Liputan6.com, Jakarta - Eksistensi kaum perempuan di dunia teknologi, khususnya di bidang keamanan siber, masih terlihat kurang keberadaannya. Berdasarkan Studi Tenaga Kerja Keamanan Siber (ISC)2 2021, dua pertiga organisasi menghadapi kekurangan staf, padahal sudah bertumbuh empat persen dari tahun sebelumnya.
Secara bersamaan, survei memperkirakan bahwa perempuan hanya membentuk sekitar 25 persen dari angkatan kerja global industri. Sebuah laporan terpisah menemukan bahwa 72 persen wanita di bidang teknologi yang disurvei kalah jumlah oleh pria dalam pertemuan bisnis dengan rasio 2:1, sementara 26 persen mengatakan mereka kalah jumlah dengan 5:1 atau lebih.
Menurut Country Director Fortinet untuk Indonesia Edwin Lim, meskipun tidak ada kekurangan pemimpin wanita dalam organisasi bisnis, namun kurangnya keragaman gender adalah masalah yang merugikan bisnis di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
“Sepanjang waktu saya di keamanan siber, saya telah bertemu dengan banyak pakar hebat yang kebetulan juga perempuan. Namun, terlepas dari ini, kami masih melihat kurangnya keberadaan kaum wanita, dan ini bukan hanya masalah keamanan siber, tetapi juga di seluruh teknologi,” terangnya.
Kondisi ini seharusnya membuat para pemimpin bisnis lokal menyadari bahwa mereka belum memperhatikan keadaan tersebut. Meski ada banyak alasan kenapa perempuan kurang terwakili dalam industri ini, bias yang signifikan dan stereotip gender mendorong keyakinan bahwa karier di bidang keamanan siber bukan untuk perempuan.
“Bias gender dan praktik ketenagakerjaan dan tempat kerja yang diskriminatif hanya akan memperburuk kerentanan dalam lanskap keamanan siber Indonesia. Di tengah pertumbuhan ekonomi digital yang kuat, pentingnya keragaman yang lebih besar bagi lanskap digital Indonesia tidak dapat cukup ditekankan. Oleh karena itu, meningkatkan urgensi organisasi Indonesia dalam hal inklusivitas sangat penting untuk menghindari bakat tergelincir melalui celah dengan mengorbankan hasil bisnis,” tegasnya.
Pada dasarnya, lingkungan kerja yang inklusif memberdayakan karyawan untuk meningkatkan diri, sementara organisasi akan meningkatkan retensi bakat. Jadi, merupakan keharusan strategis untuk mengatasi kesenjangan keterampilan keamanan siber saat ini. Perusahaan lokal harus menjadi yang terdepan dan secara aktif menangani masalah ini.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kursus Pelatihan Keamanan
“Mempertimbangkan seberapa banyak interaksi kita sehari-hari sekarang terjadi di ruang digital, memiliki lebih banyak wanita yang bergabung dengan jajaran profesional keamanan siber sangat penting untuk melindungi diri kita dari aktor jahat dunia siber.”
Namun mendorong lingkungan kerja yang inklusif membutuhkan tindakan nyata dan bukan hanya basa-basi. Organisasi harus mempelajari baseline dan mendokumentasikan kemajuan mereka dalam memenuhi komitmen ini.
“Misalnya, di Fortinet kami bekerja untuk mempromosikan perempuan di industri keamanan siber melalui beberapa program. Ini berkisar dari acara dan webinar yang mempromosikan karir wanita dalam keamanan siber serta mendorong keragaman gender dan meningkatkan visibilitas wanita melalui komunitas dan asosiasi dukungan karyawan,” lanjutnya.
Pada awal 2020, Fortinet membuka kursus pelatihan keamanan lanjutan Network Security Expert (NSE) mandiri secara gratis untuk mendukung komitmen perusahaan dalam mengembangkan tenaga kerja keamanan siber yang beragam.
“Banyaknya variasi jalan dalam karir keamanan siber sebenarnya merupakan dukungan yang kuat untuk keragaman dalam industri ini. Inilah sebabnya mengapa sangat mendesak agar bakat tidak ditolak karena bias gender,” pungkasnya.
Advertisement