Sukses

Kisah Geisha Terakhir Tokyo Bertahan Kala Pandemi Covid-19 Melanda

Masa pandemi telah berimbas pada beragam hal, termasuk eksistensi geisha di Jepang.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 turut berimbas pada eksistensi geisha. Namun geisha terakhir Tokyo bernama Ikuko yang tetap berpegang teguh untuk bertahan meski dihadapkan dengan masa krisis yang melanda seantero jagat.

Dilansir dari CNN, Jumat (6/8/2021), geisha adalah seniman penghibur sekaligus pemain terampil dalam seni tradisional Jepang. Dalam restoran tradisional mewah yang disebut ryotei, mereka memainkan gitar shamisen, menari, menyanyi, dan melaksanakan upacara minum teh.

Secara historis, hanya tamu eksklusif atau mereka yang memiliki koneksi pribadi atau bisnis (biasanya pria kaya), yang bisa masuk. Geisha menyempurnakan seni percakapan, menawarkan wacana jenaka ketika mereka membuat sake terus mengalir.

Kehidupan seorang geisha sering dimulai di pagi hari dan berakhir pada dini hari keesokan harinya ketika mereka menghibur klien sepanjang malam. Ikuko yang kini berusia 80 tahun tak hanya menjadi Asosiasi Geisha Akasaka, tetapi juga seorang praktisi geisha.

Ia pertama kali datang ke Tokyo pada 1964, tahun pertama kota itu menjadi tuan rumah Olimpiade. Kala itu, katanya, ada 400 geisha di distrik Akasaka dan kini hanya ada 21 geisha. Ikuko kini mengikuti jadwal yang tak terlalu padat dan kerap menghabiskan sorenya dengan melatih geisha muda di rumahnya.

Selama latihan tari, ia mengambil posisi "seiza", cara duduk tradisional di Jepang, yakni kaki diselipkan di bawah paha dalam posisi berlutut. Ia bisa duduk dengan cara ini selama berjam-jam, mengubah posisi dengan mudah saat dia menunjukkan gerakan tari kepada murid-muridnya.

Persiapan harian seperti mengaplikasikan riasan putih, mengecat wajah dan menyempurnakan posisi rambut palsu adalah seni tersendiri. Di rumah geisha Akasaka, seorang penjahit membantu setiap pemain mengikat kimono mereka yang rumit, yang harganya bisa lebih dari 10 ribu dolar AS atau setara Rp143 juta.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Jarang Tampil

Kini, geisha masih dipekerjakan sebagai hiburan kelas atas untuk jamuan makan, perayaan, dan acara. Makan di ryotei dengan geisha bisa menghabiskan biaya ribuan dolar. Namun, pandemi Covid-19 telah memangkas pengeluaran dan pertemuan, karena perayaan telah dibatalkan.

"Kami berjuang untuk bertahan hidup," kata Ikuko. "Yang bisa kami lakukan adalah berlatih terus-menerus agar siap tampil kapan saja."

Koiku dan Mayu, seperti Ikuko, yang ingin menggunakan satu nama, telah menjadi geisha di distrik Akasaka Tokyo selama lebih dari satu dekade. Koiku ingin bekerja dalam profesi yang penuh dengan keindahan dan tradisi, tetapi dia tidak menyangka pelatihannya akan begitu melelahkan, atau gaya hidupnya begitu tidak terduga, terutama selama pandemi.

"Bagian yang paling menakutkan adalah kita tidak tahu kapan ini akan berakhir," kata Koiku, merujuk pada dampak Covid-19 pada industri. "Jika situasi ini berlanjut untuk waktu yang lama, saya tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan."

Koiku menyebut ia telah mengalami dua penurunan besar dalam pekerjaan selama kariernya, yakni selama krisis keuangan global 2008 dan setelah gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang timur pada 2011. Namun ia mengatakan pandemi terasa lebih buruk.

3 dari 4 halaman

Protokol Tampil

Gaji Geisha tergantung pada pemesanan. Hampir tidak ada pekerjaan selama beberapa bulan yang sangat memengaruhi pendapatannya.

Tindakan pencegahan Covid juga mempersulit percakapan intim dengan tamu. Koiku dan Mayu sama-sama memegang kipas yang dilapisi anti-bakteri di depan wajah mereka saat berbicara, dan harus menari setidaknya dua meter dari pelanggan.

"Saya berjuang melawan kecemasan setiap hari," kata Mayu. "Tantangan besar adalah untuk memenuhi kebutuhan, tetapi tantangan lainnya adalah mempertahankan perajin untuk budaya ini.

Perajin tradisional Jepang sangat terpukul oleh pandemi ini. Bagi banyak orang, kelangsungan hidup mereka terkait erat dengan keberuntungan rumah geisha, kata Mayu dan Koiku.

Setiap bagian dari perjamuan ozashiki yang rumit menampilkan seni tradisional, termasuk kimono yang rumit, rambut palsu, sisir "kanzashi" dan aksesori yang menghiasi para geisha. Bahkan pembatas pintu kertas "shoji" yang rumit dan tikar tatami yang melapisi lantai restoran mungkin mengandalkan perajin lokal.

"Budaya perjamuan melindungi pekerjaan pengrajin Jepang," kata Koiku. "Kami memiliki peran untuk mewariskan budaya tradisional ke generasi berikutnya ketika geisha baru yang lebih muda bergabung dengan kami."

4 dari 4 halaman

Infografis Wayang Potehi