Liputan6.com, Jakarta - Parlemen Israel (Knesset) telag mengesahkan undang-undang (UU) yang menolak naturalisasi bagi warga Palestina dari Tepi Barat atau Gaza yang menikah dengan warga Israel. Hal itu memaksa ribuan keluarga Palestina untuk beremigrasi atau hidup terpisah.
Undang-undang kewarganegaraan disahkan pada Kamis, 10 Maret 2022. Pengesahan itu tepat sebelum Knesset dibubarkan untuk liburan dengan suara mayoritas 45-15 yang melintasi garis koalisi-oposisi, dilansir dari Aljazeera, Jumat (11/3/2022).
Advertisement
Baca Juga
UU itu menggantikan aturan sementara yang pertama kali disahkan saat puncak perlawanan Palestina pada 2003 dan diperbarui setiap tahun sampai berakhir Juli 2021. Ketika itu, Knesset gagal mendapatkan mayoritas suara yang diperlukan untuk memperpanjangnya.
Partai Yamina pimpinan Perdana Menteri Naftali Bennett bersekutu dengan faksi-faksi sayap kanan di oposisi untuk meloloskan undang-undang tersebut di atas protes dari partai-partai yang lebih liberal di dalam dan di luar pemerintahan.
"Kombinasi kekuatan antara koalisi dan oposisi menghasilkan hasil penting bagi keamanan negara dan benteng sebagai negara Yahudi," kata Menteri Dalam Negeri Ayelet Shaked, anggota partai Bennett.
Lusinan anggota parlemen di kamar 120 kursi tidak memberikan suara pada undang-undang yang dinilai sangat memecah belah. Di bawah ketentuan undang-undang kewarganegaraan yang akan berlaku selama satu tahun itu, warga Palestina yang menikah dengan orang Israel dapat diizinkan tinggal selama dua tahun.
Namun, hak itu bisa sewaktu-waktu dicabut dengan alasan keamanan. Para pendukung mengatakan undang-undang tersebut membantu memastikan keamanan Israel dan mempertahankan “karakter Yahudinya”.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Negara Israel adalah Yahudi
Beberapa anggota Knesset mengatakan UU itu dimaksudkan untuk mencegah hak pengembalian bertahap bagi pengungsi Palestina yang diusir dari rumah mereka atau yang melarikan diri selama perang 1948 setelah pembentukan Israel. Di sisi lain, Israel bersiap untuk menerima ribuan pengungsi Ukraina.
"Negara Israel adalah Yahudi dan akan tetap ada," kata Simcha Rothman dari Partai Religius Zionis sayap kanan, seorang anggota oposisi yang mengajukan hukum bersama Shaked. "Hari ini, mudah-mudahan, perisai pertahanan Israel akan diperkuat secara signifikan," katanya kepada Knesset beberapa jam sebelum pemungutan suara.
Bezalel Smotrich dari blok Religius Zionis mengatakan undang-undang itu secara garis besar "baik dan benar". Namun, anggota parlemen Gaby Lasky dari Partai Meretz menyebut undang-undang itu sebagai "titik hitam dalam buku hukum di Israel".
Ia menulis di Twitter bahwa, "Meretz secara keseluruhan memilih menentang rasisme." Mansour Abbas, ketua partai Daftar Arab Bersatu (Raam) juga menentang undang-undang tersebut.
Advertisement
Hukuman Kolektif
Para kritikus mengatakan undang-undang tersebut mendiskriminasi 21 persen minoritas Palestina di Israel. Mereka merupakan warga Palestina karena warisan dan Israel berdasarkan kewarganegaraan – dengan melarang mereka memperluas kewarganegaraan dan hak tinggal permanen kepada pasangan Palestina.
"Itu terlihat lebih xenofobia atau rasis [daripada undang-undang lain] karena tidak hanya memberikan hak dan keistimewaan ekstra kepada orang-orang Yahudi, tetapi juga mencegah hak-hak dasar tertentu hanya dari penduduk Arab," kata Reut Shaer, seorang pengacara dari Association for Hak Sipil di Israel.
Undang-undang tersebut juga melarang penyatuan warga negara Israel atau penduduk dan pasangan dari "negara musuh", seperti Lebanon, Suriah dan Iran.
Kelompok HAM
Sebagian besar yang terpengaruh undang-undang itu adalah wanita dan anak-anak Palestina, kata Shaer. Ini adalah bentuk 'hukuman kolektif', tambahnya, karena melanggar hak seluruh penduduk berdasarkan asumsi bahwa mereka semua rentan terhadap “terorisme”.
Beberapa kelompok hak asasi manusia mengumumkan bahwa mereka akan menantang undang-undang tersebut di Mahkamah Agung Israel. "Para hakim sekarang harus memutuskan apakah, ketika dihadapkan dengan bahasa eksplisit UU, mereka akan terus membiarkan UU rasis ini dilindungi dengan dalih temporalitas abadi," kata kelompok advokasi Adalah dalam sebuah pernyataan.
Israel telah mencaplok Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza melalui perang Timur Tengah 1967. Mereka menerapkan serangkaian aturan yang berbeda untuk orang Yahudi dan Palestina di bagian-bagian yang sekarang diduduki secara ilegal.
Advertisement