Liputan6.com, Jakarta - Pelecehan seksual merupakan tindakan seksual yang dipaksakan atau diancam pada korban, baik itu berupa lisan, fisik, atau isyarat tertentu yang membuat mereka merasa tersinggung, dipermalukan, bahkan terintimidasi. Bentuk pelecehan seksual bisa bermacam-macam.
Ada berupa perilaku menggoda, atau menyentuh tubuh korban tanpa izin, sampai mempertunjukan materi pornografi atau keinginan seksual secara paksa dan perkosaan. Pelecehan seksual bisa dialami oleh siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa, baik pria maupun wanita.
Korban pelecehan seksual perlu ruang aman untuk berlindung. Tempat paling aman bagi mereka adalah masyarakat, terutama lingkungan sekitar mereka, yang sadar bagaimana melindungi mereka.
Advertisement
Baca Juga
Trauma korban pelecehan bisa berakibat luka yang mendalam bagi psikis korban, dan bertahan untuk waktu lama. Ttrauma fisik bisa disembuhkan lebih cepat dibandingkan trauma psikis yang sifatnya bahkan bisa menetap dalam jangka panjang atau bahkan selamanya.
Menurut psikolog Dian Ibung, S.Psi., dalam proses pendampingan korban, poin terpentingnya adalah membuat yang bersangkutan. merasa aman dan nyaman. Tidak ada judgement, tidak memaksa apapun, mengutamakan ketenangan fisik dan mental korban, serta membantunya memulihkan trauma yang dialami dengan meminta bantuan profesional.
"Perhatikan bahwa rasa percaya diri yang bersangkutan biasanya akan hilang dan seringkali korban menyalahkan dirinya sendiri. Upayakan untuk terus menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya dan korban tidak merasa bahwa kejadian tersebut karena kesalahan dirinya," terang Dian Ibung pada Liputan6.com, 15 Oktober 2021.
Ada baiknya, lanjut Dian, lingkungan terdekat ini juga berkonsultasi dengan ahlinya untuk program pendampingan yang sesuai bagi korban untuk proses kesembuhannya. Karena masing-masing korban bereaksi berbeda atas trauma yang dialami.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Merasa Malu dan Bersalah
"Ada yang ingin menceritakannya, ada yang tidak mau menceritakan, ada yang menjadi tidak mau bertemu orang lain, bahkan keluarga, ada yang justru ingin menyampaikan pada banyak orang dan lain-lain," ucap Dian Ibung. Selain itu, korban pelecehan terkadang tidak mau melapor ke pihak berwajib karena beragam alasan.
Salah satunya karena faktor budaya, terutama karena Indonesia, membuat korban pelecehan seringkali merasa malu, bersalah, berdosa, jika ia mengaku sebagai korban pelecehan. Menurut Dian Ibung, reaksi sosial juga seringkali membuat korban pelecehan ragu dan menolak untuk melaporkan kasusnya pada pihak berwajib.
Alasannya, mungkin sekali bukan pertolongan yang didapat tapi justru pandangan atau sikap negatif terhadap dirinya. "Ia (korban) dipersalahkan, dikucilkan, dianggap bersalah dengan melakukan sesuatu yang mengundang dirinya diperlakukan tidak pantas seperti demikian," ujar Dian Ibung.
"Namun beberapa tahun terakhir, situasi mulai berubah dan terus diupayakan untuk berubah. Muncul beragam perkumpulan atau yayasan yang membantu para korban untuk berani melaporkan kasusnya," tambahnya. Selain itu, berkembang pandangan baru yang disebarluaskan agar para korban benar-benar dipedulikan dengan semestinya.
Bagi Dian Ibung, hal ini membantu para korban untuk lebih berani dan mau melaporkan kasusnya. Pendapat senada juga dikatakan Dr, Imelda Ika Dian Oriza, M.Psi., Psikolog serta Ketua Kelompok Riset Mindfulness dan Psikoterapi.
Advertisement
Jangan Salahkan Korban
Wanita yang biasa disapa Dian ini mengatakan, kebanyakan korban tidak melaporkan karena malu dan merasa hal tersebut adalah aib Mereka merasa kalau dilaporkan ke polisi bakal jadi panjang dan rumit berbelit-belit, padahal mereka sudah cukup trauma dan tidak mau diingatkan lagi mengena peristiwa tersebut
Menurut Staf Pendidik Fakultas Psikologi UI ini, agar seseorang mau melapor sebetulnya adalah perasaan tidak sendiri atau ada orang lain yang jadi korban juga dan berani melaporkan. Pandangan masyarakat juga perlu diubah bahwa pelecehan apapun itu adalah kesalahan pelaku.
"Banyak orang masih berpandangan bias gender, yang menganggap bahwa laki-laki tidak akan tergoda kalau tidak digoda. sehingga tindakan pelecehan seolah salah korban. Mereka juga sering menyalahkan diri sendiri karena merasa bahwa dia harusnya bisa melawan atau membela diri. sehingga perasaan korban sebetulnya campur aduk," tutur Dian pada Liputan6.com, Sabtu, 16 Oktober 2021.
Selain itu karena pandangan ketidaksetaraan gender, sering kali pelaku pelecehan memiliki relasi kuasa sehingga korban sulit melaporkan. Misalnya, atasan dan staf bawahan perempuan, dosen mahasiswi, pemuka agama dan umatnya atau muridnya.
Tak Merasa Sendiri
Dian menambahkan, kadang kalau misalnya pelaku ada dalam lingkungan keluarga, korban tidak berani membuka karena menjaga nama baik keluarga. Dian juga mendukung agar lingkungan atau orang-orang sekitarnya memberi ruang aman bagi korban pelecehan.
"Yang pasti jangan sampai menyalahkan korban. Misalnya bertanya ‘kamu pulang jam berapa, kamu pakai baju apa, kamu cara ngomongnya gimana sih’ atau kata-kata yang mengindikasikan seolah korban yang bertanggung jawab atas tindakan pelecehan," terang Dian.
Sayangnya, Dian mengatakan, pandangan sebagian besar masyarakat masih seperti itu, sehingga membuat korban semakin ragu untuk mencari pertolongan atau menceritakan yang sebenarnya. Sebagai pendamping atau orang yang dekat dengan korban, perlu lebih mendengarkan daripadamemberi nasihat atau memberi saran.
"Emosi mereka (korban pelecehan) pasti naik turun dan itu wajar saja. Kalau pendamping mungkin tidak sabar, itu bisa membuat korban semakin menarik diri dan mempertanyakan pengalaman emosinya, yang sebetulnya adalah valid," ucapnya. Dian berharap, para pendamping atau orang terdekat bisa membantu para korban untuk mencari pertolongan dan tidak merasa sendiri.
Advertisement