Sukses

Taman Nasional Way Kambas Belum Mampu Lindungi Gajah Sumatera dari Para Pemburu Liar

Balai Taman Nasional Way Kambas mencatat 22 ekor gajah mati dalam kurun waktu 10 tahun karena ulah pemburu liar.

Liputan6.com, Jakarta - Siapa bilang kawasan konservasi sepenuhnya jadi tempat perlindungan yang bisa diandalkan untuk satwa yang bermukim di dalamnya. Gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, misalnya. Hasil survei DNA populasi gajah menunjukkan ada penurunan populasi hingga puluhan ekor hanya dalam 10 tahun.

Wildlife Conservation Society mencatat bahwa populasi gajah pada 2010 secara keseluruhan mencapai 247 ekor gajah. Namun pada 2020, hasil pemantauan Elephant Response Unit (ERU) Taman Nasional Way Kambas dengan metode GPS collar didapat bahwa hanya ada 180 ekor gajah yang terpantau. 67 ekor gajah sisanya tidak terpantau.

Balai TNWK juga mencatat 22 ekor gajah mati dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Mamalia terbesar itu mati tanpa gading dan gigi yang menandakan bahwa mereka korban perburuan liar. Bahkan, kontak senjata masih terjadi antara polisi hutan dan pemburu liar. Belum lagi deretan barang bukti yang ditemukan, dari jaring kabut, perangkap kandang, hingga tongkat.

"Temuan yang kami dapat menandakan bahwa perburuan liar di kawasan TN Way Kambas harus dihentikan karena mengancam populasi satwa liar dan tentunya akan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan hingga ekosistem bumi secara jangka panjang," ujar Kepala Balai TNWK Kuswandono, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Sabtu, 2 Oktober 2021.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga bagian lampiran dari Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, gajah Sumatra atau Elephas maximus sumatranus termasuk ke dalam daftar jenis satwa yang harus dilindungi.

Kuswandono menerangkan, konsep perlindungan penyangga kehidupan sangat penting diterapkan. Tidak hanya melindungi satwa yang hidup di dalamnya, tetapi juga melindungi ekosistemnya dengan merestorasi hutan.

"Di tengah upaya pelestarian gajah dan melawan aksi perburuan liar, kegiatan restorasi hutan juga harus terus dilakukan. Kita sebagai manusia perlu melakukan introspeksi dan meningkatkan kesadaran akan masalah ini," katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 
2 dari 4 halaman

Sering Picu Kebakaran Hutan

Para pemburu liar yang jadi ancaman utama bagi kelangsungan hidup gajah ternyata juga mengancam flora di hutan. Mereka kerap memicu kebakaran hutan untuk memudahkan mereka berburu. Maka, beban tugas menjadi berlipat. 

"Untuk pelestarian kawasan hutan, kami bekerja sama dengan kelompok komunitas atau mitra lingkungan, seperti Yayasan Auriga Nusantara dalam upaya restorasi hutan yang sudah mulai dilakukan sejak tahun 2013," kata Kuswandono.

Dari luasan total TNWK sebesar 125 ribu hektare, terdapat sekitar 17 ribu hektare yang perlu direhabilitasi. Ia menyebut ada tiga metode rehabilitasi yang diterapkan, yakni pemulihan ekosistem alami, pemulihan ekosistem yang menggunakan anggaran negara dan pemulihan ekosistem bekerja sama dengan mitra seperti Auriga.

"Kami mengapresiasi Balai TNWK yang membuka ruang kerja sama dengan Auriga Nusantara memulihkan habitat tersebut, baik ketika kami bersama konsorsium pada 2013-2017 seluas 100 hektare, maupun spesifik dengan Auriga hingga 2023 untuk luasan 1.200 hektare," ujar Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Indonesia.

3 dari 4 halaman

Sekat Bakar

Direktur Kehutanan Auriga, Supin menerangkan, dari 1.200 hektare area restorasi, pihaknya menargetkan untuk membangun pembibitan dan menanam kembali 600 hektare lahan di kawasan Rawa Kadut hingga 2021.

"Selain itu, kami membuat sekat bakar untuk mengendalikan kebakaran dan menghambat kebakaran agar tidak meluas. Kami juga melakukan perawatan pada area permudaan alami (suksesi)," ujar dia.

Rawa Kadut merupakan area padang rumput dengan intensitas kebakaran sangat tinggi sehingga perlu dikelola dengan baik agar tidak memicu kebakaran hutan. Caranya dengan membangun sekat bakar, membuat jalur pemisah antara kawasan yang rawan terbakar dan kawasan restorasi, serta membersihkan jalur ini dari ilalang.

"Pelaku perburuan liar sering kali dengan sengaja memicu kebakaran hutan agar tumbuh ilalang muda. Satwa-satwa yang kemudian berkumpul di area ilalang muda dapat memudahkan mereka dalam melakukan perburuan," sambung Timer.

"Sekat-sekat bakar pun dibuat dan personel hadir di lapangan terus-menerus. Belakangan, keberadaan personel di lapangan ini ternyata menjadi salah satu cara mendeteksi kehadiran api yang bahkan jauh dari area restorasi," sambung dia.

4 dari 4 halaman

Hutan Adat Guguk