Liputan6.com, Jakarta - Sebelum Maggie Rawlins jadi model dan mendarat di halaman Sports Illustrated, ia adalah seorang perawat hematologi/onkologi di Charleston, Carolina Selatan, Amerika Serikat (AS). Keahlian itu kembali dimanfaatkannya, tepatnya di perbatasan Polandia-Ukraina di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
Saat beralih jadi model penuh waktu, Vogue melaporkan, Jumat (15/4/2022), Rawlins terus memperbarui lisensi keperawatannya, sehingga tetap bisa praktik. Ketika pandemi COVID-19 melanda AS, ia mulai bekerja di garis depan di beberapa rumah sakit di Queens, New York.
Advertisement
Baca Juga
Maju cepat dua tahun kemudian, model itu beraksi lagi ketika mengetahui ada kebutuhan akan perawat di perbatasan Polandia-Ukraina. Ia melakukan perjalanan ke Medyka, Polandia, dan bekerja selama 10 hari dalam shift malam dengan organisasi non-pemerintah Sauveteurs San Frontieres (SSF).
Informasi tentang sebuah organisasi membutuhkan profesional medis sendiri didengar Rawlins dari pacarnya, Dr. Danielle Belardo, seorang ahli jantung di California. Ia pun bertanya apakah mereka membutuhkan perawat, dan berkata, seperti ditiru ucapannya oleh Rawlins, "Kami membutuhkan semua tangan yang bisa kami dapatkan."
Ia akhirnya terbang ke Krakow, Polandia, lalu berkendara dua atau tiga jam ke perbatasan Polandia-Ukraina. Rawlins berkata, "Ada banyak sekali barang yang tidak bisa saya bawa, tapi mereka membutuhkan banyak obat anak. Saya menjangkau komunitas saya di Charleston, dan mereka mengirimkan 140 pon obat-obatan."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Posisi Rawlins
Lebih lanjut Rawlins mengatakan, posisinya kala itu berada di sisi barat Ukraina dan sisi timur Polandia. "Saya sama sekali tidak tahu apa yang diharapkan. Hanya ada ratusan orang. Saya pergi karena saya merasa ada kebutuhan di sana. Saya tidak punya anak, dan saya tidak punya 9-ke-5 (kerja kantoran), jadi saya merasa cukup istimewa untuk dapat meninggalkan apa yang saya lakukan dan pergi," ia bercerita.
Ia mengatakan tahu ada tempat untuk membantu, tapi tidak tahu jenis masalah medis apa yang akan dilihat. Ia akhirnya bekerja sebagian besar di bagian perawatan darurat. "Kami melihat luka tembak dan tulang rusuk patah," katanya.
"Kami juga melihat kelelahan ekstrem dan orang-orang yang menggunakan obat tekanan darah tinggi atau insulin, dan mereka tidak dapat pergi ke apotek. Ada banyak kasus COVID-19, anak-anak dengan infeksi saluran pernapasan," imbuh Rawlins.
Ia berkata, "Ada orang yang telah bepergian selama dua atau tiga hari, dan itu memperlihatkan kelelahan yang ekstrem, terutama pada anak-anak dan orang tua. Ada banyak dehidrasi. Pria tidak bisa pergi, jadi sebagian besar wanita, anak-anak, dan orang tua."
Advertisement
Begitu Banyak Cerita Tragis
Rawlins juga mengatakan bahwa ada tenda berjejer dengan kartu SIM dan truk makanan dari seluruh Eropa. "Ada truk makanan Turki, truk Israel, tenda lain yang menyajikan semua jenis makanan yang berbeda," ia mengatakan.
"Itu nyata melihat orang-orang dari seluruh dunia datang membantu di mana mereka bisa. Bukan hanya perawat dan dokter. Ada orang yang membuat sarapan dan cokelat panas untuk anak-anak. Mungkin (berjarak) empat tenda dari kami, ada tenda yang memiliki makanan untuk anjing, kucing, burung, gerbil, secara harfiah hewan peliharaan apapun yang dapat Anda pikirkan," Rawlins mengatakan.
Ada begitu banyak cerita tragis, ia mengatakan. "Tapi, orang-orang yang saya temui dan ketangguhan mereka sangat menginspirasi. Bahkan orang-orang yang bekerja dengan saya," Rawlins berkata.
"Saya memiliki satu shift malam dengan seorang perawat berusia 70 tahun dari Prancis Selatan dan seorang dokter berusia 71 tahun dari Israel. Perawat berbicara bahasa Prancis dan sedikit bahasa Inggris, dan dokter berbicara sedikit bahasa Prancis, jadi kami menggunakan Google Terjemahan untuk berkomunikasi," ia bercerita.
"Antara jam 2 dan 5 pagi, itu landai, jadi Anda punya waktu untuk duduk di dekat tungku pembakaran kayu dan mendengar cerita mereka. Mereka berdua telah bekerja dengan organisasi kemanusiaan sepanjang hidup mereka. Salah satunya memiliki lima anak dan 18 cucu. Ia telah bekerja di 30-an negara," Rawlins melanjutkan.
Kisah Relawan Lainnya
Ada lagi pria lain, Eladio, yang datang dengan salah satu temannya, Dr. Jeffrey Horenstein, seorang dokter di AS, Rawlins melanjutkan ceritanya. "Eladio tidak memiliki latar belakang medis. Ia sudah berada di sini selama lima hari dan telah melintasi perbatasan 52 kali," tuturnya.
"Orang-orang menyeberang dengan berjalan kaki, tapi tidak seperti Anda datang ke gerbang dan melangkah melintasi perbatasan. Ini adalah proses yang panjang, dan mungkin setengah mil (sekitar 800-an meter) antara kontrol perbatasan Ukraina, tanah tak bertuan, kontrol perbatasan Polandia, dan berjalan ke tenda di mana Anda akan naik bus atau meminta seseorang menjemput Anda," Rawlins mengatakan.
Eladio diceritakan bolak-balik dengan gerobak belanjaan. Rawlins berkata, pria itu akan membawa persediaan medis ke tenda di sisi Ukraina, dan akan membawa barang bawaan kembali ke Polandia untuk orang-orang yang berjuang.
Ia berkata, "Hal-hal seperti itu benar-benar menyentuh saya karena orang-orang berpikir Anda memerlukan gelar medis untuk membantu, tapi ia adalah salah satu orang yang paling membantu di sana dan membuat perbedaan terbesar."
Advertisement
Terbang Pulang
Rawlins juga mengatakan bahwa ada gadis-gadis dari Ukraina yang akan datang dan menerjemahkan. Mereka berusia 13, 14, 15 tahun, dan akan melintasi perbatasan, lalu menghabiskan hari menerjemahkan untuk profesional medis.
"Saya kebanyakan melakukan perawatan triase, jadi seseorang masuk, dan saya mengambil tanda-tanda vital mereka dan mencoba mendapatkan sedikit catatan tentang apa yang terjadi. Di situlah para penerjemah datang membantu. Anda tidak dapat memperlakukan seseorang tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. Penerjemah di sana berperan vital," ia mengatakan.
"Malam terakhir saya di sana, saya bertemu seorang wanita berusia 85 tahun yang datang ke tenda bersama suaminya yang berusia 87 tahun yang menderita Alzheimer. Ia hanya menangis, 'Kami tidak akan pergi, kami tidak akan pergi,' tapi mereka harus pergi," tuturnya.
"Mereka memiliki keluarga di Italia yang datang menjemput mereka; mereka belum pernah ke sana sebelumnya. Ia tidak berbicara bahasa Inggris, jadi kami berbicara melalui penerjemah. Kehidupan mereka benar-benar tercabut," Rawlins mengatakan.
"Saya pulang, dan saya punya pekerjaan di sini. Otak saya agak bergejolak mencoba memproses keduanya, dan saya bahkan merasa bersalah mengatakan saya punya rumah. Saya tidak tahu apakah otak kita dapat memproses dua ekstrem itu," tutupnya.