Liputan6.com, Jakarta - Saat ini desa wisata telah menjadi tren pariwisata dunia yang menawarkan pengalaman liburan otentik di tengah lingkungan santai dan sehat. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bahkan menjadikannya titik awal kebangkitan sektor pariwisata di tengah pandemi.
Dari 244 desa wisata yang ada, saat ini terdapat 16 Desa Wisata Berkelanjutan. Penerapan standar berkelanjutan berfokus kepada tiga aspek keberlanjutan yaitu sosial, lingkungan, dan ekonomi. Dari 16 Desa Wisata Berkelanjutan itu, dua di antaranya menonjol dan terkenal, baik di Indonesia maupun di mancanegara, yakni Desa Wisata Berkelanjutan Nglanggeran di Gunungkidul, Yogyakarta, dan Penglipuran di Bangli, Bali.
Advertisement
Baca Juga
Awalnya, Nglanggeran merupakan Gunung Api Purba yang terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta. Kawasan gunung ini memiliki luas 48 hektare.
Proses panjang mereka jalani sehingga tempat wisata itu menjadi desa wisata. Diawali oleh para pemuda Karang Taruna Desa Nglanggeran, dengan menanamkan rasa memiliki dan mencintai lingkungan kepada masyarakat sekitar.
Aksi bersama kemudian dilakukan pada 1999. Kemudian, mereka bergerak secara intens sejak 2006 untuk mengembangkan Nglanggeran sebagai desa wisata. Saat ini, Desa Wisata Nglanggeran sudah jadi bagian Jaringan Taman Bumi Global (Global Geopark Network) oleh UNESCO.
Saat itu, dengan menjaga alam dan lingkungan sebagai lahan konservasi, mereka mengikutsertakan masyarakat sekitar untuk melayani wisatawan dengan baik, dengan menerapkan Sapta Pesona. Sapta Pesona memiliki unsur yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan.
"Dari situ kemudian Nglanggeran berkembang menjadi desa wisata yang tidak hanya mengandalkan alam, tapi juga menjadikan kegiatan masyarakat sebagai atraksi," ujar Sekretaris Desa Wisata Nglanggeran Sugeng Handoko saat dihubungi Liputan6.com, Rabu, 3 Juni 2021.
Menurut Sugeng, keunggulan Desa Wisata Nglanggeran karena aktivitasnya yang beragam. Selain wisata edukasi, desa ini juga memiliki wisata petualangan, seperti trekking, panjat tebing, traveling, turun dari tebing.
"Kami juga bersyukur kawasan kami yang outdoor dan luas menjadi lokasi yang dicari oleh wisatawan di masa pandemi, sehingga bisa memberikan keuntungan sendiri bagi desa wisata, khususnya mereka yang mempunyai kegiatan atau aktivitas outdoor," imbuh Sugeng.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Manfaat Ekonomi
Desa Wisata Nglanggeran telah disertifikasi atau pengakuan sebagai Desa Wisata Berkelanjutan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan oleh Kemenparekraf pada Maret 2021. Salah satu poinnya adalah adanya kelembagaan atau organisasi yang mengelola Nglanggeran.
Selain itu, keberlanjutan lingkungan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan menjaga lingkungan. Kegiatan pariwisata itu memberikan manfaat ekonomi, sosial, bahkan budaya, serta perencanaan dalam pengembangan Nglanggeran.
"Kami juga melakukan edukasi kepada masyarakat maupun wisatawan yang datang terkait lingkungan sehingga orang yang datang atau mengunjungi desa kami dapat terbuka wawasan dan mindsetnya. Mereka akan lebih memberikan dampak positif terhadap lingkungan," ujar Sugeng.
Selain konservasi lingkungan, mereka juga berinovasi mengembangkan kegiatan bersama masyarakat dalam membuat paket-paket wisata. Dampak ekonominya sangat luas bagi masyarakat, bahkan mereka mengembangkan usaha produktif yang ada di desa, contohnya homestay yang anggotanya sebanyak 80 orang.
"Mereka masing-masing punya rumah yang bisa disewakan untuk wisatawan. Selain itu, ada 23 pedagang. Kami juga mempunyai kelompok pengolahan kakao yang bisa dijadikan atraksi wisata, dari hulu sampai hilir dari bahan baku hingga produk jadi," tutur Sugeng.
Di Nglanggeran, tutur Sugeng, wisatawan bisa datang berkebun, belajar menanam, memetik, hingga belajar mengolah kakao hingga menjadi produk jadi. "Kami juga mempunya kelompok ternak kambing etawa bersama masyarakat yang produknya bisa dibeli oleh wisatawan," ujar Sugeng.
Dengan konsep pariwisata yang diintegrasikan dengan masyarakat, masyarakat mendapat dua kali keuntungan. Pertama, ketika dikunjungi wisatawan dan menjadi atraksi mereka mendapat tambahan penghasilan. "Kedua, mereka bisa menjual produknya secara langsung kepada wisatawan dengan harga yang lebih baik karena mereka yang datnag biasanya mengapresiasi dengan lebih," kata dia.
Advertisement
Desa Wisata Berkelanjutan Penglipuran
Berkunjung ke Bali tak lengkap jika tak mampir ke salah satu desanya yang indah dan bersih, Desa Wisata Penglipuran. Desa ini di terletak Kabupaten Bangli dan merupakan desa adat yang menjadi primadona pariwisata di Bali.
Penglipuran terletak di tengah-tengah Pulau Bali. Posisinya antara dataran tinggi Kintamani dan dataran rendah Pantai Lebih. Oleh karena itu, suhu udara di Penglipuran tergolong sejuk. Pepohonannya rindang dan hijau membuat wisatawan nyaman di tempat ini.
Desa ini juga mengantongi predikat sebagai salah satu desa terbersih di dunia. Saat menjejakkan kaki ke desa ini, tak ada satu pun sampah yang terlihat maupun berserakan.
"Tempat ini dijadikan objek wisata desa tradisional sejak 1993. Sementara, sebagai desa wisata dideklarasikan pada 2012," kata pengurus Desa Wisata Penglipuran, Nengah Moneng, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 3 Juni 2021.
Desa Wisata Penglipuran juga memberdayakan masyarakat. Mereka dilibatkan dalam pengelolaan pariwisata, seperti sebagai karyawan.
"Banyak juga masyarakat yang menjual suvenir, pengrajin. Ada juga yang bergerak di bidang kuliner hingga sebagai pemilik homestay. Di sini tersedia 30 kamar untuk disewakan," kata Nengah.
Bagi Nengah, sebagai desa wisata, masyarakat sebagai subjek yang ikut terlibat dalam pengembangan desa. Mereka bisa beraktivitas, berkreasi, untuk memanfaatkan desa adatnya sebagai desa wisata.
"Dengan melibatkan masyarakat, mereka dapat menangkap peluang-peluang yang sudah kami persiapkan, ada yang mejual suvenir, pemilik homestay, menjual kuliner, dan juga ada yang sebagai guide dan sebagainya," imbuh Nengah.
Dengan keterlibatan masyarakat, mereka berupaya untuk melestarikan budaya yang ada agar menjadi warisan anak cucu. Mereka juga akan melestarikan hutan bambu dan hutan kayu yang ada.
"Selain itu, kami juga akan melestarikan bangunan-bangunan tradisional, adat istiadat yang ada di Penglipuran," ujar Nengah.
Â
Pengaruh Pandemi Covid-19
Pandemi corona Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia sangat mempengaruhi dua desa wisata itu. Desa Wisata Nglanggeran sempat tutup pada 23 Maret 2020 dan buka kembali pada 24 Mei 2020, bahkan jumlah pengunjungnya merosot hingga 50 persen.
"Saat ini kami sudah beroperasi, tapi masih terbatas. Artinya, kami menerima kunjungan wisatawan dengan menerapkan protokol kesehatan," kata Sugeng.
Dengan adanya protokol kesehatan, kondisi Nglanggeran berangsur pulih karena sudah muncul keberanian orang untuk berwisata. Kata Sugeng, jumlah pengunjung pun mulai berangsur membaik, tapi dibatasi hanya 750 orang per hari.
"Jumlah wisataawan paling banyak saat hari libur atau weekend," jelas Sugeng.
Tak hanya Nglanggeran yang sempat tutup, tapi juga Penglipuran. Desa ini sempat tutup sejak 18 Maret 2020 sampai 17 Oktober 2020 dan dibuka kembali secara resmi sejak Januari 2021.
Dari 18 Oktober hingga Desember 2020, mereka melakukan uji coba dulu, sambil menunggu verifikasi, termasuk CHSE, Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Lingkungan berkelanjutan) (CHSE). Sekarang pengunjungnya masih agak sepi, paling sehari antara 100 hingga 150 orang.
"Mereka rata-rata wisatawan lokal dan beberapa turis asing yang sebelum pandemi sudah berada di Indonesia. Semoga pandemi ini cepat berlalu sehingga mereka yang berkunjung meningkat hingga normal kembali," harap Nengah.
Advertisement