Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak korban kekerasan seksual mampu bersuara atas pengalaman traumatis yang dialaminya. Di antara mereka terselip Jaylene Hong, seorang warga Singapura, yang mengaku diperkosa oleh mantan rekan kerjanya di rumahnya sendiri saat sedang mabuk pada 2012.
Saat pemerkosaan itu terjadi, ia masih berusia 21 tahun. Ia tidak dapat mengingat sebagian besar peristiwa itu karena ia tak sadarkan diri.
Advertisement
Baca Juga
"Saya terbangun merasakan sakit di [wilayah] perempuan. Saya menelepon penyerang dan yang bisa dia katakan adalah dia mencintai saya. Saya tidak bisa memproses informasinya," kenangnya kepada AsiaOne, dikutip Kamis, 5 Mei 2022.
Hong merasa trauma dan bingung usai kejadian itu. Ia memutuskan keluar dari rumah selama berbulan-bulan dan mencari perlindungan di rumah kerabat dan teman.
"Saya tidak tahan dengan rumah saya (tempat kekerasan seksual itu terjadi). Setiap malam setelah itu, aku akan bangun sambil berteriak," tambahnya.
Hubungannya dengan anggota keluarganya, yakni ayah dan dua saudara laki-lakinya, tidak dekat. Sang ayah sudah berpisah dengan ibunya.
Â
"Banyak orang tidak tahu harus berbuat apa, termasuk saya sendiri. [Korban] tidak berani angkat bicara [karena] mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada penyerang dan korban... Itulah yang menghentikan korban, mereka hanya ingin menghindari masalah itu,"Â tutur Hong.
Ia menambahkan, saat itu dirinya tidak tahu apa haknya sebagai korban. Setelah kejadian itu berlalu, ia merasa sangat menyesal tidak lapor polisi usai kejadian itu berlangsung.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Merasa Dikecilkan
Hong akhirnya memberanikan diri menceritakan kasus pemerkosaan yang dialami kepada ayahnya, beberapa bulan setelah kejadian. Sang ayah mendukung anaknya dengan sepenuh hati saat memutuskan untuk membuat laporan polisi dan pergi ke pengadilan untuk bersaksi melawan pemerkosanya.
Namun, ayahnya memperingatkannya tentang akan ada banyak mata yang menatapnya di pengadilan. Mereka bisa masyarakat umum, pengacara, hingga pers.
"Masalahnya [adalah] ayah saya hanya menekankan pada hasil negatif ... Dia menjelaskan bahwa [di] pengadilan, saya akan ditanyai oleh [pengacara] pembela yang akan meremehkan saya," tambah Hong. "Saya tidak tahu seluruh proses dan hanya dalam dua menit, saya mengatakan tidak [untuk membuat laporan polisi]."
Hong memutuskan untuk tidak melanjutkan masalah tersebut. Hal itu dikarenakan adanya kekhawatiran tentang proses pengadilan dan potensi hilangnya privasi.
Kekhawatiran itu datang karena Hong tidak mengetahui kalau pengadilan Singapura dapat mengizinkan korban kekerasan seksual untuk bersaksi di depan kamera dalam ruang tertutup. Dengan begitu, para korban tidak perlu bersaksi di bawah sorotan publik. Untuk melindungi identitas korban kejahatan seksual, perintah untuk menutup rapat proses peradilan juga dikeluarkan oleh pengadilan Singapura untuk melindungi korban dari rasa malu atau dikuliti publik secara detail.
Hong juga mengira dia telah terlalu lama untuk membuat laporan polisi. Padahal, menurut informasi di situs web Aware's Sexual Assault Care Center, korban kekerasan seksual dapat membuat laporan polisi kapan saja, tidak peduli sudah berapa lama kejadian berlalu.
Â
Â
Â
Advertisement
Pentingnya Edukasi Dini
Hong yang kini berprofesi sebagai kreator konten mengatakan pengalaman itu mengajarkannya tentang pentingnya edukasi publik tentang proses di kepolisian dan pengadilan jika mereka menjadi korban kekerasan seksual.Â
Â
"Saya pikir pendidikan [tentang hal-hal ini] harus dimulai dari muda .... agar polisi berbagi informasi dengan anak-anak tentang bagaimana bereaksi [setelah serangan seksual], hak-hak mereka ... Ketika sesuatu dibahas lebih lanjut, orang akan lebih terbuka untuk menghadapinya," ujar Hong yang kini sudah berkeluarga.
Pendidikan seksualitas saat ini mulai diberikan kepada anak sejak kelas 5 SD, meliputi perkembangan manusia, kesehatan seksual, dan perilaku. Perempuan yang berusia 31 itu akan senang mengetahui bahwa korban kejahatan seksual seperti dia sekarang akan mendapatkan lebih banyak dukungan dari pihak berwenang.
Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura K. Shanmugam mengatakan, polisi mengambil langkah proaktif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual dan apa yang dapat dilakukan korban. Polisi dalam kemitraan dengan Kementerian Pendidikan telah melibatkan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kesadaran tentang penyerangan seksual.
Pada 2020, Cabang Kejahatan Seksual Serius (SSCB) dari Departemen Investigasi Kriminal menangani 348 kasus pemerkosaan, meningkat dibandingkan 2019 dengan 281 kasus dan 213 pada 2018, lapor Straits Times September lalu. Setiap tahun, ratusan kasus pemerkosaan dilaporkan ke SSCB. Sebagian pelaku yang dilaporkan adalah lelaki yang dikenal korban.
Â
Â
Ruang Aman
Menurut situs web Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA), polisi saat ini mengambil pendekatan yang berpusat pada korban untuk mendukung mereka. Misalnya, Petugas Investigasi (IO) dengan SSCB yang menangani pelanggaran seksual serius seperti pemerkosaan, dilatih secara khusus untuk menangani korban kejahatan seksual.
"Itu salah satu hal pertama yang kami perhatikan - rasa aman dan kondisi pikiran korban. Penting untuk memberikan waktu dan ruang bagi korban untuk mengumpulkan emosi dan pikirannya," ujar Asisten Inspektur Polisi (ASP) Joyce Lau, seorang IO dengan SSCB.
Begitu kasus kejahatan seksual dilaporkan, petugas akan berusaha memastikan kesejahteraan korban. Polisi akan mengirim korban ke Petugas Perawatan Korban yang terlatih khusus untuk menerima dukungan emosional dan praktis selama proses peradilan pidana.
Singapura juga mendirikan Pusat Pemeriksaan Forensik Penyalahgunaan Satu Atap (OneSafe) pada 2017 untuk mendukung para korban menjalani pemeriksaan forensik dan medis yang diperlukan di lingkungan yang pribadi, aman, dan nyaman. Hal ini karena para korban mungkin sudah mengalami banyak tekanan sehingga, lingkungan tempat mereka ditempatkan berperan dalam membantu mereka meringankan beban itu.
Polisi juga menyediakan ruangan yang luas dan ramah dengan sofa yang nyaman, tanaman pot, dan jendela lebar. Jika korban membutuhkan tempat penampungan sementara, OneSAFE Center juga memiliki ruang perawatan korban yang nyaman dilengkapi dengan kebutuhan pribadi dan tempat tidur dengan seprai bersih.
Untuk korban kekerasan yang lebih muda akan ditangani di ruangan wawancara khusus anak-anak. Ruangan itu dilengkapi dengan mainan dan barang-barang lainnya untuk membuat mereka merasa lebih nyaman. Tersedia pula boneka anatomi yang bisa digunakan sebagai media mengekspresikan apa yang terjadi selama pelecehan berlangsung.
Untuk korban yang lebih muda yang menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota keluarga, IO dapat mengaktifkan proses Wawancara Multi Disiplin Satu Pintu. Prosesnya akan dilakukan di rumah sakit wanita dan anak. Nantinya akan dilakukan di Rumah Sakit Wanita dan Anak KK.
SPF juga akan mengoordinasikan wawancara dengan Kementerian Sosial dan Pengembangan Keluarga dan profesional medis lainnya. Hal itu untuk mencegah korban harus berulang kali menceritakan kejadian yang dialaminya. (Natalia Adinda)
Advertisement