Liputan6.com, Jakarta - Ketergantungan Bali pada sektor pariwisata sangat tinggi. Buktinya, selama roda pariwisata tersendat karena pembatasan perjalanan untuk menekan angka kasus positif Covid-19, ekonomi Bali ikut terpuruk.
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, akrab disapa Tjok Ace, mengakui bahkan ekonomi Bali menjadi yang terendah di antara provinsi lain di Indonesia. Namun, situasi ini menyadarkan pihaknya bahwa sebenarnya masih banyak potensi lain di luar pariwisata yang bisa digarap, seperti pertanian, kerajinan, dan industri rumah tangga lainnya.
Ia mencontohkan produk kerajinan Bali. Beberapa waktu lalu, ia dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil akan meluncurkan penjualan produk kerajinan Bali lewat platform digital. Belum juga resmi diluncurkan, nilai transaksi sudah mencapai Rp500 juta.
Advertisement
Baca Juga
"Ternyata transaksi bisa hadir walau orangnya tidak hadir. Dengan platform digital, orang bisa pilih produk yang diinginkan dengan harga yang bisa dijangkau," kata dia dalam Planet Tourism Indonesia 2021, Rabu (22/9/2021).
Di sisi lain, ia menyoroti bahwa keberlanjutan atau sustainable adalah sebuah tujuan untuk setiap pelaku sektor pariwisata. Tidak ada satu pun daerah, kata dia, yang ingin nasib pariwisatanya terputus di tengah-tengah, termasuk Singapura sekalipun. Hanya saja, konsepnya disesuaikan dengan kekuatan dan potensi masing-masing wilayah.
"Tentu harus ada hal yang di-maintain. Singapura, misalnya, berpacu dengan teknologi karena prestisenya di sana. Saat dia yang pertama membuat kolam ombak, semua orang menganggap produk yang modern. Tetapi saat negara lain sudah buat, dia harus gali yang lain lagi karena itu berarti sudah ketinggalan zaman," tuturnya.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
2 Elemen
Untuk Bali, kata Tjok Ace, faktor keberlanjutan pariwisatanya ditentukan oleh konsep kebudayaan. Ada dua elemen yang menyusunnya, yakni manusia dan alam Bali.
"Tapi apakah cukup hanya menjaga alam dan manusia Bali? Tidak. Kita tidak ingin orang Bali hanya jadi objek dalam industri pariwisata Bali. Tak bisa hanya ditempatkan di kerangkeng emas," kata dia.
Selain itu, keberlanjutan pariwisata juga tak bisa dilepaskan dari kesejahteraan orang Bali. Kalau diabaikan, sambung Tjok Ace, akan menimbulkan krisis dan kecemburuan sosial. Pada akhirnya berdampak pada jaminan keberlanjutan pariwisata di Bali.
"Kesempatan sekarang, di masa Covid-19, merenungkan kembali apakah pariwisata telah jaga alam Bali, apakah telah beri ruang kepada masyarakat di industri pariwisata atau belum," ucapnya.
Ia pun mengkhawatirkan situasi saat ini, terutama penjualan aset-aset oleh orang Bali kepada pihak luar demi menyambung hidup. Karena itu, sambung dia, pemulihan pariwisata Bali membutuhkan upaya bersama, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, pelaku usaha, dan masyarakat.
"Pariwisata dan Bali itu ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan. Pariwisata beri kontribusi besar pada PDRB Bali, sehingga secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan Bali," ucap dia.
Advertisement
Bukan New Normal Lagi
Sementara itu, founder dan chairman Markplus, Hermawan Kertajaya menilai masa new normal saat ini sudah lewat. Tahun 2021 dan 2022 semestinya sudah memasuki era next normal dan post normal.
"Pak Ganip (Ganip Warsito, Kepala BNPB) mengatakan, Covid itu tidak akan hilang, tetapi masuk era endemi, di 2022, kalau gelombang 3 tidak datang di Desember. Sekarang eranya investment, jangan tunggu PPKM selesai," kata dia.
Menjelang era post normal, pendekatan yang semestinya dilakukan adalah tidak hanya online, tetapi omnichannel. Semuanya harus berlangsung secara seamless agar era reformasi yang diprediksi berlangsung pada 2023--2025 bisa berjalan mulus.
Pendekatan yang dipakai pun harus mengacu pada sustainable development goals (SDGs). "Kalau kita tidak mengacu SDGs, turis atau travel agent-nya yang akan paksa kita," ujarnya.