Liputan6.com, Jakarta - Makam ulama Indonesia, Sayed Abdul Malik, resmi ditetapkan sebagai warisan budaya nasional Afrika Selatan oleh South African Heritage Resources Agency. Penobatannya dilakukan melalui acara Declarations of Karamats Within the Circle of Tombs as National Heritage Sites, pekan lalu, seperti dilansir dari laman Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Selasa (7/12/2021).Â
Cape Mazaars Society sebagai penggagas mengungkap, hal ini merupakan proses panjang yang dimulai sejak 1980-an. Saat ini terdapat 10 makam ulama yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional dari seluruh 31 makam ulama yang ditargetkan.
Advertisement
Baca Juga
Dijelaskan bahwa, menurut catatan Muslim Directory, Sayed Abdul Malik merupakan ulama Nusantara yang tiba di Cape Town, ibu kota Afrika Selatan, menjelang akhir abad ke-18. Sayed Abdul Malik merupakan orang kepercayaan Tuan Guru, ulama nusantara asal Tidore yang pertama kali membangun masjid di Afrika Selatan.
Dalam sambutannya, Konsul Jenderal RI Cape Town, menyampaikan bahwa Sayed Abdul Malik bersama Tuan Guru dan Syekh Yusuf adalah beberapa ulama asal Indonesia yang memperkaya budaya Afrika Selatan dalam konteks spiritualitas. Ulama-ulama Indonesia telah mewarnai perkembangan Afrika Selatan dari awal kedatangan hingga saat ini.
Penetapan makam Sayed Abdul Malik sebagai warisan budaya nasional Afrika Selatan diharapkan akan memperkaya dan memperkuat hubungan bilateral antara Afrika Selatan dan Indonesia. Penandaan keterlibatan kekayaan spiritual antar dua negara ini tentu bukan yang pertama.
Melansir Antara, peluncuran buku From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Times of Tuan Guru oleh jurnalis Afrika Selatan Shafiq Morton menyoroti pergerakan Tuan Guru, ulama asal Tidore yang jadi penanda hubungan antara Indonesia dan Afrika Selatan. Buku tersebut dirilis pada 2019 lalu.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Eratnya Sejarah Indonesia dan Afrika Selatan
Kala itu, Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Afrika Selatan Salman Al Farisi menghadiri acara peluncuran buku atas undangan Lembaga Waqaf Afrika Selatan, Awqaf SA. Ia berharap buku ini semakin memperkaya ingatan publik atas keterkaitan sejarah yang kuat dan pentingnya hubungan antara Indonesia dan Afrika Selatan.
Penerbitan buku ini adalah bagian dari proyek the Awqaf's Leaders and Legacies Project yang bertujuan merawat ingatan atas tokoh besar pemimpin umat. Tuan Guru, sosok yang diabadikan dalam buku ini, adalah ulama keturunan Indonesia yang mendakwahkan Islam di Afrika Selatan.
Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdussalam lahir di Tidore pada 1712, dan meninggal di Cape Town pada 1807 di usia 95 tahun. Tuan Guru tiba di Cape Town dengan kapal VOC, Zeepard, pada 1780 ketika berusia 68 tahun. Belanda mengirimnya ke Cape Town untuk menghalangi interaksinya dengan Inggris, musuh bebuyutan Belanda pada era kolonialisme.
Advertisement
Simbol Perjuangan
Dalam pengasingan, Tuan Guru mendirikan madrasah pertama di Afrika Selatan pada 1793, dan tidak lama setelah itu, membangun masjid pertama di negara tersebut, Masjid ul-Awwal. Tuan Guru, yang merupakan seorang hafiz Quran, menuliskan kembali Al-Qur'an dari hafalannya saat dipenjara di Pulau Robben selama dua kali.
Ulama besar ini juga menulis karya lain Ma'rifat wal Iman wal Islam (Pengetahuan Iman dan Agama) berisi 613 halaman, yang jadi panduan Muslim di Cape Town untuk belajar Islam. Kontribusinya membuat Tuan Guru sangat dihormati di Afrika Selatan.
Pendatang Muslim telah jadi bagian dari perjuangan nasional di Afrika Selatan terhadap belenggu kolonialisme. Nama tahanan politik kolonialisme seperti Tuan Guru, Syekh Yusuf, dan Hadjie Matarim telah jadi simbol perjuangan melawan pendudukan Belanda dan Inggris.
Infografis Omicron Menyebar dari Afrika Selatan
Advertisement