Liputan6.com, Jakarta - "Kalau bicara dalam bahasa Indonesia memang sama-sama paham, tapi saat berbahasa daerah, tidak hanya logika yang disentuh, namun juga rasa," kata Muhamad Lutfi Ramadhani, founder sekaligus CEO Linguo.id, sebuah lembaga kursus online, melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Sabtu, 20 November 2021.
Pelestarian bahasa daerah telah jadi isu global, termasuk di Indonesia, dan sudah seharusnya "tongkat estafet" perlindungannya secara aktif diambil banyak pihak. Dalam lingkup paling dekat, pendidikan bahasa daerah, sebaiknya dimulai dari rumah.
Psikolog pendidikan Adinda Istiqomah menjelaskan, secara psikis, anak dan orangtua akan melalui proses adaptasi jika belajar bahasa daerah di rumah. "Dalam proses adaptasi, kemungkinan ada dua hal: orangtua bereaksi secara negatif atau positif. Ini tergantung dari kesiapan dan ketidaksiapan orangtua dalam mendampingi anak belajar bahasa daerah di rumah," paparnya melalui pesan, Sabtu, 20 November 2021.
Advertisement
Baca Juga
Anak-anak yang diajarkan bahasa daerah, Adinda menyambung, akan lebih paham mengenai identitas diri dan mampu berkomunikasi, terutama di lingkungan di mana bahasa itu digunakan. Ini sekaligus akan mempermudah anak beradaptasi dan memahami lingkungan sekitar.
Sementara anak-anak yang tidak diajarkan bahasa daerah akan mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lebih tua. "Karena tidak semua orang di wilayah tertentu menggunakan bahasa Indonesia, terutama (orang) yang berusia lanjut," ujarnya.
"Selain itu, bahasa daerah dengan berbagai tingkatannya, akan membuat anak belajar sopan santun dengan siapa mereka berbicara," imbuh Adinda.
Adalah Afra Daniswara, seorang ibu yang memutuskan mengajarkan bahasa daerah pada buah hatinya. Edukasi bahasa daerah, menurut Arfa, jadi salah satu yang penting untuk dimulai dari rumah. "Salah satu cara melestarikan bahasa daerah adalah dengan mengajarkan pada anak," katanya lewat pesan suara, Sabtu, 20 November 2021.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pentingnya Dimulai dari Rumah
Afra menyambung, karena keluarganya tinggal di desa, jelas lingkungan sosial mereka setiap harinya menggunakan bahasa daerah. "Tapi, di sini pun anak-anak yang berbahasa daerah sebenarnya sudah sangat berkurang," ucapnya, menambahkan bahwa dirinya tinggal di wilayah Kepanjen, Kabupaten Malang.
"Jadi, kebanyakan anak-anak yang malah punya orangtua berpendidikan, biasanya mengajarkan bahasa kesehariannya bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Padahal kalau zaman dulu, orang tinggal di desa, pasti bahasa kesehariannya bahasa daerah. Tapi, akhir-akhir ini, bahasa daerah semakin langka, termasuk di daerah saya," imbuh perempuan yang juga seorang guru tersebut.
Adinda menyebut, lingkungan rumah khususnya keluarga, lebih berperan krusial dalam pembiasaan bahasa daerah daripada komunitas. "Anak belajar bahasa daerah berdasar usia tahapan bicara. Misalnya usia sembilan bulan, anak mulai beraksi terhadap isyarat," katanya.
"Mulai mengucapkan bermacam-macam suara dan tidak jarang kita biasa mendengar kombinasi suara, yang menurut orang dewasa, mengarah pada bahasa keseharian," imbuh Adinda.
Secara natural, pemahaman bahasa diperoleh dari anggota keluarga dan lingkungan sekitar. Di periode golden age, yakni nol sampai tiga tahun, Adinda menjelaskan, penyerapan bahasa dilakukan dalam aktivitas keseharian.
Dalam kasus tidak diajarkan berbahasa daerah di rumah, Dhani mengatakan, banyak murid kelas bahasa daerah di Linguo.id yang belajar bahasa dari wilayah asalnya. "Mayoritas memang dari suku yang sama. Misalnya, ia orang Sunda atau keturunan Sunda, karena tidak diajarkan keluarga, mereka jadinya belajar lewat kursus online," katanya.Â
Advertisement
Kursus Online Bahasa Daerah
Dimulai sejak tahun lalu, Linguo.id sekarang telah menawarkan kursus online untuk tujuh bahasa daerah dengan biaya Rp150 ribu per dua bulan. Mereka adalah bahasa Bali, Banjar, Batak, Bugis, Jawa, Madura, dan Sunda.
"Maunya setiap pulau besar (di Indonesia), ada perwakilan bahasanya (dalam kursus). Kemudian, pemilihan kelasnya juga dilihat dari jumlah penutur. Makanya di awal, pilih bahasa yang jumlah penuturnya banyak, dalam hal ini bahasa Jawa," Dhani mengatakan.
Sebagaimana telah singgung, selain karena tidak diajari keluarga, kursus bahasa daerah juga diambil murid yang punya kebutuhan praktis. Namun, Dhani juga tidak memungkiri bahwa minat kurus bahasa daerah masih terbilang rendah dibanding kelas-kelas bahasa asing.
"Tapi kami niatnya memang enggak cuma jualan kursus. Masyarakat harus mempersepsikan bahasa dalam pemikiran yang benar, bahwa bahasa adalah cerminan kepribadian," katanya.
Demi menarik minat lebih banyak orang belajar bahasa daerah, sebagaimana di kelas bahasa lain, pihaknya tengah mengembangkan metode belajar baru untuk menghemat waktu belajar. "Jadi misal biasanya untuk naik level dari A1 ke A2 butuh waktu 4--6 bulan, ini bisa jadi hanya 1--2 bulan," tutur Dhani.
Dalam pembelajaran, ia mengatakan, 80 persen materinya fokus pada audio. Dengan begitu, format belajarnya tidak harus kaku. "Kami sekarang juga sedang buat podcast, jadi (materi kurus bahasa) bisa didengarkan sambil melakukan hal lain, mencuci baju misalnya, tidak harus formal duduk di depan laptop," paparnya.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa mereka juga berfokus pada logika bahasanya. "Jadi mirip belajar bahasa (saat) kecil. Belajarnya melalui tiga proses: listening, imitating, dan repeating," imbuh Dhani.
Supaya pengetahuan bahasanya awet, bahkan setelah kursus, Dhani menyarankan untuk mencari teman yang bisa diajak praktik bicara bahasa tersebut. Ia mengatakan, "Memang enggak bisa didiamkan saja. Bisa juga dengan produksi kata-kata atau tulisan dalam bahasa tersebut. Tapi, menurut saya, cara terbaik untuk tetap bisa suatu bahasa adalah dengan mengajar," katanya.
Bangga Berbahasa Daerah
Mengekspansi pelestarian bahasa daerah, Dhani menyayangkan bahwa tidak semua kampus di daerah membuka program studi (prodi) sastra daerah tersebut. "Kalaupun ada, fokusnya masih sangat akademis, lebih kepada mengkaji teks. Belum praktik yang down to earth ke masyarakat," katanya.
Sementara Afra menyambung, sebelum sampai ke pendidikan formal, orangtua semestinya sadar dulu bahwa bahasa daerah penting untuk dilestarikan. Kalau orangtuanya sudah sadar, kata Afra, paling tidak akan mengenalkan bahasa daerah pada anak.
"Yang menyedihkan, di beberapa sekolah, ada yang tidak mewajibkan bahasa daerah untuk bahasa tambahan. Kalau dulu, bahasa daerah wajib, lalu sempat dihapus. Dari situ, menurut saya, pasti sangat berpengaruh untuk generasi saat itu. Karena kalau di rumah saja tidak menggunakan bahasa daerah, di sekolah juga, lalu mengenal bahasa daerah dari mana?" tuturnya.
Selain secara praktik, Arfa mengatakan, penting juga untuk menanamkan persepsi pada anak bahwa berbahasa daerah itu tidak akan mempermalukan diri. "Tapi malah membuat diri sendiri bangga. Misalnya kalau dalam kasus saya, saya orang Jawa, malah bangga jadi orang Jawa," tandasnya.
Advertisement