Sukses

Peran Bermain dalam Mencegah Keterlambatan Tumbuh Kembang Anak

Situasi pandemi ternyata berdampak pada peningkatan kasus gangguan tumbuh kembang anak usia dini.

Liputan6.com, Jakarta - Selama pandemi Covid-19, mayoritas orangtua menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Itu berarti waktu mereka bertemu anak-anak lebih panjang. Namun, jumlah kasus anak yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang ternyata meningkat selama periode ini.

Hal itu disampaikan oleh psikolog klinis dan keluarga Pritta Tyas Mangestuti. Co-founder @goodenoughparents.id tersebut juga mengungkap, gangguan tumbuh kembang yang paling sering dialami klien anaknya adalah gangguan bicara.

"Fisik orangtua memang di rumah, tapi fokusnya terbagi-bagi. Orangtua harus bekerja, sehingga mereka tidak punya cukup quality time dan tidak semua orangtua belajar tentang perkembangan anaknya," kata Pritta dalam peluncuran kampanye IKEA 'Ayo Main', Sabtu, 6 November 2021.

Masalah lain yang dihadapi anak selama pandemi adalah kegiatan yang terbatas pada layar. Situasi tersebut, khususnya bagi anak-anak usia dini, sangat tidak ideal. Anak usia 1--4 tahun, contohnya, membutuhkan setidaknya 180 menit kegiatan fisik untuk menunjang tumbuh kembang.

Di sisi lain, pengetahuan orangtua tentang variasi permainan terbatas. Akhirnya, hal itu memengaruhi kondisi psikososial dan emosional anak. Mereka sulit berkembang dengan baik, sehingga menambah tekanan bagi para orangtua.

"Selalu ada alasan di balik behavior-nya. Alasan di balik cranky, misalnya, kurang sensori, harus lebih distimulasi. Tapi, banyak orangtua enggak ngerti (akhirnya jadi emosional)," sambung dia. 

Temuan serupa juga didapat lewat studi yang dilakukan Safe the Children. Berdasarkan studi di 46 negara pada 2020, 75 persen orangtua merasa putus asa, bahkan 11 persen depresi karena imbas pandemi. Kondisi tersebut akan membuat anak-anak lebih rentan mengalami kekerasan domestik di rumah. 

"25 persen anak bermain lebih sedikit dibanding sebelum pandemi. Mereka sangat berharap bisa lebih banyak bermain, tidak banyak tugas sekolah," imbuh Media & Brand Manager Communication Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

3 Hal

Pritta mengingatkan, pondasi pembentukan emosi anak adalah hubungan yang erat antara anak dan keluarga. Tugas orangtua lah untuk membangun ikatan yang erat dengan anak-anak.

Untuk itu, ada tiga hal yang bisa dilakukan orangtua untuk membangun ikatan dengan anak. Pertama, responsif terhadap minat dan kebutuhan anak. Saat anak suka melompat, orangtua harus bersedia melihat dari kacamata kebutuhan anak.

"Kalau orangtua tidak responsif, kita pikir mereka (anak) aneh-aneh, hanya mengacau saja. Tetapi kalau dari sudut pandangnya, dia senang banget panjat, lompat-lompat, orangtua bisa fasilitasi dengan membolehkan area kamar jadi tempat bermainnya," ia menerangkan.

Kedua, menciptakan stabilitas. Pritta mengakui hal itu tidak mudah dilakukan, tetapi anak akan lebih stabil bila memiliki rutinisitas yang terprediksi. Saat menyusun agenda ini, orangtua bisa melibatkan anak, sehingga mereka diajarkan untuk lebih bertanggung jawab atas pilihan yang dibuat sendiri.

"Buat sama dengan kemauan anak, bukan orangtuanya. Kalau habis online school, mau ngapain, termasuk kapan gambar, makan, tidur, dan mandi. Mereka akan lebih patuuh karena 'aku sendiri yang buat aturanku, bukan ayah atau ibu,'" ujarnya.

Ketiga, keterlibatan secara emosional. Ini dimaksudkan agar orangtua mengikuti ekspresi anak ketika bermain. "Kita ikuti saja ekspresinya, caranya tertawa, melakukan sesuatu, dan pastikan wajah kita terlihat olehnya," imbuh Pritta.

 

 

3 dari 4 halaman

Lepaskan Agenda Orangtua

Pritta menekankan prinsip dasar bermain adalah bebas terbatas. Apa saja bisa dilakukan selama tidak membahayakan anak atau orang lain, juga merusak lingkungan.

Orangtua perlu mengamati dulu bagaimana anak bermain, dan mengikuti keinginannya. Bila sedang ingin bermain peran, orangtua bisa mengikuti minat anak. Walau pasti ada trial and error, hal tersebut harus dilakukan agar momen bermain menyenangkan.

"Ide bermain ini jangan kita yang punya banyak agenda," kata dia.

Untuk memfasilitasi anak dan orangtua terkait kebutuhan bermain, IKEA meluncurkan kampanye Ayo Main yang bertema "Bebas Mainkan Sesukamu." Dalam kampanye itu, selain menyediakan beragam peralatan penunjang, brand asal Swedia itu juga menghadirkan webinar yang bisa diikuti para orangtua.

"Kita ingin orangtua ikut main lebih ekspresif. Mungkin orangtua enggak tahu bagaimana harus main sama anak. Dengan kesibukan segala macam, mereka enggak punya waktu untuk cari tahu. Kita beri play ide dengan gunakan barang-barang yang ada di rumah," kata Country Marketing Manager IKEA Indonesia, Dyah Fitrisally.

"Main bukan hanya bagus uuntuk mental health anak, tapi juga orangtua. Create the bound, create the fun, jadikan rumah sebagai playground," imbuhnya.

4 dari 4 halaman

Cara Generasi 90an Isi Liburan Sekolah