Liputan6.com, Jakarta - Bitung merupakan kota paling timur di Provinsi Sulawesi Utara. Luas wilayahnya sebesar 313,52 kilometer persegi. Kota ini berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara dan Laut Maluku di sebelah utara. Bitung juga berbatasan dengan Laut Maluku di sebelah selatan dan timur. Sedangkan, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara.
Kota yang dikenal sebagai kota pelabuhan internasional ini terbagi dalam delapan kecamatan yaitu Madidir, Matuari, Girian, Aertembaga, Maesa dan Ranowulu serta dua Kecamatan terletak di Pulau Lembeh, Lembeh Selatan dan Lembeh Utara. Pulau Lembeh terletak di sebelah Kota Bitung yang berpotensi menjadi daerah wisata bahari.
Advertisement
Baca Juga
Ranowulu merupakan kecamatan terbesar di Kota Bitung karena luas wilayahnya mencapai 50,26 persen dari luas total Kota Bitung atau sebesar 157,56 kilometer persegi. Sementara, Kecamatan Maesa hanya memiliki luas wilayah sebesar 9,70 kilometer persegi, menjadikannya sebagai kecamatan terkecil di Kota Bitung.
Pada 2020, jumlah penduduk Kota Bitung sebanyak 225.134 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 115.531 jiwa dan perempuan 109.603 jiwa. Profesi yang digeluti warga didominasi oleh sektor perkebunan. Komoditas perkebunan di Kota Bitung didominasi oleh kelapa. Maka, tidak heran bila di kota ini terdapat pabrik minyak kelapa.Â
Sementara, sektor peternakan di Kota Bitung didominasi oleh ternak babi, yaitu sebanyak 31.808 ekor. Sedangkan, ayam kampung menjadi komoditas unggas terbesar dengan 177.144 ekor. Selain itu, di kota ini tumbuh berbagai industri lainnya seperti pengalengan ikan dan industri galangan kapal.
Tentunya, masih banyak fakta menarik lainnya dari Kota Bitung. Berikut enam fakta menarik dari Kota Bitung yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber.
1. Monumen Trikora Mandala Sakti
Monumen Trikora Mandala Sakti berada di Kelurahan Batulubang, Pulau Lembeh. Monumen ini dibangun sebagai peringatan bagi para pejuang yang melawan Belanda ketika merebut Irian Barat.
Monumen yang berdiri pada akhir 1980-an ini dibangun di sana karena pasukan TNI mendarat pertama kali di kota ini, sebelum tiba di Papua. Selain menyajikan monumen peringatan, pada kawasan ini dijumpai pula pesawat DC-3 Dakota yang pernah digunakan TNI Angkatan Udara ketika menyerang Belanda di Irian Barat.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
2. Asal-usul Nama Bitung
Nama kota ini diambil dari nama sebuah pohon yang bernama latin Hivia hospital. Warga menyebutnya sebagai pohon bitung. Tanaman ini merupakan tumbuhan tropis yang banyak tumbuh di pesisir pantai Indonesia hingga Madagaskar.
Dalam Bahasa Belanda, Pohon Bitung dikatakan sebagai Stevige Koroestige Boom, sedangkan dalam Bahasa Sangihe disebut sebagai tariang. Selain itu, pohon itu dikenal juga dengan nama-nama lokal lainnya, seperti bogem, butong, butun, pertun, putat laut, bitung, talise, dan hutun. Pada pemerintahan Presiden Soeharto, Pohon Bitung mendapatkan predikat sebagai pohon perdamaian pada perayaan Hari Lingkungan Hidup 1986.
Nama Bitung mulai digunakan sebagai nama sebuah area di pantai pada akhir abad ke-18. Saat itu, tempat tersebut hanya menjadi tempat persinggahan dan berteduh bagi para nelayan. Semakin ramainya nelayan yang singgah membuat lama kelamaan Bitung menjadi sebuah pemukiman.
Ketika menjadi sebuah desa, penduduknya berbaur dengan etnis Minahasa, khususnya sub etnis dari Tonsea serta etnis Sangihe-Talaud. Penduduknya makin beragam dengan kedatangan warga etnis Maluku Utara, Mongondow, serta beberapa etnis lainnya.
3. Taman Nasional Tangkoko
Taman Nasional Tangkoko berada di Kecamatan Aertembaga yang memiliki luas 8,745 hektare. Kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1919. Flora dan faunan di taman nasional itu beragam, beberapa hanya bisa ditemui di taman nasional ini.
Flora endemik yang berada di Taman Nasional Tangkoko antara lain Gora Hutan, Bitangar, Lengki, Nantu, dan Bombongan. Sementara itu, fauna endemik yang menghuni taman nasional ini seperti Anoa, Tarsius, Kuskus, Monyet Hitam, Musang Sulawesi, Sia-Soa, Burung Maleo, Babi Rusa, dan Burung Taon.
Â
Advertisement
4. Hutan Mangrove Lirang
Hutan Mangrove Lirang berada di ujung utara Pulau Lembeh, tepatnya di Kecamatan Lembeh Utara. Untuk menuju ke kawasan mangrove ini dapat ditempuh dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Pateten di Kecamatan Maesa menuju Pelabuhan Papusungan di Kecamatan Lembeh Selatan.
Kawasan ini menyajikan pemandangan hutan bakau hijau yang rimbun. Tersedia jembatan kayu untuk pengunjung yang ingin menyusuri kawasan hutan mangrove. Dapat pula menaiki perahu untuk mengelilingi hutan bakau. Jika ingin mengabadikan pemandangan kawasan hutan mangrove, perahu dapat diberhentikan sejenak. Pengunjung dapat pula memancing di kawasan ini.
5. Selat Lembeh
Selat Lembeh membentang sepanjang 16 kilometer yang dikenal dengan keindahan alam bawah lautnya. Kedalaman selat ini mencapai 15 hingga 25 meter dengan suhu air yang stabil, yaitu 24 hingga 30 derajat. Lokasi ini dikenal di kalangan penyelam nasional sebagai kawasan penyelaman terbaik di dunia.
Selat Lembeh merupakan rumah bagi ikan raksasa yang hampir tidak pernah ditemukan di tempat lain. Ada pula nudibranch, cumi-cumi flamboyan, gurita mimic, hingga ikan hairy frogfish. Keindahan alam bawah lautnya juga menjadi surga dunia bagi para pecinta fotografi.
6. Halua Kenari
Halua kenari menjadi salah satu makanan tradisional populer di Bitung, mirip seperti di Ambon. Kue ini disajikan untuk hari-hari besar seperti natal dan tahun baru serta dihadirkan untuk acara syukuran. Para tamu yang diundang ke acara ini dapat membawa pulang Halua Kenari sebagai oleh-oleh.
Sesuai namanya, bahan baku untuk membuat camilan ini tentunya menggunakan kenari. Dibutuhkankan pula gula aren dan daun pisang yang telah dipanaskan agar daun tidak bergetah dan tidak mudah sobek.
Gula aren dimasak menggunakan sedikit air hingga mencair, baru dimasukkan buah kenari yang sudah dikupas dan dihancurkan. Adonan diaduk hingga menyatu dan diletakkan di daun pisang yang sudah diatur pada wadah panjang dengan menggunakan dua buah sendok. (Gabriella Ajeng Larasati)
Perbedaan Aturan PPKM Level 3 dan 4
Advertisement