Sukses

Peneliti Swiss Kembangkan Cokelat di Laboratorium, Rasanya Diklaim Tak Sepahit Biasanya

Pengembangan cokelat di laboratorium oleh para peneliti Swiss itu menggunakan teknik kultur sel.

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti di Swiss mengembangkan cokelat yang ditumbuhkan di laboratorium. Produk yang dihasilkan peneliti Swiss ini diklaim dapat membantu mengatasi deforestasi cokelat dan mengurangi angka pekerja anak di perkebunan karena tingginya permintaan komoditas itu.

Dilansir dari weforum.org, Kamis, 5 Agustus 2021, pengembangan cokelat laboratorium itu dimotori tim peneliti dari Universitas Zurich of Applied Sciences. Mereka menggunakan teknik kultur sel untuk mengembangbiakkan cokelat.

Dikutip dari laman swissinfo.ch, Regine Eibl, Kepala Jurusan Teknologi Kultur Sel dan bagian dari tim peneliti, menerangkan riset dimulai dengan membersihkan buah kakao. Selanjutnya, biji kakao diekstraksi lewat proses steril, kemudian dipotong-potong menggunakan pisau bedah.

Ekstrak biji kakao kemudian diinkubasi di media kultur pada suhu 29 derajat celcius dalam keadaan gelap gulita. Setelah tiga minggu, semacam keropeng kasar yang dikenal sebagai kalus tumbuh di permukaan yang dipotong. Bagian itulah yang diinokulasi dan direproduksi.

"Ini dilakukan dalam media kultur yang sangat sederhana," kata Eibl.

Selanjutnya, kalus dimasukkan ke dalam labu pengocok dan ditambahkan kultur suspensi untuk diinokulasi. Campurannya dimasukkan ke dalam bioreaktor yang disebutnya sebagai tangki. "Ini benar-benar hanya sebuah tangki, seperti jenis tempat Anda memfermentasi anggur," kata Tilo Hühn, seorang peneliti dan ahli pangan yang sudah lama berkecimpung dalam inovasi produk cokelat.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Proses Pembuatan Cokelat Batang

Kultur sel itu akhirnya memungkinkan pembuatan cokelat sebanyak yang diinginkan. Cokelat produk laboratorium itu, kata Eibl, berbentuk biomassa, mirip seperti starter dalam pembuatan yoghurt, tetapi dalam bentuk padat. Anda bisa mengambil seperlunya saat dibutuhkan untuk diproduksi lebih banyak lagi.

"Industri makanan sekarang sangat tertarik dengan kultur sel ini," Eibl menekankan.

Setelah memadat, biomassa dikeringkan dan wujudnya menjadi seperti tepung. Proses selanjutnya adalah menambahkan tepung itu ke dalam campuran cocoa butter, gula, dan emulsi yang bernama lesitin, untuk menghasilkan cokelat hitam batang berkadar 70 persen.

Secara tekstur, cokelat hasil laboratorium diklaim sama dengan cokelat yang diproduksi secara konvensional. Tetapi, Yannick Senn, peneliti dari Universitas Zurich of Applied Sciences, menerangkan rasanya cenderung berbeda.

Rasa cokelat hitam hasil laboratorium dinilai tidak sepahit cokelat konvensional. Aromanya pun berbeda, yakni ada aroma beri merah. Hal itu diyakini lebih bisa diterima konsumen.

 

3 dari 4 halaman

Tekan Deforestasi

Proyek menumbuhkan kakao di laboratorium itu merupakan gagasan Hühn. Eibl menerangkan saat itu Hühn menanyakan apakah dirinya bisa mengekstrak kultur sel nabati dari biji kakao. Eibl, yang lebih banyak menumbuhkan kultur sel untuk industri farmasi itu, tertarik dengan ide tersebut.

"Kami ingin melihat apakah kultur sel ini akan menghasilkan polifenol yang kebetulan sangat penting untuk persepsi dan efek sensorik cokelat," ujarnya.

Produksi starter cokelat ini diharapkan bisa menjawab masalah global. Permintaan cokelat yang terus meningkat tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan. Deforestasi terjadi dan jumlah pekerja anak diduga turut meningkat.

"Ada situasi yang tidak dapat diterima yang mana melibatkan pekerja anak di beberapa daerah pengolahan cokelat. Apa yang kita lakukan saat ini dapat menjadi solusi dari beberapa masalah yang ada," ujar Hühn.

Dengan memproduksi ini, mereka yakin dapat menurunkan rantai permintaan cokelat secara global, tanpa merugikan petani cokelat. "Tujuan utama kami bukan untuk menggantikan kegiatan pertanian, tetapi untuk menguji alternatif," tutup Hühn. (Gabriella Ajeng Larasati)

4 dari 4 halaman

Camilan Tradisional Tampil Lebih Kekinian