Liputan6.com, Jakarta - Upaya penghapusan kekerasan terus digaungkan berbagai pihak, tidak terkecuali anak-anak. Bahkan ada penelitian yang dipimpin dan dilaksanakan dengan melibatkan anak-anak dan remaja bernama Child Led Research (CLR).
Berdasarkan keterangan yang diterima Liputan6.com, generasi penerus bangsa ini meneliti isu yang terkait kehidupan anak atau yang dianggap penting bagi anak dan bertujuan menciptakan perubahan. Metodologi yang digunakan memberi kesempatan anak dan remaja ambil bagian pada riset dan memastikan suara mereka didengar.
Program ini dijalankan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) dalam upaya berkontribusi untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak. Program ini telah terlaksana di Sumba Timur dan Ende, NTT; Bengkayang dan Sambas di Kalimantan Barat; serta Jakarta Utara dan Timur.
Advertisement
Baca Juga
Sebelum meneliti, mereka dibekali dengan pengetahuan soal perlindungan anak, cara riset, menulis laporan, teknik advokasi, dan pengetahuan lain seputar perubahan sosial. Isu yang diangkat di setiap wilayah berbeda-beda, tergantung pada diskusi awal ketika anak memulai penelitian ini, tetapi semua sepakat untuk menyoroti topik kekerasan terhadap anak.
Menurut penuturan anak-anak yang terlibat dalam penelitian, mereka menyebut mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan selama berproses. "Saya jadi tahu bahwa kekerasan masih dilakukan orangtua dan anak masih suka membuat orangtua marah," kata Rosalina dari Ende.
Peneliti muda tidak hanya berkesempatan meneliti, tapi juga membuktikan keberadaan mereka diterima dan dihargai di lokasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan diterimanya anak sebagai peneliti dan pemerintah desa mengakomodasi, serta menyambut positif penelitian yang dilakukan oleh anak ini.
Para peneliti diajarkan untuk bisa menentukan topik, merancang instrumen penelitian, mengumpulkan dan menganalisis data, menulis laporan, menyusun rekomendasi, dan diseminasi. Anak-anak juga mendapatkan ruang untuk menyampaikan hasil dan rekomendasinya pada para pengambil keputusan.
Melibatkan anak di dalam sebuah penelitian yang menyangkut hidup mereka adalah penting untuk memenuhi hak partisipasi anak agar terlibat di dalam proses pengambilan keputusan tentang segala hal berkaitan dengan dirinya. Diharapkan ketika saat mengambil keputusan berdasarkan penelitian, anak juga dapat menikmati dan memetik manfaat dari keputusan tersebut. Jadi, keputusan tidak diambil oleh orang dewasa dengan mengatasnamakan kepentingan anak.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Temuan di Ende
Temuan penelitian di Ende menghasilkan laporan bertajuk "Kami Ingin Dimaafkan dan Dicintai oleh Orang Tua." Penelitian ini mengangkat topik kekerasan emosional yang dialami anak. Dari penelitian tersebut, anak-anak merasa bahwa kekerasan emosional yang mereka alami menimbulkan rasa sedih, sakit hati, malu, kesal, tidak berharga, dan sebagainya.
Orangtua juga menyatakan bahwa mereka merasa sedih, menyesal, dan bersalah setelah melakukan kekerasan pada anak. Di dalam penelitian juga ditemukan bahwa orangtua menganggap jika marah dan berkata kasar ini sudah tradisi, jadi sulit dihilangkan.
Rekomendasi penelitian yang dimaksud untuk orangtua adalah agar mengurangi marah dengan makian dan teriakan pada anak dan agar memaafkan anak ketika lakukan kesalahan. Untuk anak, rekomendasinya adalah agar mengurangi kata-kata kasar kepada sesama teman, dan mengikuti apa yang diperintahkan orangtua terkait kegiatan positif, seperti membantu pekerjaan rumah, berkegiatan kerohanian, dan belajar.
Di Sambas, anak-anak meneliti tentang isu perkawinan anak dan putus sekolah. Para peneliti muda ini menemukan bahwa beberapa penyebab perkawinan usia anak adalah karena faktor lingkungan, perjodohan, media sosial, tidak paham aturan yang ada, kehamilan tidak diinginkan, dan sebagainya.
Anak-anak juga menemukan semua dampak dari perkawinan anak ini merugikan anak, seperti mengganggu kesehatan, terutama anak perempuan, terputusnya upaya mencapai cita-cita, dan kemungkinan melahirkan generasi yang kurang sehat. Rekomendasi penelitian ini adalah agar pemerintah terus memberikan pemahaman pada masyarakat tentang bahaya perkawinan anak, dan menolak pemberian izin untuk anak yang akan menikah.
Advertisement
Dampak Kekerasan
Hasil-hasil penelitian dan rekomendasi yang diberikan anak-anak dari proses CLR ini memperkuat banyak studi yang telah dilakukan berkaitan kekerasan terhadap anak. Hossein, dkk. (2021) yang telah mengulas 57 penelitian tentang prevalensi kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua menemukan banyak kesamaan dengan hasil temuan di Ende dan Sambas.
Sebut saja anak korban kekerasan sangat mungkin menjadi pelaku kekerasan berikutnya. Orangtua yang menjadi pelaku kekerasan pada anak juga umumnya mengalami kekerasan di masa kecil dan memiliki kemampuan pengasuhan yang rendah.
Dampak kekerasan terhadap anak ini akan panjang dan jika tidak dihentikan akan terus berlanjut hingga ke generasi berikutnya. Kekerasan emosional, meskipun tidak membekas secara fisik, tapi dampaknya bisa jangka panjang dan berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
WVI pada 2021 juga telah melakukan Household Survey terhadap 925 anak di 29 area program dan menemukan bahwa 17 anak di bawah usia 18 tahun yang sudah menikah dan 9 di antaranya menikah di masa pandemi ini. Perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap anak.
Meski banyak yang berkelit bahwa perkawinan tersebut didasari kesadaran dan mau sama mau. Namun, implikasi yang mungkin terjadi di dalam perkawinan itu sangat berpotensi menjadi bentuk-bentuk kekerasan baik fisik, emosional, maupun seksual yang terstruktur terhadap anak.