Liputan6.com, Jakarta - Manggarai merupakan salah satu kabupaten yang berada di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Batasan dari Kabupaten Manggarai, yakni Laut Flores pada sebelah utara dan Laut Sawu di sebelah Selatan.
Kabupaten Manggarai memiliki luas wilayah sebesar 2.096,44 kilometer persegi yang terbagi ke dalam 12 kecamatan dan 171 desa. Tidak hanya keindahan alamnya saja yang patut dikenal oleh masyarakat, tetapi karena sejarah asal-usul Manggarai yang identik dengan kerajaan.
Kabupaten ini juga masih menjalani tradisi bangun rumah adat dari pohon yang diumpamakan sebagai gadis cantik. Simak berikut enam fakta menarik Kabupaten Manggarai yang dirangkum dari berbagai sumber.
Advertisement
Baca Juga
1. Sejarah Kabupaten Manggarai
Masyarakat Kabupaten Manggarai menganggap bahwa asal usul nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat yang bepergian ke Pulau Sulawesi dan singgah ke Manggarai. Dahulu, nenek moyang mendarat di Nusa Lale (sekarang Manggarai) tepatnya di Warloka.
Di wilayah ini dulunya terdapat empat kerajaan, yakni Kerajaan Todo, Bajo, Cibal, dan Reok. Keempat kerajaan ini saling menunjukkan kehebatannya untuk menunjukkan siapa yang paling kuat.
Nama Manggarai sendiri berasal dari kisah yang diturunkan mulut ke mulut mengenai tokoh Mangga Macing, putra sulung utusan Bima untuk menaklukkan Manggarai bersama saudara-saudaranya.
Yang terjadi adalah orang-orang Bima itu Manggar dan Lari. Manggar sendiri dapat diartikan sebagai angkat jangkar yang merupakan seruan untuk berlari. Berangkat dari sinilah nama Manggarai terbentuk.
Asal usul lainnya mengatakan bahwa Manggarai berasal dari sebutan manga dan raja. Manga berarti ada dan raja yang dalam bahasa Manggarai berarti sebab musabab, biasa, masalah, dan nyata.
2. Liang Bua
Liang Bua terletak di Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai yang berada di perbukitan karst. Lokasi ini merupakan salah satu tempat peninggalan zaman prasejarah yang berupa sebuah gua. Liang Bua berasal dari kata Liang dan Bua dalam Bahasa Manggarai-Flores. Liang yang berarti gua dan Bua yang berarti dingin sehingga, Liang Bua berarti gua yang dingin.
Gua ini merupakan zaman peninggalan prasejarah karena ukuran gua yang dalam, lebar, dan memiliki atap yang tinggi. Tidak hanya itu, pada lantai gua sendiri relatif datar dan posisi mulut gua yang menghadap ke timur laut, sesuai dengan posisi sinar matahari. Gua ini memiliki sirkulasi udara yang baik dan dekat dengan aliran sungai.
Pada Liang Bua, sering digunakan sebagai lokasi para arkeolog untuk meneliti. Penemuan paling terkenal, yakni kerangka manusia purba Homo Floresiensis yang ditemukan pada kedalaman 5,9 meter. Temuan ini menghasilkan sembilan individu Homo Floresiensis, tetapi hanya satu kerangka yang utuh. Berdasarkan penelitian, situs ini telah berumur 60.000--100.000 tahun yang lalu.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
3. Desa Wae Rebo
Desa Wae Rebo terletak di dataran tinggi Pulau Flores yang dikelilingi oleh pegunanan hijau. Wae Rebo sendiri, dihuni oleh keturunan orang Minang, Sumatera Barat. Desa ini dinobatkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada 2012.
Di desa ini, terdapat tujuh rumah adat Manggarai yang berbentuk kerucut dengan pemandangan sekitar desa adat ini yang masih asri. Nama rumah adat ini yaitu Mbaru Niang atau Mbaru Gendang. Atap rumah adat Wae Rebo terbuat dari daun lontar, menambah keunikan dari desa adat ini.
Keanekaragaman hayati banyak ditemukan di desa ini. Penduduk setempat biasanya memanen biji kopi.Â
4. Sawah Laba-Laba
Umumnya, sawah berbentuk persegi maupun persegi panjang, berbeda dengan sawah yang berada di Manggarai dengan bentuk menyerupai jaring laba-laba. Seperti sawah pada umumnya, tanaman yang ditanam antara lain padi, jagung, dan ubi-ubian. Pola sawah ini memiliki titik pusat yang disebut dengan lodok pada pusat lingko.
Lingko merupakan cara pembagian sawah yang dimulai dari titik tengah (lodok). Dari titik tengah tersebut, kemudian ditarik garis panjang membentuk pola menyerupai jaring laba-laba. Masyarakat Manggarai menyebut motif persawahan ini sebagai lingko lodok.
Lingko juga dapat diartikan sebagai tanah yang dimiliki satu kelompok yang memiliki ikatan keluarga atau suku. Pembagian lingko dalam sistem lodok dibagi oleh tu'a teno (tuan tanah) yang mana pembagiannya pun melalui rapat.
Advertisement
5. Tarian Daerah
Kabupaten Manggarai memiliki tarian tradisional, yakni Tari Caci. Tarian ini dilakukan oleh laki-laki yang berjumlah dua orang dengan menggunakan cambuk dan tameng. Tarian ini termasuk tarian perang.
Penari yang menggunakan cambuk biasanya bertugas untuk menyerang, sedangkan yang membawa tameng bertugas untuk bertahan. Secara bergantian para penari menyerang satu sama lain. Walaupun termasuk tarian perang, tarian ini seperti tari-tarian pada umumnya yang juga menggunakan musik.
Tarian ini biasanya dipentaskan untuk acara-acara khusus atau upacara adat besar, antara lain ritual tahun baru, menyambut tamu penting, dan upacara adat wina (pernikahan). Nama Caci berasal dari kata Ca dan Ci. Ca sendiri berarti satu dan Ci berarti uji, maka dapat disimpulkan bahwa tarian ini memiliki makna untuk menguji satu lawan satu, salah satunya menguji ketangkasan.
6. Destinasi Alam yang Asri
Kabupaten Manggarai memiliki air terjun dan kolam pemandian yang bernama Tiwu Wali. Air terjun dan kolam pemandian ini, terletak di Desa Ruis, Kecamatan Reok dan jauh dari keramaian. Air terjun dan kolam pemandian menghadirkan suasana tenang yang dikelilingi oleh sunyinya hutan dan keadaan alam yang masih asri.
Selain itu, terdapat destinasi Gunung Ranaka yang terletak di Kecamatan Wairii, Kabupaten Manggarai termasuk kawasan hutan konservasi. Kawasan gunung ini masuk ke dalam daerah Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Gunung Ranaka sendiri dikenal dengan kekayaan persebaran flora khususnya anggrek. (Gabriella Ajeng Larasati)
Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Advertisement