Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Barat sekaligus Komandan Satuan Tugas Citarum Harum Ridwan Kamil berbagi cerita tentang pengalamannya mempresentasikan Sungai Citarum di hadapan para pemimpin dunia dan pemangku kebijakan lingkungan hidup. Hal itu dilakukan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia COP26, pada 2 November 2021. Acara tersebut digelar di Venue Indonesia Pavilion at COP 26 - UNFCCC, Glasgow, Skotlandia.
Dalam pemaparannya, Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil memulai dengan kabar Sungai Citarum identik dengan pencemaran dan efek kerusakan lingkungan seperti banjir. Bahkan, pada 2018 sempat dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia. Seiring dengan intervensi pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI dan Polri, kondisi Citarum berangsur membaik.
Advertisement
Baca Juga
Pemulihan Citarum penting diketahui dunia bukan hanya karena statusnya sebagai sungai terpanjang di Jawa Barat. Citarum yang memiliki panjang 270 kilometer itu telah turun temurun menjadi sumber kehidupan bagi 18 juta warga di 13 kabupaten/kota yang dilintasi DAS. Sungai ini juga vital bagi kemakmuran 682.227 hektare lahan di 1.454 desa.
Mutu air Citarum juga sudah masuk dalam kelas dua, yaitu memungkinkan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, mengairi tanaman atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.
Menurut Vanessa Letizia, Executive Director Greeneration Foundation, Sungai Citarum dipilih sebagai sungai yang dibersihkan dalam program Clean Currents Coalition karena sungai ini merupakan urat nadi masyarakat Jawa Barat. Terlepas dari perannya yang sangat penting, Sungai Citarum begitu tercemar oleh sampah.
Dalam webinar Citarum Repair 2021, Rabu, 24 November 2021, Vanessa menjelaskan, setiap harinya ada ribuan ton sampah yang masuk ke sungai dan berakhir di laut. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akhirnya membuat laut jauh dari kata sehat. Situasi itu meningkatkan risiko banjir untuk wilayah di sekitar sungai.
Vanessa memandang, kerjasama menjadi kunci mengatasi persoalan sampah di Sungai Citarum. "Selain itu, kehadiran organisasi nonprofit juga dapat menjadi jembatan antara pemerintah, pelaku industri, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengatasi persoalan lingkungan," ucapnya.
"Dengan kerja sama antar pemangku kepentingan, program Citarum Reapir diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan, sehingga bisa menciptakan Citarum yang bersih," tambahnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menghentikan Kebiasaan Buruk
Sementara itu, Andre Kuncoroyekti selaku Manager Program STOP memberikan alternatif untuk mengatasi masalah sampah di Citarum maupun daerah lainnya yang padat penduduk. Ia mencontohkan Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi yang pernah menjadi wilayah dengan permasalahan sampah yang cukup kompleks. Masyarakat desa tersebut terbiasa membuang sampah ke sungai, bahkan laut.
Namun, berkat kerja keras dari aparat desa bersama Systemiq, perilaku warga mulai berubah drastis. Kepedulian mengelola sampah tumbuh pesat. "Perubahan itu karena peran aktif berbagai pihak termasuk kepala desa bersama organisasi non-pemerintah internasional Systemiq, yang didanai pemerintah Norwegia dan institusi bisnis Borealis dari Austria," terang Andre.
"Mereka bekerja sama menjalankan program Stopping The Tap On Ocean Plastic (STOP), yang mengajak warga untuk menghentikan kebiasaan buruk membuang sampah di laut. Kepala desa dan Systemiq pun mendampingi warga mengelola persampahan secara profesional sejak April 2018 lalu," lanjutnya.
Andre menjelaskan, sampah yang dikelola diambil dari limbah rumah tangga dan aktivitas pemungutan sampah di kawasan Pantai Muncar. Lewat Bumdes (Badan Usaha Milik Desa), Systemiq mengajak warga agar mau memilah dan mengumpulkan sampah dari limbah rumah tangganya masing-masing.
Advertisement
7 Kegiatan Utama
Berkat kesuksesan dalam mengelola sampah tersebut, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menjadikan Desa Tambakrejo sebagai desa percontohan bagi desa-desa lain di Banyuwangi. Menurut Andre, ada tujuh kegiatan utama yang dijalankan Project STOP dan Systemiq dalam penanganan sampah di satu daerah.
Yang pertama, penguatan relasi dan kebijakan. Kedua, penguatan kapasitas lembaga pengelola sampah tingkat desa. Ketiga, kampanye perubahan perilaku, selanjutnya optimalisasi pengangkutan sampah. Kelima, optimalisasi pengelolaan TPS3R yaitu sistem pengolahan sampah dengan inovasi teknologi mesin pencacah sampah dan pengayak kompos yang lebih efektif dan efisien.
Keenam, peningkatan akses terhadap pasar. Terakhir, pembersihan pantai sebagai bagian dari kampanye perubahan perilaku. Andre mengatakan, aktivitas buang sampah sembarangan tidak hanya soal kesadaran diri, tapi lebih diakibatkan ketidakadaan sistem. Karena itu harus ada sistem yang jelas untuk mengatur masalah sampah.
"Seperti tidak adanya armada angkut. Jadi, membuang sampah ke laut itu sebenarnya karena terpaksa. Jadi harus ada armada angkut yang memadai, hal itu kita lakukan dalam program STOP dan Systemiq,” tutupnya.
Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi
Advertisement