Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan laporan WHO pada 2021 bahwa pencemaran udara merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia dan perubahan iklim. Oleh karena itu, perbaikan kualitas udara sekaligus memperbaiki kualitas iklim sangat diperlukan.
Agar kualitas udara lebih sehat, WHOÂ mengeluarkan Air Quality Guidelines (AQG) atau pedoman kualitas udara terbaru pada September 2021. Target tersebut harus diikuti, baik pada tingkat nasional, regional, hingga ke tingkat kota di dunia.
Advertisement
Baca Juga
"Dalam 15 tahun, dari 2005 hingga 2021 baru dilakukan perubahan Guidelines. Artinya, kualitas udara di dunia, terutama di kota-kota besar, ternyata kualitas udaranya tidak makin membaik," ujar Kepala Laboratorium Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Trisakti, Hernani Yulinawati, Senin, 4 Oktober 2021.
Menurut Hernani, berdasarkan data WHO mengenai kualitas udara ambien, tingkat kematian dininya di Indonesia lebih dari dua juta jiwa setiap tahun. Kematian dini akibat pencemaran udara terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
"Jumlah terbesar di Asia Tenggara dan Pasifik Barat, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, target SDGs (Sustainable Development Goals) kesehatan akan sulit tercapai pada 2030," ungkap Hernani.
Sementara itu, Hernani juga mengatakan penyebab terjadinya PM2.5 karena kebakaran hutan. Selain itu, emisi industri, transportasi, dari indoor, debu alami, pertanian.
Partikulat (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Nilai Ambang Batas (NAB) adalah Batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien. Udara ambien merupakan udara bebas di permukaan bumi yang dibutuhkan dan memengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur lingkungan hidup.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Asap Rokok
Menurut Jalal dari Thamrin School mengungkapkan mereka yang tinggal di Jakarta sudah menghadapi kesengsaraan sebelum Jakarta terlalu tercemar. Bagi Jalal, orang sudah "terbiasa" menghirup udara dari orang-orang yang merokok.
"Berdasarkan data WHO, rokok di Indonesia dinyatakan membunuh 225 ribu orang per tahun, sementara mereka yang meninggal akibat pencemaran udara sebanyak 123 ribu orang per tahun. Ini bukan hal enteng persoalan pencemaran udara," ujar Jalal.
Di tingkat global, rokok membunuh delapan juta orang, sedangkan pencemaran udara membunuh tujuh juta orang meninggal dunia. Bagi Jalal, data tersebut cukup menakutkan.
"Bandingkan dengan Covid-19, pada akhir tahun pertama, itu dikatakan membunuh 1,8 juta orang. Kalau pakai excess deaths, mungkin menjadi tiga juta orang, karena ditambah 1,8 juta orang. Tiga juta orang meninggal dunia karena Covid-19, kita panik, sedangkan 8 juta meninggal karena rokok dan tujuh juta meninggal karena pencemaran udara perkotaan, kita relatif santai saja," sindir Jalal.
Advertisement
Meningkat
Jalal mengatakan perhatian dunia terhadap pencemaran udara di perkotaan itu sangat meningkat. Pencemaran udara tak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga banyak pihak.
"Ramai-ramailah, mereka yang bawa mobil, motor, termasuk juga perusahaan. Mereka juga mencemari udara perkotaan, termasuk perusahaan tersebut meliputi perusahaan otomotif, bahan bakar, bahan bakar fosil. Mereka juga berkontribusi terhadap pencemaran udara perkotaan," ungkap Jalal.
Belum lagi, kata Jalal, jenis-jenis perusahaan lain, yang membakar bahan bakarnya, seperti pembangkit listrik tenaga batubara. "Itu juga berkontribusi terhadap pencemaran udara," kata Jalal.
Infografis Kualitas Udara di Jakarta Tidak Sehat
Advertisement