Sukses

Perjuangan Metta Murdaya Menulis Buku soal Jamu di Masa Pandemi Covid-19

Bagi Metta Murdaya, jamu bukan hanya sekadar minuman kesehatan, tetapi menyangkut kultur yang sudah terpupuk berabad-abad.

Liputan6.com, Jakarta - Jamu punya makna khusus dalam karier bisnis Metta Murdaya. Lewat jamu, putri pasangan Hartati Murdaya dan Murdaya Poo mengembangkan bisnis skincare bernama Juara di Amerika Serikat.

"Aku membangun bisnis skincare Juara pun inspirasinya datang dari jamu," kata Metta kepada Liputan6.com lewat aplikasi Zoom, Jumat, 1 Oktober 2021. "Saat ini skincare aku itu masih tetap bisa bertahan dalam kondisi pandemi Covid-19," imbuh Metta.

Di tengah kesibukannya mengelola bisnisnya itu, Metta meluangkan waktu untuk menulis sebuah buku berjudul Jamu Lifestyle: The Indonesian Herbal Wellness Tradition. Buku ini diterbitkan oleh Afterhours, sebuah penerbit yang berbasis di Jakarta.

Mengenakan busana hitam dan rambutnya panjang tergerai, Metta tampak santai membeberkan tentang buku yang ditulisnya hingga membutuhkan waktu sekitar tiga tahun. Karena saat penulisan buku tersebut dalam suasana Covid-19.

Sebagai enterpreneur, Metta tampak memahami betul tentang tradisi jamu, tapi dengan rendah hati ia mengatakan bukan seorang ahli jamu. Dengan bahasa yang lancar, tak jarang Metta berbicara dalam bahasa Inggris.

"Sebenarnya, banyak orang yang lebih canggih dari aku. Berbicara tentang jamu, aku juga cukup mengerti, bisa bikinnya dan bahan-bahan yang digunakan dan apa fungsinya. Tapi aku enggak menganggap aku sebagai expert jamu, tapi aku anggap aku adalah expert wellness," ujar Metta.

"Cerita soal jamu itu juga ada cerita tentang keluarga, cerita komunitas. Itu yang holistic healing. Cerita kesayangan, dari orangtua kasih ke anak, dari istri kasih ke suami. Itu kultur yang selfcare yang total," imbuh Metta.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 
2 dari 4 halaman

Mengedukasi

Metta Murdaya menegaskan, jamu itu sangat spesial. Dengan buku itu, ia ingin mengedukasi masyarakat Amerika Serikat dan dunia mengenai tradisi bernama jamu.

"Jamu bukan sekadar minuman yang kita teguk atau green juice. Jamu itu sesuatu yang unik karena ada kultur Indonesianya, filosofi kesehatan yang turun menurun yang sudah ratusan tahun. Itu yang ingin saya ceritakan," kata Metta.

Lewat buku ini, Metta mengatakan sangat menghormati jamu. "Yuk, kita celebrate jamu dan kita tingkatkan jamu di dunia. Kita juga meningkatkan orang-orang di Indonesia yang berkontribusi terhadap komunitas jamu," ujarnya.

Metta mengungkapkan, jamu seperti yang biasa diminum di Indonesia itu jarang sekali ada. Tetapi, banyak orang Amerika itu buat jus dengan menggunakan bahan-bahan seperti untuk buat jamu, seperti kunyit dan jahe.

"Itu sudah populer di sini (Amerika). Ada beberapa brand yang pemiliknya orang bule, bukan orang Indonesia. Itu karena ada orang bule yang datang ke Indonesia, dan mereka senang banget dan kemudian mereka kembali ke Amerika kemudian dia bikin sendiri. Mengapa orang bule yang mengembangkan jamu, mengapa bukan orang Indonesia?" kata Metta yang berharap ada orang Indonesia yang mengembangkan jamu di Amerika Serikat.

3 dari 4 halaman

Tantangan Menulis Buku

Lewat buku ini, kata Metta, ia bicara tentang pengalaman. Ia menempatkan jamu, tak hanya sebagai wellness, tapi juga sesuatu yang enjoy.

"Tidak semua tradisi punya aspek enjoy, kadang-kadang mereka mementingkan asal sehat saja, tapi enggak enjoy. Dengan jamu, orang bisa tetap sehat dan bisa enjoy," kata Metta yang menyebut jamu bersifat preventif dan menyembuhkan.

Metta menjelaskan, ada tiga tantangan yang ia hadapi saat penulisan buku ini. Pertama, ia menulis buku tersebut saat Covid-19. Ia sulit untuk menceritakan ke orang luar apa yang membuat jamu itu beda dan unik dibandingkan dengan Chinese medicine, Ayurveda, atau tradisi Amerika-Meksiko, Indian.

Kedua, banyak hal yang dilakukan lewat Zoom, baik mengambil foto maupun wawancara. Ia juga harus dibantu dengan tim di Indonesia untuk urusan logistik penulisan buku. Semua masakan dibuat di rumah fotografer, tidak bisa ke mana-mana, semua pakai masker, tes PCR, dan jaga jarak, dan lain-lain.

Ketiga, menulis berkali-kali. Ia mengatakan bukan penulis, jadi harus menulis beberapa kali. Kadang ia merasa kurang puas atau kurang sreg. "Itu yang bikin susah, tapi itu oke juga," kata Metta.

Buku yang dijual lewat Amazon 45 dolar AS atau sekitar Rp642 ribu ini mendapatkan respons baik publik di Amerika. Mereka menilai buku tersebut sangat bagus secara visual. 

"Mereka bilang buku ini bagus sekali secara visual. Itu memang sengaja," kata Metta. "Bukunya memang sengaja aku buat kelas tinggi, meski orang kadang malas membaca, karena bukunya tebal, tapi lihat gambar-gambar yang ada orang pasti ngiler dan ingin membuat orang luar negeri datang ke Indonesia," imbuh Metta.

4 dari 4 halaman

Infografis Ayo Jaga Diri dan Kelola Stres Saat Pandemi Covid-19