Sukses

Maskapai Jepang Mulai Beralih ke Bahan Bakar Ramah Lingkungan dari Minyak Goreng Bekas

Bahan-bahan seperti minyak goreng bekas bisa digunakan untuk bakar pesawat komersial.

Liputan6.com, Jakarta - Inovasi penggunaan bahan ramah lingkungan terus dikembangkan. Sejumlah maskapai penerbangan, termasuk di Jepang, sudah mulai beralih ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

Dikutip dari lama Japan Today Minggu (4/7/2021), beberapa maskapai penerbangan asal telah bergabung dengan sekolompok negara untuk mencapai netralitas karbon pada 2050.

Mereka berusaha menyusul negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang sudah menempatkan biofuel dari bahan-bahan seperti minyak goreng bekas untuk penggunaan bahan bakar pesawat komersial.

Sebelumnya, produsen pesawat besar Airbus SAS telah meluncurkan konsep untuk pesawat tanpa emisi bertenaga hidrogen yang diharapkan akan mulai beroperasi pada 2035. Bahan bakar ini juga dipandang sebagai sumber alternatif untuk menerbangkan pesawat.

Kawasaki Heavy Industries Ltd mengumumkan rencana untuk memasuki bisnis pesawat bertenaga hidrogen, yang bertujuan untuk memimpin dalam teknologi inti untuk mesin hidrogen dan tangki bahan bakar hidrogen cair.

Pada akhir Juni 2021, sebuah jet pribadi yang dikembangkan oleh Honda Motor Company terbang dari Prefektur Kagoshima di barat daya Jepang ke bandara Haneda Tokyo. Mereka merupakan penerbangan pertama yang menggunakan biofuel yang dihasilkan dari euglena, sejenis ganggang.

Penyedia bahan bakar dari Jepang Euglena Co. menyebut sekitar 10 persen dari biofuel yang digunakan untuk penerbangan berasal dari euglena dan sisanya dari limbah minyak. "Jepang tertinggal beberapa tahun karena sudah ada produsen biojet terkemuka di luar negeri," kata Akihiko Nagata, Wakil Presiden Eksekutif perusahaan tersebut dalam sebuah konferensi pers.

Saksikan Video Pilihan Berikut:

2 dari 4 halaman

Mengurangi Emisi C02

Karbon dioksida atau CO2 yang dihasilkan ketika biofuel dibakar akan menghasilkan minyak, sumber biofuel, dan menyerap CO2 ketika tumbuh melalui fotosintesis. Bahkan sebelum pandemi Covid-19, sektor transportasi menyumbang sekitar 18 persen dari total emisi CO2 di Jepang.

Berdasarkan jenis transportasi, maskapai penerbangan bertanggung jawab sekitar lima persen sementara sebagian besar emisi berasal dari mobil, truk dan bus, menurut data pemerintah.

Maskapai penerbangan Jepang itu berusaha mengurangi ketergantungan pada bahan bakar jet fosil di tahun-tahun mendatang dan beralih ke bahan bakar penerbangan berkelanjutan seperti biofuel.

Menurut data Kementerian Transportasi Jepang, pesawat terbang yang ditenagai oleh campuran bahan bakar jet konvensional dan bahan bakar berkelanjutan, dapat mengurangi emisi CO2 sekitar 20 hingga 30 persen selama penerbangan. Batas pencampuran itu ditetapkan untuk penggunaan bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan.

Meski begitu, maskapai besar Jepang, Airlines Corp dan All Nippon Airways Co telah menggunakan biofuel yang dihasilkan dari mikroalga oleh pabrikan Jepang IHI Corp. Bahan bakar itu digunakan untuk penerbangan komersial domestik, di mana mereka berusaha meningkatkan penggunaan bahan bakar penerbangan yang berkelanjutan. 

3 dari 4 halaman

Masih Terbatas dan Mahal

Pakar penerbangan di Jepang menjelaskan masih ada rintangan untuk penggunaan yang lebih besar dari biofuel. Alasannya, persediaan bahan bakar tersebut masih terbatas dan biaya pengadaannya tinggi dibandingkan dengan bahan bakar jet fosil konvensional.

"Dibutuhkan lebih banyak waktu untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan yang diproduksi di dalam negeri untuk tersedia secara komersial, karena itu pembuatannya di Jepang ditargetkan baru akan selesai pada 2030," jelas Nagata.

Saat ini biaya bahan bakar biojet Euglena harganya sekitar 10.000 yen atau Rp1,3 juta per liter.  Meski begitu, Perusahaan bahan bakar telah meningkatkan kapasitas produksi dengan membangun pabrik untuk membudidayakan alga euglena, termasuk di Indonesia yang diharapkan selesai pada 2024.

Nantinya pada 2025, mereka meningkatkan produksi menjadi 250.000 kiloliter per tahun dan menurunkan harga menjadi 200 yen atau sekitar Rp. 26 ribu lebih rendah per liter. Hal ini akan memungkinkan perusahaan untuk bersaing dengan perusahaan asing seperti Neste Corp Finlandia. "Kami akan mengejar dan dapat menawarkan bahan bakar milik kami dengan harga yang terjangkau," kata Nagata. (Muhammad Thoifur)

4 dari 4 halaman

6 Cara Hindari Covid-19 Saat Bepergian dengan Pesawat