Liputan6.com, Jakarta - Taliban kembali menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul. Situasi pun mendadak mencekam, terlebih Presiden Ashraf Ghani lebih dulu kabur, meninggalkan warganya. Situasi itu menerbitkan kekhawatiran bagi Malala Yousafzai, terutama nasib perempuan dan kalangan minoritas di Afghanistan.
"Kami sangat terkejut ketika Taliban yang mengambil alih Afghanistan. Saya sangat khawatir terhadap perempuan, minoritas, dan para pejuang hak asasi manusia," cuit Malala pada laman Twitternya.
Advertisement
Baca Juga
"Kekuatan global, regional, dan lokal harus menyerukan gencatan senjata segera mungkin, memberikan bantuan kemanusiaan, serta melindungi pengungsi dan warga sipil," tambah aktivis HAM tersebut.
Peraih Nobel Perdamaian itu punya kenangan buruk perihal Taliban. Pada 2012 lalu, Malala yang berumur 15 tahun ditembak oleh seorang pria bersenjata Taliban saat perjalanan pulang ke rumah setelah mengikuti ujian. Peluru bersarang di kepalanya.
Penembakan itu sebagai wujud penentangan pria tersebut atas sikap Malala yang vokal menyuarakan pendidikan untuk perempuan. Malala kemudian menjalani perawatan di Rumah Sakit Queen Elizabeth, Inggris.
Melansir Independent, Rabu (18/8/2021), beberapa jam setelah Taliban menguasai Afghanistan, Malala juga meminta para pemimpin di dunia, terutama Amerika Serikat dan Inggris, untuk melindungi warga sipil dan pengungsi dari Afghanistan.
"Negara-negara perlu membuka perbatasan bagi pengungsi Afghanistan," ujarnya.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kritik Amerika
Malala pun mengkritik Amerika Serikat karena dinilai membuat pernyataan yang kurang bertanggung jawab terhadap peristiwa pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Ia pun telah berbicara dengan para pemimpin dunia lainnya serta pemerintah Amerika Serikat dan Inggris untuk masalah ini.
"Saya pikir, cara AS menggambarkan perang ini dan menyatakan kemenangan, menggambarkan kesan yang salah," ujar Malala.
"Saya berusaha untuk menjangkau para pemimpin global. Menurut saya, setiap negara memiliki peran dan tanggung jawab saat ini, negara-negara perlu membuka perbatasannya untuk pengungsi Afghanistan dan orang-orang terlantar," tambahnya.
Negara-negara di dunia terkejut, ketika negara yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani-led hancur dalam hitungan 120 jam dengan peristiwa perebutan ibu kota oleh Taliban. Ghani meninggalkan Afghanistan pada Minggu siang, 15 Agustus 2021, sebelum Taliban mengumumkan perebutan wilayah tersebut.
Advertisement
Kekacauan di Afghanistan
Pantauan di Bandara Internasional Afganistan pada malam hari menunjukkan, kekacauan di landasan yang penuh dan sesak. Banyak warga yang ingin segera meninggalkan negara tersebut dengan bergegas naik pesawat setelah Taliban mengumumkan mengambil alih kekuasaan dari istana presiden di Kabul.
Dalam 24-48 jam terakhir, negara-negara Barat segera mengungsikan warganya yang keluar dari kedutaan. Video menunjukkan helikopter Amerika Serikat bolak-balik dari kedutaan Amerika Serikat ke bandara. Terlihat pula kepulan asap yang berasal dari atap gedung kedutaan, dilaporkan bahwa diplomat sedang membakar berkas-berkas sensitif.
Pemimpin Taliban yang menduduki istana presiden mengumumkan bahwa negara itu di bawah Islamic Emirate of Afghanistan, sebutan yang digunakan oleh kelompok militan sebelum diambil alih oleh Amerika Serikat. Taliban dikenal sebagai kelompok yang memiliki kebijakan keras, terutama terhadap perempuan dan anak-anak, sebelum mereka dipaksa keluar oleh pasukan Amerika Serikat 20 tahun lalu. (Gabriella Ajeng Larasati)
Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan
Advertisement