Liputan6.com, Jakarta - Persepsi mengecilkan peran ibu karena satu-dua faktor seharusnya jadi gagasan usang. Masuk dalam daftar itu adalah saat ibu tidak bisa memberi ASI pada buah hatinya, dan di Pekan ASI Sedunia tahun ini, mari pahami lebih dalam tentang kondisi tersebut.
Menurut psikolog Ajeng Raviando, menyusui memang punya banyak dampak psikologi, dari ikatan emosional, sampai meminimalisir postpartum depression. "Ibu, terutama ibu baru, punya banyak hal yang perlu dipelajari. Karena itu, ada ketakutan, kecemasan, apakah yang mereka lakukan itu benar atau tidak," katanya lewat panggilan suara pada Liputan6.com, Jumat, 6 Agustus 2021.
Selain mengingat bahwa menyusui itu adalah proses belajar, kondisi psikis juga tidak bisa diabaikan. "Keinginan memberi ASI akan muncul secara natural, tapi prosesnya tidak bisa hanya mengandalkan insting karena ada harus berbekal ilmu tersendiri. Kecemasan, lalu stres ini akan berdampak pada kemampuan menyusui," paparnya.
Advertisement
Baca Juga
Kemampuan ibu memberi ASI juga dipengaruhi faktor internal maupun eksternal. Faktor internalnya meliputi motivasi ibu, stres, persepsi, dan ketekunan ibu, kata Ajeng. Sementara, faktor eksternal biasanya datang dari suami, keluarga, dan ahli medis yang mendampingi. "Harus ada pihak yang membantu menenangkan ibu," imbuhnya.
Menurut dokter spesialis anak dan konsultan laktasi, dr. Rinda Martanti Riswandi, Sp.A, BMedSc, setidaknya ada lima kondisi yang membuat ibu tidak bisa memberi ASI pada anaknya. Pertama, ibu yang mengalami pendarahan hebat saat melahirkan.
"Kedua, tidak memungkinkan karena ibu sedang menjalani perawatan intensif. Kemudian, ibu positif COVID-19 yang kondisinya tidak stabil. Keempat, ini cukup kontroversial sebenarnya, yaitu ibu positif HIV yang tidak mengonsumsi obat. Terakhir, kasus abses payudara, termasuk bengkak dan infeksi," urainya melalui sambungan telepon, Jumat, 6 Agustus 2021.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Didampingi Konsultan Laktasi
Lebih lanjut dr. Rinda menjelaskan waktu ibu sebaiknya mulai mempertimbangkan untuk didampingi konsultan laktasi. Pertama, saat ibu menyadari atau tidak yakin dengan kecukupan ASI yang diberikan, katanya. Kemudian, saat mereka tidak didukung keluarga untuk menyusui secara langsung.
Ketiga, saat ibu bingung cara menyusui, artinya tidak memahami teknik, posisi, dan pelekatan menyusui yang benar. Lalu, ketika ibu menjumpai masalah menyusui. "Yang paling sering itu puting lecet, nyeri, payudara bengkak, infeksi seperti mastitis dan abses payudara," imbuhnya.
"Jadi, mitos bahwa ibu menyusui memang lumrah merasakan sakit, disebut sebagai bagian dari pengorbanan. Menyusui itu harus membahagiakan ibu dan bayi," kata dr. Rinda.
Ia juga menambahkan bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan tujuh waktu kontak ASI. Pertama, saat kehamilan 28--32 minggu. Kedua, usia kehamilan 36 minggu. Kemudian saat inisiasi menyusui dini, saat bayi berusia 1--3 hari, bayi berusia 7 hari, 14 hari pascalahir, dan, terakhir, ketika bayi berusia 40 hari.
"Tapi, saran saya, kontak ASI (menemui konsultan laktasi) itu sebelum melahirkan. Karena setelah melahirkan itu hormon sudah tidak stabil, stres juga, nanti diberitahu ilmu menyusui malah tidak bisa dicerna dengan baik," ujarnya.
Advertisement
Tahapan Psikologi
Ajeng mengatakan ada berbagai tahap yang akan dilalui ibu secara psikologi saat mereka tidak bisa menyusui anaknya. "Jangan terjebak stigma, 'Ibu yang tidak bisa menyusui itu kurang sempurna jadi ibu,'" tuturnya.
"Sebelum sampai menerima, ibu harus punya self-awareness dengan mengidentifikasi sebab. Ibu juga sebaiknya tidak punya fixed mindset. Mereka bersedia berkompromi dan memahami bahwa selama membesarkan anak itu perjalanannya akan bersifat personal," katanya.
Kemudian, ibu juga perlu mengekspresikan perasaan dari kondisi yang dihadapi. "Penting juga untuk reframe masalah. Melihatnya dari big picture. Sampai akhirnya paham bahwa jangan coba mengendalikan yang tidak bisa dikendalikan. Fokus pada hal-hal yang sehat," ucap Ajeng.
Kegagalan Ibu Menyusui adalah Kegagalan Sistem
dr. Rinda pun berbagi beberapa kasus yang umumnya terjadi pada ibu menyusui. Pertama, ibu tidak membekali diri dengan ilmu menyusui, dan setelah melahirkan panik karena ASI-nya tidak keluar. "Ia juga tidak mempersiapkan mental dan fisik. Karena secara fisik, nutrisi ibu harus tercukupi, jangan sampai kelelahan," katanya.
Kemudian, ada juga kasus karena ASI sedikit atau tidak keluar, bayi menangis dan membuat ibu lebih panik lagi. "Kalau sudah begitu, orang sekitar biasanya akan menyarankan untuk memberi susu formula supaya bayi berhenti menangis," ucapnya.
Padahal, kata dr. Rinda, itu justru akan menambah masalah. "Misalnya berhari-hari atau berminggu-minggu dikasih susu formula, bayi kemudian jadi enggak mau menyusui melalui payudara. Kasus seperti ini biasanya disebut 'bingung puting,'" paparnya.
Ia menambahkan bahwa sebenarnya hari kedua pascamelahirkan umumnya produksi ASI akan meningkat. Karenanya, ibu secara konsisten disarankan menyusui bayinya setiap tiga jam. "Jangan lupa juga bayi dipegang bergantian supaya ibu bisa istirahat," imbuh dr. Rinda.
Lalu, ada juga kasus ibu tidak tahu teknik pelekatan yang benar, sehingga beberapa hari pascamelahirkan, putingnya lecet atau nyeri. "Dalam kasus ini, bisa-bisa ibu sudah takut duluan saat melihat mulut bayinya, ada trauma rasa sakit," tuturnya.
dr. Rinda menggarisbawahi bahwa kegagalan ibu menyusui adalah kegagalan sistem. "Sistem ini apa dan siapa? Suami, anggota keluarga di rumah, dan fasilitator kesehatan yang seharusnya membantu ibu mempersiapkan proses menyusui," kataya.
"Bisa juga ibu tidak diampingi saat kontrol kehamilan, tidak adanya fasilitas rawat gabung ibu-bayi di fasilitas kesehatan, dan mereka (tenaga kesehatan) tidak memonitor proses menyusui pascamelahirkan," tandasnya.
Advertisement