Liputan6.com, Jakarta - Perempuan penyintas kekerasan seksual tercatat berisiko lebih tinggi mengembangkan jenis kerusakan otak. Gangguan ini dikaitkan dengan penurunan kognitif, demensia, dan strok, catat sebuah studi baru, melansir CNN, Kamis, 23 September 2021.
"Itu bisa berupa kekeasan seksual di masa kanak-kanak atau serangan seksual saat dewasa," kata penulis studi Rebecca Thurston, seorang profesor dan direktur Laboratorium Kesehatan Biobehavioral Wanita di Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS).
"Berdasarkan data populasi, sebagian besar perempuan mengalami kekerasan seksual ketika mereka berada di masa remaja awal dan dewasa awal," tuturnya. "Jadi, ini kemungkinan pengalaman yang kita lihat tandanya di kemudian hari."
Advertisement
Baca Juga
Studi yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan Masyarakat Menopause Amerika Utara, Rabu, 22 September 2021 itu menambah daftar penelitian tentang dampak jangka panjang kekerasan seksual pada tubuh dan pikiran. "Ini terus jadi masalah kesehatan utama perempuan," katanya.
Penelitian sebelumnya telah mencatat trauma seksual memengaruhi tingkat trigliserida dan tekanan darah yang lebih tinggi di usia paruh baya. Juga, risiko tiga kali lipat lebih besar untuk mengembangkan plak karotis, semua faktor risiko utama untuk penyakit jantung.
Selain itu, sebuah studi pada 2018 yang dilakukan Thurston mencatat penyintas kekerasan seksual tiga kali lebih mungkin mengalami depresi dan dua kali lebih mungkin mengalami peningkatan kecemasan dan insomnia dibandingkan wanita tanpa riwayat trauma seksual.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mempertimbangkan Trauma Seksual
Mempertimbangkan dampak yang meluas, Thurston mengatakan, dokter harus bertanya pada pasien perempuan mereka tentang kemungkinan trauma seksual. Kemudian, dengan hati-hati memantau risiko kardiovaskular wanita itu seiring bertambahnya usia.
Penyintas kekerasan seksual juga harus merasa diberdayakan untuk berbicara dan memberi tahu dokter mereka, tambahnya. "Benar-benar bagikan informasi ini dengan penyedia layanan kesehatan Anda," kata Thurston.
"Ini bukan salah Anda, jadi tolong bagikan apa yang Anda rasa nyaman untuk diungkapkan. Ini adalah informasi penting yang berimplikasi pada kesehatan fisik dan kesejahteraan emosional Anda," imbuhnya.
Studi terbaru mencari tanda-tanda hiperintensitas materi putih dalam pemindaian otak 145 perempuan paruh baya tanpa riwayat penyakit kardiovaskular, strok, atau demensia sebelumnya. Namun, 68 persen peserta pernah mengalami trauma, dan 23 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual.
Advertisement
Merusak Tubuh dan Pikiran
Lebih lanjut dijelaskan, hiperintensitas materi putih, yang muncul sebagai bintik-bintik putih kecil pada MRI, adalah penanda gangguan aliran darah akibat kerusakan di otak. "Kami menemukan bahwa wanita dengan riwayat serangan seksual memiliki hiperintensitas materi putih yang lebih besar di otak," katanya.
Ini, sambung Thurston, merupakan indikator penyakit pembuluh darah kecil yang dikaitkan dengan strok, demensia, penurunan kognitif, bahkan kematian. Studi ini juga mencatat penyakit dan kondisi lain yang akan memengaruhi perkembangan hiperintensitas materi putih seperti usia, hipertensi, merokok, dan diabetes.
Mereka juga menggarisbawahi kondisi emosional, termasuk depresi, kecemasan, dan gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD). Peningkatan hiperintensitas materi putih "tidak dijelaskan oleh gejala subjektif dari kesusahan ini," kata Thurston.
"Ini hampir seperti tubuh Anda memiliki memori yang mungkin tidak sepenuhnya terwujud melalui gejala psikologis. Kekerasan seksual juga meninggalkan jejak trauma di otak dan tubuh kita," tutupnya.
Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Advertisement