Sukses

Cerita Akhir Pekan: Catcalling, Pelecehan Seksual yang Terkemas dalam Godaan

Catcalling adalah salah satu bentuk pelecehan seksual di ruang publik yang paling sering terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - "Saya kan tidak menyentuh," "Dipuji kok malah marah," atau "Baperan banget orang cuma iseng," jadi kata-kata pembelaan yang acap kali terdengar dalam kasus catcalling. Padahal, berkilah tidak mengubah fakta bahwa itu merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual di ruang publik.

Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru Nur Hasyim menyebut catcalling adalah bentuk pelecehan seksual yang paling sering terjadi. Tindakannya mengandung upaya mengganggu korban, yang sayangnya sering terjadi pada perempuan.

"Ada unsur mengobjektifikasi perempuan, dalam kasus ini objek seks. Ini menyangkut bagaimana seseorang memperlakukan orang lain," katanya melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Rabu, 13 Oktober 2021.

Rani Hastari selaku Gender Equality and Social Inclusion (GESI) Specialist Yayasan Plan International Indonesia menjelaskan bahwa catcalling ini bisa berbentuk ucapan, komentar, siulan, bahkan dianggap pujian.

"Korban merasa tidak nyaman, tidak aman, terganggu, dan takut," ungkapnya lewat panggilan suara, Jumat, 15 Oktober 2021. "Respons ini harus berindikator pada korban, bukan pelaku atau orang lain yang ikut mengomentari. Jadi pakai perspektif korban."

Kata-kata dianggap pujian dalam catcalling, Rani menyambung, sebenarnya tidak bisa diartikan demikian. Sebab, seseorang biasanya akan bisa membedakan mana yang termasuk pujian mengganggu, bahkan berindikasi seksual, dan mana yang tulus. 

Rani menyebut catcalling sebagai bagian dari budaya pemerkosaan. "Jadi istilah ini tindak hanya merujuk pada pemerkosaan yang selama ini kita kenal. Landasan utamanya (catcalling) normalisasi," tuturnya.

Selain itu, bentuk pelecehan seksual ini juga terjadi karena adanya relasi kuasa yang tidak setara. Dalam hal ini, pelaku merasa memiliki kekuasaan terhadap korban, membuat mereka menganggap berhak berbuat demikian.

"Makanya kalau ada korban (catcalling) yang melawan, pelaku biasanya akan kaget, tidak berekspektasi terhadap reaksi tersebut. Akhirnya mereka mengeluarkan kata-kata pembelaan tadi," Rani menjelaskan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Menghindari Reviktimisasi

Sepakat dengan narasi tersebut, Boim, sapaan Nur Hasyim, menambahkan bahwa belum terputusnya praktik catcalling juga disebabkan internalisasi seksisme. "Dari sisi pelaku, dalam kasus ini kebanyakan lelaki, mereka saling menguatkan. Ada yang melakukan catcalling, yang lain juga begitu," ucapnya.

Karena itu, pentingnya interupsi korban. Karena jika tidak bersuara, pelaku catcalling akan terus menganggapnya sebagai hal yang lumrah. "Tapi kembali lagi. Ini adalah sesuatu yang mudah dibicarakan, tapi sulit dipraktikkan," kata Boim.

Pasalnya, kondisi korban catcalling bisa berbeda satu dengan yang lain. Karena itu, Rani mengucap bahwa di sinilah saksi pelecehan seksual, termasuk catcalling, bisa berperan. Ia pun menyinggung metode 5D yang diperkenalkan Hollaback! Jakarta.

Dalam virtual media gathering, Maret lalu, co-director-nya Anindya Restuviani menjelaskan metode 5D ini terdiri dari dialihkan, dilaporkan, dokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan. "Orang selama ini berpikir hanya menegur, padahal masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk intervensi pelecehan seksual di ruang publik," kata Vivi, begitu ia akrab disapa.

Dalam mengintervensi pelecehan seksual di ruang publik, saksi harus lebih dulu menganalisa keadaan agar jangan sampai membahayakan korban dan diri sendiri. Di samping, Rani menyebut, data dokumentasi ini harus mendapat izin korban.

"Harus bilang, 'Ini aku mendokumentasikan kejadian tadi, mungkin kamu mau melaporkan.' Jadi tidak bisa langsung disebar ke mana-mana karena ada privasi korban yang harus dijaga," tuturnya, menambahkan bahwa pentingnya berempati pada korban untuk menghindari reviktimisasi.

"Jadi jangan tanya, 'Kamu kok tidak begini, kamu kok tidak begitu,' tapi lebih kepada 'Kondisi kamu bagaimana? Apa yang bisa kubantu?'" ucap Rani.

3 dari 4 halaman

Menciptakan Ruang Aman untuk Semua

Kendati penting untuk meningkatkan kesadaran akan bentuk pelecehan seksual, termasuk catcalling, Rani menganggap itu tidak cukup. Edukasi tentang isu ini harus dilakukan di sekolah-sekolah, bahkan topik kesetaraan gender, menurutnya, harus masuk dalam kurikulum.

"Ini harus diperkenalkan sejak dini karena usia anak juga banyak yang mengalami (pelecehan seksual)," ucapnya, menambahkan bahwa edukasi itu pun seharusnya dilakukan di rumah dan lingkungan sekitar.

Di samping, Boim mengajak untuk lebih banyak lelaki menyampaikan pada lelaki lain bahwa catcalling merupakan salah satu bentuk perendahan pada korban. "Pesannya: tidak semua lelaki setuju dengan apa yang ia lakukan," katanya.

Sejak dini, sambungnya, anak lelaki maupun perempuan perlu memahami tentang penghormatan terhadap integritas tubuh orang lain. "Pendidikan seksualitas, kesehatan reproduksi, itu tidak hanya tentang organ atau sistemnya, tapi juga soal kecakapan berelasi utnuk membangun nilai-nilai kesetaraan," tuturnya.

Ia menyebut, normalisasi nilai-nilai baru ini akan memakan banyak waktu untuk membuka percakapan, diikuti perubahan cara pandang, pola hubungan, dan meruntuhkan norma-norma yang mewajarkan catcalling. "Ada pola yang harus dirombak," katanya.

Itu diamini Rani, menyebut tidak mudah mengubah budaya. "Ini adalah bentuk normalisasi baru yang harus diperkenalkan," tuturnya.

Yang perlu digarisbawahi, pelecehan seksual seperti catcalling tidak hanya dialami perempuan, namun juga lelaki. "Jadi, yang perlu disuarakan adalah perlunya menciptakan ruang aman dan nyaman untuk semua," tandas Rani.

4 dari 4 halaman

Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual