Liputan6.com, Jakarta - Bagi yang pernah berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta, dulu dikenal sebagai Museum Fatahillah, pasti pernah melihat lukisan besar terpasang di dinding salah satu ruangan. Lukisan berjudul "Pertempuran Antara Sultan Agung dan J.P. Coen" itu dibuat oleh maestro pelukis S. Soedjojono, bahkan menjadi mahakaryanya.
Karya tersebut dibuat S. Sudjojono atas pesanan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, pada 1973. Lukisan tersebut bertujuan melengkapi isi museum yang diresmikan pada 1974. Sang pelukis langsung menyanggupi, tetapi ia membutuhkan riset sebelum mengerjakan karyanya di atas kanvas berukuran 3x10 meter.
Advertisement
Baca Juga
"Dikarenakan Bapak Sudjojono merupakan seniman yang detail, pemikir, dan konseptual. Beliau melakukan riset untuk Sultan Agung kurang lebih satu tahun, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga Solo maupun di Belanda," terang pendiri Tumurun Private Museum Iwan Kurniawan Lukminto dalam jumpa pers tur virtual Pameran berjudul Mukti Negeriku! Perjuangan Sultan Agung Melalui Goresan S.Sudjojono, Jumat sore, 27 Agustus 2021.
Maya Sudjojono, putri S. Sudjojono, membagikan cerita di balik layar soal proses riset yang dilakukan bapaknya. Kesempatan riset ke Leggermuseum di Belanda didapat berkat undangan pameran lukisan selama tiga bulan. Koneksinya diperoleh dari sang istri, Rose Pandangwangi, yang merupakan diva seriosa Indonesia.
"Undangan pameran ini sangat bantu untuk riset tiga bulan di Belanda, karena beliau kalau harus gunakan dana sendiri berat," kata Maya.
Selama riset berlangsung, Sudjojono yang juga disebut sebagai Bapak Seni Rupa Kontemporer Indonesia itu kerap membuat sketsa. Bahkan, jumlah sketsa yang dihasilkan selama pembuatan lukisan Sultan Agung ini adalah yang terbanyak selama membuat satu lukisan. Ia juga menuliskan catatan tangan pada setiap sketsa dari fakta-fakta yang ia dapat dalam proses riset.
"Bapak pernah gamblang bilang, 'Untuk ukur kehebatan pelukis itu lihat buku sketsanya.' Ini pesan penting bagi generasi muda dan seniman di Indonesia," ucap Maya.
Sebanyak 38 sketsa Soedjojono itu mulai hari ini, Sabtu (28/8/2021), dipamerkan dalam pameran bertajuk "Mukti Negeriku! Perjuangan Sultan Agung Melalui Goresan S.Sudjojono" di Tumurun Private Museum Solo. Pameran gratis yang berlangsung hingga Februari 2022 tersebut sementara hanya berlangsung secara virtual lantaran Solo masih menerapkan PPKM Level 4.
"Kami sebenarnya gunakan format baru, hybrid. Satu sesi dibatasi 30 orang. Dalam sehari kami bisa buka 5--6 sesi. Ini bisa dilakukan kalau sudah registrasi. Namun saat ini, masih belum ada jadwal karena masih tutup," kata Wawan, sapaan akrab Iwan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Isi Pemikiran Sudjojono
Maya menerangkan, sang ayah harus membuat studio khusus agar bisa menampung lukisan dengan ukuran super besar itu. Perlu sekitar tujuh bulan untuk menyelesaikan seluruh lukisan.
Kurator pameran, Santy Saptari, menjelaskan lukisan "Pertempuran antara Sultan Agung dan J.P.Coen" terbagi menjadi tiga panel. Panel pertama menggambarkan sosok Sultan Agung dengan busana kebesarannya, termasuk batik motif parang, yang dihormati rakyat dan orang-orang kepercayaannya.
"Untuk sketsa bagian satu, Sudjojono sampai memiliki lima sketsa untuk gambarkan gaya duduk Sultan Agung, bentuk tangan, baju yang dikenakan, dan aksesori-aksesorinya," ujar dia.
Panel kedua adalah panel terbesar yang menggambarkan pertempuran yang terjadi antara prajurit Mataram dan pasukan Belanda selama 1628--1629. Menurut Santy, ada 31 sketsa yang menggambarkan sangat detal, mulai dari senjata-senjata yang digunakan, studi adegan perkelahian dalam berbagai pose, baik pasukan Belanda maupun Mataram, hingga gedung terbakar yang ternyata adalah Balai Kota tempat Museum Sejarah Jakarta berdiri saat ini.
Sedangkan panel ketiga menggambarkan sosok J.P. Coen yang menemui utusan Sultan Agung, Kyai Rangga. Sang utusan berusaha berunding dengan membawa beras, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Gubernur Jenderal Belanda itu. Ada hal menarik yang ditemukan Santy lewat sketsa Sudjojono terkait panel ketiga itu.
"Di sketsa digambarkan J.P. Coen dan Kyai Rangga ada di dalam ruangan. Tapi di lukisan, akhirnya digambarkan di luar dengan latar Pelabuhan Sunda Kelapa, ada kapal berlayar dan benteng yang menurut kita itu Benteng Holandia karena paling utara dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa," katanya.
"Dia (Sudjojono) berusaha menggambarkan sesuatu tanpa memihak. Dia percaya berunding lebih penting daripada perang. Karena itu, di lukisannya tidak ada darah," terang Santy seraya menyatakan bahwa Sudjojono meyakini Indonesia dan Belanda harus bekerja sama untuk masa depan lebih baik.
Lewat lukisan itu pula, Sudjojono menuangkan pemikirannya bahwa Barat dan Timur harus sederajat. Terlihat dari posisi gambar J.P. Coen yang setara dengan Sultan Agung. Kedua tokoh itu dinilai sama-sama berkarakter kuat dan pejuang untuk kepentingan masing-masing.
"Menurut Sudjojono, 70 persen (lukisan) harus benar berdasarkan fakta dan riset. Sementara, 30 persen sisanya adalah imajinasi beliau yang berdasarkan fakta tersebut," ucap Santy.
Advertisement
Mahakarya yang Belum Diakui
Wawan menyatakan pameran yang menampilkan reproduksi lukisan Sultan Agung beserta puluhan sketsa asli Sudjojono itu ingin menyampaikan pesan penting pada khalayak, bahwa ada dua tokoh bersejarah Indonesia yang patut dikenal dan dipelajari jejaknya. Menurut dia, semakin banyak generasi muda yang melupakan kedua tokoh ini.
"Kami ingin menginformasikan kepada masyarakat mengenai eksistensi lukisan ini. Sekarang masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, mulai lupa dengan sejarah Indonesia," kata dia.
Ia juga menyatakan lukisan Sultan Agung sebagai salah satu mahakarya lukisan Indonesia, tetapi sampai saat ini belum menyandang predikat cagar budaya nasional. Padahal, pengakuan itu akan sangat berdampak pada proses pelestarian karya. Saat ini, kondisinya mulai membutuhkan restorasi kembali lantaran sudah rapuh.
"Terakhir kali direstorasi pada 2008. Idealnya kurang lebih 10 tahun lagi harus direstorasi lagi kanvasnya karena humiditas dan udara asinnya di museum," imbuh Santy.
"Jangan sampai orang luar negeri lebih mengenal siapa Sultan Agung dan S. Sudjojono dibandingkan warga kita sendiri," ucap Maya.
Seni Wayang Potehi
Advertisement