Sukses

Menyusun Kembali Makna Kebaya Kartini

Peringatan Hari Kartini identik dengan memakai kebaya, tapi kebiasaan ini semestinya dimaknai secara lebih mendalam.

Liputan6.com, Jakarta - Jatuh pada 21 April setiap tahunnya, Hari Kartini boleh jadi dimaknai setiap orang dengan cara berbeda. Namun di antara keberagamannya, memakai kebaya telah jadi salah satu simbol selebrasi laju gerakan perempuan Indonesia di momen tersebut.

Berbicara kebaya, itu memang identik dengan penampilan Kartini pada abad ke-18. Namun secara luas, staf pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ike Devi Sulistyaningtyas, mengutip situs webnya, Rabu (20/4/2022), menyebut kebaya sebagai manifestasi budaya dan mozaik histori busana perempuan Indonesia.

Ia menulis, "Bentuk kebaya nyaris menutupi seluruh tubuh perempuan, dengan proporsi unik karena ukurannya mengikuti bentuk tubuh (pemakainya). Kebaya dikenakan perempuan Jawa sebagai penghormatan bagi tubuh perempuan maupun orang lain. Kualitas feminin perempuan pada masa itu salah satunya terwujud pada kebaya yang dikenakan."

Artinya, perempuan jadi sosok feminin ketika mengenakan kebaya, mengingat busana ini menampilkan keanggunan dan kesopanan. Pada akhirnya, kebaya lekat dengan manifestasi perempuan dengan tipikal lemah lembut, sopan, tenang, damai, dan penuh kasih.

Mengutip merdeka.com, kebaya Kartini yang dikenal masyarakat sekarang memiliki model kerah yang dilipat keluar dengan kelepak kerah memanjang dari bagian leher hingga ujung kebaya. Lalu, tidak ada kutu baru atau kain tambahan di tengah kebaya yang menghubungkan bagian kiri dan kanannya.

Secara model, kebaya Kartini cenderung polos dan minimalis. Kendati, bagian leher melalui dada hingga tepi bagian bawah kebaya biasanya diberi tambahan payet. Khusus di bagian tepi bawah kebaya biasanya dihias dengan benang emas. Mengacu pada norma priyayi Jawa, kebaya Kartini desainnya cenderung tertutup dan sopan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Kesempurnaan Perempuan Pengguna Kebaya

Dalam kasus Kartini, ia dinilai merepresentasikan kesempurnaan perempuan pengguna kebaya. Kesempurnaan ini merupakan perpaduan perempuan yang memiliki latar belakang keluarga bangsawan, kepatuhan terhadap adat istiadat, kesantunan terhadap keluarga, sekaligus sebagai perempuan anggun, lembut, tangguh, dan cerdas.

Kecerdasan Kartini tidak hanya diperuntukkan bagi dirinya. Ia pun memikirkan perempuan Indonesia yang saat itu tidak memiliki hak sejajar dengan pria dalam pendidikan dan pengembangan diri. Ia menginginkan perempuan-perempuan lain, yang juga pengguna kebaya, memperoleh hak untuk maju dan berkontribusi dalam lingkungan sosial.

Dalam sejarah, kegigihan Kartini berhasil menghadirkan sekolah perempuan di antaranya di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon, Ike menuliskan. 

Kartini dan kebaya akhirnya disebut sebagai "paket sempurna sebagai wujud perempuan kreatif dan cerdas." "Paket inilah seharusnya yang jadi instrumen kuat dalam seremonial peringatan Hari Kartini," ia menambahkan.

Dengan kata lain, semangat yang diemban perempuan abad ini adalah pengembangan kreativitas agar kaum hawa memiliki hak dan mendudukkan diri sejajar dengan pria. Bahkan, ketika diposisikan sebagai pendamping lelaki, perempuan harus jadi pendamping aktif dalam menata kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara.

3 dari 4 halaman

Berpadu Nilai Feminin

Kreativitas dan kecerdasan yang dipadukan dengan nilai-nilai feminin pada kebaya, menurut Ike, masih sangat relevan direkonstruksi dengan kemajuan zaman. Perempuan dan posisinya saat ini membutuhkan konstruksi utuh demi meneruskan cita-cita Kartini.

Yang juga perlu digarisbawahi, menurut Ike, ketika perempuan masa kini bisa dengan mudah mengakses pendidikan dan hak-hak sejajar dengan pria, mereka "cenderung melepaskan kualitas feminin yang melekat." Ia mencatat, "Boleh dikatakan perempuan justru ingin jadi tiruan laki-laki."

Ia melanjutkan, "Hal ini cukup kuat mengemuka saat perempuan mulai menilai rendah pekerjaan domestik yang orientasinya pada keluarga, dan menganggap tinggi pekerjaan publik yang orientasinya pada aktualisasi diri."

Jika perempuan modern berkaca pada Kartini masa itu, kekuatan kecerdasan dan kreativitas perempuan asal Jepara, Jawa Tengah itu tidak lantas menafikan peran wanita dalam keluarga. Dalam hal ini, ia tetap menempatkan dirinya dalam balutan kebaya. Artinya, cemerlangnya kiprah Kartini bukan tanpa dijiwai kualitas femininnya, Ike menyebutkan.

4 dari 4 halaman

Tidak Semata Ajang Lomba

Dengan kata lain, Ike melanjutkan, sebagaimana sifat feminin Kartini yang berkebaya pada zaman itu, perempuan modern dapat mengimplementasikan kualitas feminin untuk mengubah dunia. "Dengan kesantunan, kelemahlembutan, keanggunan, kasih sayang, dan naluri keibuannya, perempuan dapat mengubah dunia dengan keindahan, menggerakkan solidaritas sosial yang didasari kasih sayang, merawat lingkungan dengan sentuhan lembut, serta jadi pemelihara keluarga dan lingkungan dengan curahan cintanya," tulisnya.

Oleh karena itu, Ike berpendapat, ketika perempuan mengenakan kebaya saat memperingati Hari Kartini, akan hadir rekonstruksi perempuan modern dan segenap atribut kualitas femininnya. Jangan sampai momentum Hari Kartini, Ike menambahkan, semata jadi "ajang lomba" berkebaya, bersanggul, dan memulas riasan wajah.

"Perjuangan Kartini harus dilanjutkan, mengingat masih banyak permasalahan perempuan di negeri ini. Semoga kebaya Kartini tidak hanya jadi simbol semata, namun melandasi terwujudnya perempuan humanis, cerdas, kreatif, dan dapat menciptakan iklim kondusif penuh kasih bagi Indonesia," Ike menutup keterangannya.