Liputan6.com, Jakarta - Polemik kimchi yang melibatkan Korea Selatan dan Tiongkok belum kunjung usai. Kali ini isu yang diangkat mulai dari seputar sampah makanan, sampai faktor kebersihan, lapor SCMP, Senin (28/6/2021).
Berbulan-bulan setelah video memperlihatkan seorang pria telanjang yang bekerja di pabrik kimchi China viral, warga Korea Selatan lebih hati-hati dengan makanan impor dari Negeri Tirai Bambu. Kim Ji Sook, pemilik sebuah restoran di Seoul, mengatakan, sejak video itu beredar Maret lalu, beberapa pelanggan mulai mempertanyakan asal usul kimchi yang disajikan di restoran.
"Saya tidak berbohong. Saya memberi tahu mereka bahwa kimchi kami diproduksi di China," katanya. "Tapi, setelah mendengar jawaban saya, mereka tidak makan kimchi." Ini kemudian menyebabkan peningkatan limbah makanan di restorannya.
Advertisement
Baca Juga
Sementara Korea Selatan membuat sebagian besar kimchi sendiri, produksi hidangan tradisional berbahan sayuran yang difermentasi itu ternyata tidak cukup memenuhi permintaan lokal. Negeri Ginseng mengimpor sekitar 300 ribu ton kimchi setiap tahun dari China dengan sebagian besarnya masuk ke restoran.
Harga kimchi impor China per kilogram (kg) adalah sekitar sepertiga lebih murah dari kimchi lokal. Hitungan ekonomi ini membuatnya sulit ditolak pemilik restoran yang harus cermat menghitung pengeluaran, terutama di tengah pandemi global.
Lee Ha Yeon, Presiden Asosiasi Kimchi Korea (KAK), menjelaskan bahwa praktik refill kimchi gratis adalah alasan restoran mengandalkan kimchi buatan China yang lebih murah. "Selama refill gratis terus berlanjut, saya pikir restoran tidak punya pilihan selain tetap menyajikan kimchi Cina yang lebih murah," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dorongan Konsumsi Kimchi Lokal
KAK disebut tengah berupaya memastikan orang Korea Selatan makan kimchi yang diproses dalam kondisi "bersih" melalui kampanye baru untuk mengesahkan restoran yang menyajikan kimchi lokal. Ini disebut tidak hanya akan menguntungkan konsumen, tapi juga produsen lokal.
Mengajukan label "kimchi produksi lokal," restoran wajib menyerahkan dokumen dan bukti yang akan diperiksa anggota komite KAK. "Sertifikasi restoran ini bermaksud memberi pilihan pada konsumen," kata Lee.
"Kemampuan untuk memilih ini akan menciptakan reaksi berantai di restoran-restoran yang tidak bersertifikat karena pemiliknya akan tertekan dan akhirnya mempertimbangkan untuk bergabung dengan program sertifikasi juga," imbuhnya.
Lee mengatakan, sejauh ini, KAK telah menerima aplikasi dari sekitar lima ribu restoran di seluruh Korea. Pihaknya mencatat bahwa restoran di Provinsi Jeolla Selatan adalah yang paling tertarik untuk bergabung dengan program sertifikasi itu.
"Wilayah Jeolla adalah rumah bagi garam premium, karena Kabupaten Shinan terkenal di dunia karena garamnya yang kaya mineral yang digunakan dalam bumbu sawi," katanya. "Petani di wilayah ini menghasilkan sawi putih, bawang hijau, cabai merah, dan sayuran lain yang digunakan sebagai bahan utama kimchi. Karena lokasi geografisnya di laut barat, berbagai saus ikan juga tersedia di sana."
Advertisement
Kontroversi Bilateral
Kendati demikian, beberapa pemilik bisnis skeptis terhadap dampak sertifikasi itu. "Kedengarannya bagus untuk petani Korea dan produsen kimchi," kata suami Kim Ji Sook, pemilik restoran Seoul. "Tapi sejujurnya, saya tidak berpikir itu akan berdampak signifikan pada restoran-restoran yang tidak bersertifikat atau pada keseluruhan konsumsi kimchi buatan sendiri."
Sementara, kimchi tidak diragukan lagi merupakan makanan pokok dalam kuliner Korea. Namun, ia menyebut, kimchi jarang memainkan peran kunci dalam menentukan keputusan pelanggan tentang restoran mana yang akan mereka pilih.
Kimchi produksi China telah jadi pusat kontroversi bilateral sejak negara itu meluncurkan kampanye untuk "mengklaim diri sebagai wilayah asal kimchi." Duta Besar China untuk PBB, Zhang Jun, telah mengunggah gambar di media sosial, berpose dengan kimchi buatannya Januari lalu.
Media pemerintah China juga mengklaim bahwa acar pao cai adalah asal mula kimchi. Provokasi budaya ini membuat kesal warga Korea, dan menyebabkan bentrokan online antara warga kedua negara atas klaim satu sama lain.