Liputan6.com, Jakarta - Kampanye mendaur ulang sampah kemasan, khususnya yang berbahan plastik, makin gencar digaungkan oleh sejumlah produsen. Hal itu dianggap sebagai jalan keluar untuk mengurangi beban sampah di Bumi.
Faktanya, tidak ada jaminan bahwa sampah tersebut akan didaur ulang. Dilansir dari Time, Rabu, 13 Oktober 2021, data dari World Economic Forum mengungkap hanya sekitar 14 persen kemasan plastik global yang dikumpulkan, didaur ulang, apalagi bila kemasan plastik itu sudah terkontaminasi sisa makanan.
Proses daur ulang pun tidaklah mudah, tetapi memerlukan proses yang kompleks. Karena rumitnya proses ini, banyak barang-barang sekali pakai yang dicoba didaur ulang akhirnya malah dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan sampah maupun mencemari lingkungan.
Advertisement
Baca Juga
"(Jika) mendaur ulang merupakan jalan keluar kita dari (krisis iklim), tidak akan berhasil," ujar Sander Defruyt, inisiator inovasi plastik di Ellen MacArthur Foundation (EMF).
"Penggunaan kembali sama dengan penghapusan kemasan-kemasan yang tidak kita butuhkan. Hal ini menjadi bagian penting dari solusi," imbuh dia.
Cara lain untuk lebih ramah lingkungan dengan menggunakan kembali wadah yang telah digunakan. Ide ini bukanlah hal yang baru di sejumlah negara, khususnya di Amerika Serikat. Beberapa label barang rumah tangga di sana menyediakan stasiun pengisian ulang. Namun, hanya sedikit kontribusi dari perusahaan global, seperti Unilever, Walmart, dan Johnson & Johnson.
"Kurang dari dua persen kemasan plastik mereka (Unilever, Johnson & Johnson, dan Walmart) dapat digunakan kembali pada 2019," ujar Defruyt.
Sebuah perusahaan startup Loop, yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan daur ulang TerraCycle, berinovasi dengan menyediakan layanan isi ulang kemasan kosong pelanggan. Produk yang mereka jual yaitu makanan, produk kecantikan, dan kebutuhan rumah tangga. Namun di Indonesia, praktik tersebut masih jarang diterapkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kemasan 'Ramah Lingkungan'
Shelie Miller, profesor di Universitas Michigan yang berfokus pada lingkungan dan keberlanjutan, menekankan bahwa kemasan plastik yang bisa didaur ulang tak selalu bisa jadi jalan keluar. Konsumen bisa diberikan opsi penggunaan wadah plastik yang kaku seperti botol sampo, adalah pilihan yang lebih baik untuk menjadi wadah isi ulang.
Menurut survei Trivium Packaging dan Boston Consulting Group pada 2021, sekitar 70 persen responden mengatakan mereka bersedia membayar lebih untuk produk kemasan yang berkelanjutan. Sayangnya, tidak banyak yang meneliti seberapa sering orang yang mengisi ulang kemasan yang berkelanjutan.
Jika kemasan yang berkelanjutan tersebut tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, tetap akan mencemari lingkungan. Misalnya ketika seseorang membeli botol sampo logam, malas mengisi ulang dan membuangnya ke tempat sampah, hal ini mungkin akan berakhir lebih buruk karena logam berdampak buruk ke lingkungan.
Advertisement
Mekanisme Isi Ulang
Karena itu, Daniel Johnson, kepala departemen ilmu pengemasan di Institut Teknologi Rochester mengatakan, perlunya mekanisme lebih sederhana untuk program penggunaan kembali. "Untuk kategori produk yang benar dan rantai pasok yang tepat, efek (kemasan yang dapat digunakan kembali) sangat besar," ujar Johnson.
Johnson menambahkan bahwa ketika seseorang harus mengirim kembali botol logam kosong untuk diisi ulang, akan ada beban lingkungan dari proses pengangkutan dan pembersihan wadah. Penggunaan ini merupakan salah satu cara untuk menghindari penggunaan botol plastik sekali pakai.
"Perusahaan direct-to-consumer yang memberikan alat yang dibutuhkan untuk mengisi ulang di rumah adalah pilihan yang baik karena mereka tidak memerlukan pengiriman kembali," ujar Johnson.
"Semakin sederhana, semakin baik karena mengisi ulang wadah tidak akan semudah membeli di Amazon," ujar David Luttenberger, kepala departemen pengemasan di Mintel. (Gabriella Ajeng Larasati)
Sampah Produk Kecantikan
Advertisement