Sukses

Hari Perempuan Internasional, Wanita Berkeluarga juga Bisa Punya Karier

Keseimbangan antara karier dan keluarga tidak hanya mencakup faktor eksternal, tetapi juga datang dari diri para perempuan bekerja.

Liputan6.com, Jakarta - Hari Perempuan Internasional salah satunya bisa dimaknai dengan meniadakan dorongan bagi para wanita memilih antara karier dan keluarga. Keduanya bisa berjalan secara seimbang, tapi bukan tanpa syarat.

Senior Partner, sekaligus Head Financial Services Indonesia Egon Zehnder, Henny Purnamawati, mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman pribadinya, semakin tinggi jenjang karier, perempuan akan semakin dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit. Seringkali, keadaan ini mengharuskan para wanita memilih karier atau keluarga.

Kondisi tersebut, menurut Henny, jadi salah satu alasan masih sedikitnya perempuan di jajaran top management position. "Karena itu, harus ada support system yang menunjang karier perempuan," tuturnya di forum diskusi "Transformasi Masa Depan Pekerjaan untuk Perempuan" insiasi perusahaan konsultan manajemen global, Kearney, Rabu, 9 Maret 2022.

Sistem dukungan ini, Henny menjelaskan, mulai dari kultur dan aturan perusahaan, hingga pengembangan karier yang tidak pukul rata. Selain faktor eksternal, President Director and Partner Kearney, Shirley Santoso, mengatakan bahwa keseimbangan antara karier dan keluarga juga harus dimulai dari diri sendiri.

"Para woman talent juga harus memastikan pertumbuhan kemampuan mereka, punya komitmen lifelong learning, dan passion dalam bekerja," ucapnya di kesempatan yang sama.

Gagasan itu diamini CEO GCM Group, Svida Alisjahbana. Ia menyarankan para perempuan untuk bekerja penuh antusias. Svida mengatakan, "Selalu ingat bahwa bekerja untuk bahagia. Dukungan dari luar itu penting, tapi dari dalam diri juga tidak kalah penting."

Ia menyambung, ini juga soal berkomunikasi pada dua kelompok: rumah dan kantor. Di rumah, bagaimana keluarga, terutama suami, bisa diajak kerja sama berbagi tanggung jawab, termasuk soal mengurus anak.

Kemudian, di kantor adalah tentang memberi pemahaman pada rekan kerja dan bos. "Misalnya bilang saya mesti (lakukan) ini, tapi saya akan urus (kerjaan) nanti malam," ia mencontohkan.

Keseimbangan kehidupan kerja, ia mengatakan, memerlukan kemampuan pengelolaan. "Biasanya memang good manager (yang punya work life balance), karena ini masalah mengatur waktu," tuturnya.

Henny mengatakan, itu juga tentang kemampuan dan keberanian dalam berkata "tidak." Menurut dia, setiap perempuan harus paham bahwa jenjang karier terkadang harus datar dahulu sebelum naik lagi. "Kesehatan mental juga penting, pun dengan physical well being," katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 5 halaman

Program Pengembangan Kepemimpinan

Work life balance, kata Shierly, juga tentang memahami prioritas. "Ada momen keluarga lebih penting, dan ada juga waktunya pekerjaan harus dituntaskan lebih dulu. Jadi, bukan tentang kuantitas waktu (dalam bekerja maupun berkeluarga), tapi kualitas," ia mengutarakan.

Kearney sendiri telah melakukan survei pada 200 tenaga profesional perempuan dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura mengenai tantangan mereka berpartisipasi dalam program pengembangan kemampuan kepemimpinan.

Sebanyak 28 persen responden mengatakan, walau perusahaan memberi program pengembangan kepemimpinan, sangat minimal kesempatan untuk mempraktikkan hal-hal yang telah mereka pelajari. Lalu, 27 persen dari mereka merasa sulit meluangkan waktu antara beban tanggung jawab pekerjaan dan urusan domestik.

Sebanyak 22 persen lainnya mengatakan perusahaan tidak melibatkan mereka dalam memutuskan program pelatihan kepemimpinan yang paling cocok dengan kebutuhan mereka, terutama sebagai seorang perempuan.

3 dari 5 halaman

Alasan Meninggalkan Perusahaan

Juga dalam survei tersebut, tidak adanya kesempatan dalam pengembangan karier adalah alasan utama para talenta wanita dari berbagai usia akan meninggalkan perusahaan. Talenta wanita berusia antara 30 hingga 59 tahun mengatakan bahwa kompensasi finansial yang tidak memadai adalah alasan kedua untuk meninggalkan perusahaan.

Sedangkan bagi talenta wanita di bawah 30 tahun, kurangnya ketertarikan pada perusahaan adalah alasan kedua untuk meninggalkan perusahaan. Perihal praktik terbaik dalam menarik dan merekrut talenta wanita, perusahaan-perusahaan akan sangat diuntungkan jika mereformasi proses rekrutmen mereka menggunakan pendekatan lebih empatik.

4 dari 5 halaman

Kriteria Perusahaan yang Menarik Talenta Wanita

Menawarkan fleksibilitas bekerja adalah kunci dalam menarik talenta wanita, terutama bagi perempuan profesional yang juga memikul tanggung jawab rumah tangga. Tatanan kerja yang fleksibel akan memungkinkan perusahaan dan talenta wanita bersama-sama mengidentifikasi tanggung jawab spesifik.

Survei Kearney telah mengidentifikasi bahwa talenta wanita di atas 30 tahun (30 persen) dan di bawah 30 tahun (24 persen) lebih menyukai perusahaan yang menawarkan tatanan kerja cenderung fleksibel. Fenomena global "The Great Resination" telah mencatat rekor tertinggi atas kekurangan pegawai karena masyarakat mengevaluasi kembali prioritasnya di tengah pandemi COVID-19.

Menurut Indeks Tren Kerja 2021 oleh Microsoft, lebih dari 40 persen tenaga kerja global, di antaranya adalah tenaga profesional wanita, telah mempertimbangkan mengundurkan diri dari tempat kerja pada 2021. Lebih dari itu, banyak perusahaan terus menghadapi kurangnya tenaga kerja terampil pada masa perombakan kerja terbesar dalam sejarah modern ini.

5 dari 5 halaman

Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia