Sukses

Sosok Sarjana Hukum UGM yang Putuskan Jadi Pemulung Sampah Organik

Usai lulus kuliah, Sarjana Hukum lulusan UGM ini lebih menyukai pekerjaan sebagai pemulung sampah dibanding kerja kantoran.

Liputan6.com, Jakarta - Nama Marina Tri Muliawati saat ini sedang ramai dibicarakan. Sarjana Hukum lulusan UGM (Universitas Gadjah Mada) Jogja ini memilih untuk menjadi pemulung sampah-sampah organik. Hal itu diketahui dari sejumlah unggahan di akun Instagram dan TokTok miliknya.

Usai lulus pada tahun lalu, ia lebih menyukai pekerjaan sebagai pemulung sampah dibanding kerja kantoran. Diketahui dari unggahan video di akun TikTok @pemulungorganik miliknya, ia menjelaskan alasannya menjadi seorang pemulung.

Menurut dia, kebanyakan orang memilih untuk bekerja di kantor dan tidak ada yang mau mengurus masalah sampah yang sudah semakin banyak. Marina mengaku tak tertarik untuk bekerja di bidang yang sejalan dengan studi yang telah diambil.

Ia mengatakan bahwa lulusan Hukum di UGM sudah banyak sekali. Dia ingin memberikan mereka kesempatan untuk bekerja di bidang hukum, tapi tidak untuk dirinya.

Ia juga tak mau bekerja sebagai pegawai di bawah pimpinan orang lain, sehingga memilih untuk membangun usaha sendiri. Marina diketahui mengembangkan bisnis maggot atau larva Black Soldier Fly (BSF).

Maggot BSF adalah larva dari jenis lalat besar hitam yang penampakannya seperti tawon. Marina rupanya memiliki ide mengolah sampah ini sejak kecil.

Rumahnya tidak jauh dari pasar, berjarak berkisar 100 meter. Ketika hujan, banyak dari sampah-sampah itu yang kemudian tidak terolah dengan baik sehingga menimbulkan bau tak sedap hingga ke rumahnya. Ia pun mencari tahu bagaimana menghilangkan atau setidaknya mengurangi bau sampah tersebut. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Potensi Bisnis Larva

Pada awalnya, Marina seorang diri menjalankan bisnis ini. Kini, ia bersama suaminya, Ahimsa Bagas, bekerja sama menggarap usaha tersebut.

Harga larva terbilang cukup mahal. Di area Jawa Tengah, harga jual maggot di kisaran Rp8 ribu sampai Rp10 ribu, bergantung ukurannya. Semakin kecil, harga jualnya juga semakin mahal. Selain itu, larva kering per kilogram mencapai harga jual hingga Rp100 ribu.

Orang-orang terdekatnya sempat mempertanyakan tentang bisnis larvanya, dan menyarankan untuk beternak hewan lain. Namun, pada akhirnya keluarga mendukung setelah keduanya menjelaskan potensi bisnis larva.

Menurut keduanya, bisnis ini memiliki peluang ekspor yang masih sangat besar. Modal yang sangat minim dan tingkat kerugian yang nyaris tidak ada, menjadi sebagian faktor keduanya menekuni usaha tersebut.

Bisnis maggot ini, menurut Marina juga mendukung usaha ternak karena menghemat pengeluaran untuk pakan hingga 60 persen. Lewat akun TikToknya, Marina kerap berbagi ilmu budi daya larva BSF. Salah satunya dengan rutin berkeliling pasar mencari sampah organik. Pada beberapa videonya, ditampilkan beragam sayuran, buah-buahan, maupun makanan yang sudah busuk atau mau dibuang.

3 dari 4 halaman

Tujuan Mulia

Sampah organik yang didapat dari pasar itu kemudian oleh Marina dan suaminya dihancurkan menggunakan penggiling daging. Hasilnya, gilingan sampah organik itu digunakan untuk memberi makan larva BSF.

Namun, bukan hanya karena uang, ada tujuan mulia dibalik pilihan Marina dan suaminya mengolah sampah organik  "Bismillah diniatin untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih," ungkapnya.

Unggahan tersebut menuai banyak reaksi dari warganet. Sebagian besar memuji kegigihan gadis cantik tersebut.  "Yah memang gitulah tamatan Kuliah yg bagus, menciptakan Model lapangan sendiri.... bukan jadi Budak Corporat," komentar seorang warganet.

"Semangat terus,ciptakan lapangan kerja,terus bermanfaat tuk raih keberkahan,aamiin," timpal warganet lainnya. Salah satu video yang diunggah Marina pada Agustus lalu sempat viral dan sudah dilihat lebih dari 951 ribu kali dan disukai lebih dari 36 ribu kali.

4 dari 4 halaman

Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi