lebih murah dari minuman kemasan.

"Hal ini dulu juga terjadi pada kopi, kopi dianggap minuman 'pekerja kasar' sopir truk, diminum di warung-warung, cewek enggak ngopi, ngopi itu cowok sambil ngerokok. Tapi, sekarang minum kopi jadi gaya hidup, sosialita pun ngopi," urainya.

Belum teradopsinya teh ke dalam gaya hidup, menurut Ratna, itu terjadi karena teh di Indonesia dianggap murah, mengingat teh yang beredar luas adalah teh murah dengan grade rendah. "Karena tidak seperti di China, Jepang, dan Inggris yang pertama kali mengenal teh dari kalangan bangsawan, teh dibawa masuk dan dibudidayakan orang-orang Belanda," paparnya.

Itu, sambung Ratna, dilakukan dengan membuka perkebunan-perkebunan teh di Indonesia untuk diekspor ke Eropa, yang mana saat itu teh jadi minuman para bangsawan dengan harga mahal. "Masyarakat kita hanya meminum teh yang tidak bisa dijual (ke Eropa), tidak diajari tata cara minum teh, hanya jadi penanam teh di kebun-kebun teh yang awalnya milik Belanda," tuturnya.

Di samping itu, konsumsi teh, menurut pemilik House of Tea, Satria Gunawan Suharno, di Indonesia belum jadi budaya. "Minum teh hanya sekadar pelepas dahaga atau minuman setelah makan-makan khusus," ucapnya melalui pesan, Selasa, 25 Mei 2021.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 5 halaman

Catatan Produksi Teh Indonesia

Soal potensi teh Indonesia, kata Gunawan, sebenarnya sangat besar. "Mengenai jenis (teh), sangat variatif tergantung selera," tuturnya. Kendati, Ratna menyambung, produksi teh di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, menurun akibat jumlah lahan perkebunan teh yang menurun akibat alihfungsi karena dianggap kurang menguntungkan atau produktivitasnya rendah.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengutip laman resminya, angka produksi teh dari berbagai provinsi di Indonesia cenderung stagnan. Pada periode 2016--2020, jumlah produksi teh tercatat 138.935, 146.251, 140.236, 137.803, dan 138.323.

Selain Jawa Barat yang mencacatkan produksi teh tertinggi, beberapa provinsi lain penghasilnya, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian di situs web resminya, luas perkebunan areal teh tahun 2014 yang mencapai 118.899 hektare, turun jadi 104.420 hektare pada 2018.

Sementara, menurut catatan Badan Pusat Statistis (BPS), selama tahun 2015--2019, teh Indonesia yang diekspor sebagian besar merupakan teh hitam, yakni sekitar lebih dari 80 persen. Tercatat pada 2019, volume ekspor teh hitam mencapai 36.368 ton atau 84,95 persen terhadap total volume ekspor teh dengan nilai ekspor sebesar 77,1 juta dolar Amerika Serikat (AS).

Di sisi lain, Ratna mencatat, adanya tren kenaikan produksi teh Indonesia yang masuk ke dalam kategori "Specialty Tea," yakni teh dengan kualitas lebih baik, yang dipetik dari daun pilihan menggunakan metode pengolahan tertentu untuk menghasilkan seduhan teh yang khas.

"Mayoritas produksi teh indonesia adalah broken grade, untuk teh celup, teh siap konsumsi, dan teh keringan untuk supply produksi teh wangi konsumsi domestik, yang mana harga teh jenis ini rendah, rata-rata Rp20 ribu sampai Rp30 ribu per kilogram (kg)," ujarnya.

"Sedangkan specialty tea bisa dijual dengan harga (Rp)150 ribu sampai (Rp)1,6 juta per kg. Ini masih murah jika dibanding harga specialty tea di China, Jepang, dan Taiwan. Di sana, harga teh jutaan per kg adalah hal yang umum," kata Ratna.

Ia menyambung, ada beberapa specialty tea Indonesia yang telah memenangkan penghargaan international, seperti teh oolong dari kebun teh Harendong di Lebak, teh hitam dari kebun teh bukitsari di Ciwidey, serta teh merah dari kebun teh Pasir Canar di Cianjur.

3 dari 5 halaman

Mengapa Konsumsi Teh Cenderung Rendah?

Salah satu yang membuat konsumsi teh rendah, kata Ratna, adalah cara minum teh yang kurang tepat. "Kebiasaan di masyarakat kita, teh diseduh dalam satu teko untuk satu keluarga seharian, hanya ditambah airnya, tehnya terus diseduh selama warnanya masih merah atau cokelat, padahal itu bukan cara seduh yang tepat karena aroma, rasa, dan khasiat tehnya sudah berkurang," tuturnya.

Ditambah, tren yang ada sekarang, banyak minuman disebut teh, tapi justru tidak memanfaatkan teh karena memakai herbal atau hanya memakai perasa teh. "Plus kesan teh itu tidak tren, kalah sama kopi, jadi ancaman anak-anak muda akan enggak minum teh lagi," imbuh Ratna.

Yang harus dillakukan dalam mengatasi itu, pertama, edukasi tentang teh, terutama cara menyeduh yang benar. Kemudian, menginsiasi teh jadi relevan dengan gaya hidup kaum urban dan milenial. Misal, lewat tea blending, tea mixology, dan tea pairing.

"Sebarkan kebaikan teh. Teh itu minuman yang sudah ribuan tahun dikenal baik untuk kesehatan. Sekarang ini makin banyak orang mau hidup sehat, teh adalah pilihan tepat untuk dijadikan bagian dari gaya hidup sehat. Perlu lebih banyak kampanye tentang teh itu sehat disertai ketersediaan produk teh yang cocok," ucapnya.

Prinsip "tak kenal maka tak sayang" juga diungkap Gunawan. Menurutnya, sudah banyak masyarakat teh yang berusaha mengenalkan teh, namun di sisi lain, yang mencari info tentang hal itu masih dari kalangan terbatas.

4 dari 5 halaman

Jadi, Kapan Teh Bisa Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri Seperti Kopi?

"Teh Indonesia bisa berjaya di dalam negeri jika masyarakatnya sudah semakin mengenal teh. Karena saya sangat yakin, jika orang sudah mengenal teh, tahu bagaimana memilih teh yang baik dan menyeduh dengan baik, tahu bahwa teh itu banyak banget khasiatnya untuk tubuh, tahu bahwa teh itu ada banyak sekali ragamnya, sudah mencoba specialty tea yang punya aroma dan flavor yang wow, tahu cerita, budaya, dan sejarahnya, pasti akan sangat suka teh dan mau terus mengulik tentang teh," tutur Ratna.

Per gelas teh, sambungnya, memang secara "hitungan kasar" lebih mahal dari kopi. "Tapi, kalau dihitung cost per cup, teh jadi ekonomis karena satu kali seduh hanya pakai 2--3 gram untuk 200 ml dan itupun bisa diseduh 2--3 kali," katanya.

"Jadi, biasanya di kelas-kelas teh untuk pengusaha teh, saya anjurkan agar mencoba mengenalkan teh yang sudah cukup bagus, tapi harganya masih terjangkau. Tapi, sediakan juga teh-teh berkualitas lebih tinggi dengan harga lebih mahal untuk menunjukkan bahwa teh itu beragam dan teh yang bagus itu enggak murah. Seduh yang mahal-mahal ini dengan teknik spesial agar ada experience," urainya.

Sementara, menurut Gunawan, kenaikan popularitas teh di dalam negeri hanya masalah waktu. "Menurut saya itu jadi tidak peting (menyamakan tingkat popularitas teh dengan kopi). Yang sangat penting adalah mari bersama kita mencintai produk dalam negeri. Mengenai kualitas, saya pribadi siap head to head dengan produk luar. Saya tunggu di meja seduh saya. Salam PETANI (PEncinta Teh Asli Negri Ini)," tandasnya.

5 dari 5 halaman

Infografis Teh Artisan Lokal Gaet Pasar Kekinian