Sukses

Cara Unik Brand Busana Jepang Dorong Anak Muda Tertarik Belajar Agama

Selain soal agama, brand busana Jepang ini juga memboyong semangat untuk sama-sama menjaga kesehatan mental.

Liputan6.com, Jakarta - Adalah Nishikeke Kanoko, founder Bosatsu Brand, yang mendorong orang untuk tertarik pada agama lewat produk-produk karyanya, Ia ingin publik "melihat patung Buddha yang mencerminkan harapan dan kebijaksanaan dari mereka yang membuatnya secara lebih dekat."

Mengutip SCMP, Selasa, 15 Juni 2021, Kanoko, yang notabene mendalami agama Buddha untuk mendapatkan ide tentang bagaimana harus menjalani hidup, menciptakan kaus, sweetshirt, dan kaus kaki yang menampilkan gambar dewa Buddha.

Pihaknya juga memunculkan Buddha untuk menunjukkan bahwa ada lebih banyak kepercayaan daripada meditasi dan sutra. Juga, untuk mendorong mereka yang berjuang dengan kesehatan mental.

Rilis pada Juni 2020 di kampung halaman Kanoko di Nara, sebuah daerah di Jepang yang terkenal dengan Kuil Buddha Agung Todaiji, produk lini busananya diproduksi di pabrik lokal yang dikelola secara tradisional. Salah satu produknya adalah kaus kaki dua warna bergambar Maitreya, Nyorai, atau Kannon yang dijual seharga 2,2 ribu yen (Rp285 ribu).

Desainer 31 tahun itu tidak punya pelatihan klasik dalam mode atau desain. Inspirasi desain brand busana Jepang itu berasal dari festival musik, di mana desain sederhana dan unik dapat ditemukan, dan ketertarikannya pada patung Buddha.

"Saya telah melakukan penelitian saya di perpustakaan, di Instagram, dan dengan mengunjungi kuil, tapi saya percaya bagian terpenting dari proses desain bagi saya adalah hanya melihat gambar dan koleksi patung Buddha," katanya. "Saya menemukan bahwa ide-ide desain datang dari hanya melihat patung-patung itu untuk waktu yang lama dan menyerapnya."

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Busana Sehari-hari

Dengan membuat gambar yang relevan dan menarik, merek tersebut juga bermaksud mendorong orang-orang yang kurang tertarik pada budaya dan sejarah agama Jepang untuk melihat kembali patung-patung ini. "Saya juga ingin merek itu jadi barang yang bisa saya gunakan setiap hari," katanya.

"Banyak kuil Jepang terkenal yang punya suvenir bagus, tapi sulit untuk menggunakannya setiap hari dan mereka hanya jadi bagian dari kenangan pengunjung. Saya ingin menyatukan patung Buddha dengan barang sehari-hari yang berguna," imbuhnya.

Kanoko mengaku percaya bahwa rasa moralitas warga Jepang mirip dengan persepsi agama di seluruh dunia. "Orang Jepang memiliki adat yang mengakar, agama Buddha dan Shintoisme jadi perilaku yang benar dan pantas dalam situasi tertentu," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Bantu Jaga Kesehatan Mental

Penggerak lain di balik merek ini adalah kesehatan mental, sesuatu yang penting dalam kehidupan Kanoko. Ketika jadi mahasiswa, sahabatnya meninggal karena alkoholisme. Keluarganya sendiri, pada saat yang sama, menghadapi tantangan tersendiri.

"Hati saya diselamatkan melalui prinsip Buddhis kuu, cara menjadi alami dan tidak memihak, pada saat yang sama saya menghabiskan waktu memerhatikan patung-patung Buddha," tuturnya. "Bagi saya, kombinasi kuu dan patung-patung ini seperti saya pergi ke rumah sakit untuk perawatan karena saya merasa sangat sedih."

Dari pengalaman itu, Kanoko ingin membantu orang lain yang juga menghadapi kesulitan dalam hidup mereka, dan berharap rancangannya mendorong orang lain untuk tertarik pada agama Buddha, serta dampak menenangkan yang dapat ditimbulkannya.

"Saya sangat percaya bahwa mengenakan pakaian yang Anda sukai adalah ekspresi kegembiraan yang murni,” ucapnya. "Saya pikir bersenang-senang adalah cara yang sangat penting untuk mempelajari sesuatu."

"Butuh waktu lama untuk merancang gambar Buddhis yang menarik, tapi juga sederhana," katanya. "Saya percaya bahwa yang paling penting adalah memasukkan cinta dan rasa hormat terhadap patung Buddha dalam desainnya. Itulah sebabnya, mungkin tidak mengherankan, saya butuh waktu lama untuk menyelesaikan desainnya.”

4 dari 4 halaman

Infografis Pakai Masker Boleh Gaya, Biar COVID-19 Mati Gaya