Sukses

Jangan Tunggu Konsultasi ke Psikolog Setelah Masalah Kesehatan Mental Sudah Parah

Jasa konsultasi kesehatan mental kerap dianggap mahal. Tapi, ada solusi yang lebih murah untuk memperolehnya.

Liputan6.com, Jakarta - WHO memperkirakan satu dari lima orang di dunia mengalami masalah kesehatan mental. Lebih banyak yang mengalaminya adalah perempuan, dengan setengah dari penderitanya berusia muda, mulai dari 14 tahun. Tapi, studi yang dilakukan Jakpat bersama Maybelline pada 2021 menemukan bahwa hanya 15 persen yang pergi ke psikolog untuk berkonsultasi dan meminta bantuan.

Padahal, mengakses layanan profesional kesehatan mental tidak perlu menunggu ada masalah yang parah. Karina Negara, psikolog klinis dan co-founder KALM, mengatakan ada dua faktor yang bisa dibantu lewat konsultasi kesehatan mental, yakni prevensi dan intervensi.

Prevensi dimaksudkan sebagai bantuan untuk mengoptimalkan kemampuan merawat diri. Ia mencontohkan dirinya yang kurang berolahraga sebagai bagian rutinitas merawat diri. Psikolog bisa membantu mengatasi hal itu.

"Sebenernya ke psikolog enggak perlu ada tanda (gangguan kesehatan mental)...Kalau aku butuh dibantu lagi lebih disiplin segala macam, konseling bisa membantu," ujar Karina dalam peluncuran Brave Together secara virtual, beberapa waktu lalu.

Sementara, intervensi dimaksudkan sebagai bantuan pertama bagi mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Indikasinya ditunjukkan lewat tiga faktor utama, yakni hilang minat, hilang fokus, dan pola tidur yang buruk.

"Kalau pun durasi tidurnya bagus, tapi pas bangun enggak refresh, ada something else yang belum masuk ke alam sadar, tapi kepikirannya di belakang, yang bikin tidurnya buruk. Itu tandanya butuh ke psikolog," ia mengatakan.

Saat menemui orang lain dalam situasi tersebut, hal pertama yang perlu dilakukan adalah dengan menawarkan bantuan terlebih dulu. Bila dirasa masalah yang dialami orang tersebut terlalu berat, kata Karina, Anda bisa menyarankannya untuk berkonsultasi dengan psikolog.

"Selalu berangkat dari bertanya, bukan nyuruh. Kalau nyuruh emang enggak enak kan? Kita posisikan aja jadi dia, kalau disuruh kita enggak suka, enggak enak jatuhnya," tuturnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Stigma dan Biaya

 

Banyak hal yang menyebabkan orang enggan berkonsultasi ke psikolog. Salah satu yang paling kuat adalah stigma negatif masyarakat tentang konseling dan kesehatan mental. Mereka yang berkonsultasi, kerap dianggap gila, padahal tidak demikian. 

"Kalau pun orang-orang udah enggak kena stigma, kadang masih terhambat biaya. Bisa dimaklumi teman-teman Gen Z, uangnya belum cukup ke ahli atau profesional," ucap Karina.

Biaya cukup tinggi untuk mengakses layanan itu, sambung dia, karena para profesional menghabiskan biaya untuk mendapatkan keterampilan sebagai konselor yang baik. Menyadari hal itu, Maybelline meluncurkan program Brave Together yang memfasilitasi semua orang mendapatkan akses layanan konsultasi kesehatan mental secara gratis.

"Maybeline sebagai brand makeup, yang kami tawarkan ke semua orang untuk percaya diri, untuk bersenang-senang, dan membuat perubahan. Berdasarkan hal itu, kesehatan mental adalah elemen penting dan mendasar untuk mencapainya, terutama di Gen Z," kata Carla Mangindaan, Brand Manager Maybelline Indonesia.

Bersama KALM, pihaknya menyediakan layanan konseling 1 on 1 secara virtual. Targetnya 10 ribu orang dapat memanfaatkan akses gratis dengan menggunakan kode BRAVE 33-33-33-33. Layanan ini tersedia sepanjang 2022.

 

3 dari 4 halaman

Belajar dari Ilene

Salah satu penyintas masalah kesehatan mental adalah Danella Ilene, juara Indonesia's Next Top Model pertama. Perempuan yang berbasis di Bali itu menuturkan gangguan tersebut dialaminya mulai 2015. Saat itu, ia kerap mengalami perundungan secara verbal karena tuntutan pekerjaan.

"Dikatain gendut di tempat kerja, dituntut buat punya look yang sempurna, yang perfect, meskipun kalau kejar kesempurnaan, enggak bakal beres...Itu bahaya juga buat pikiran," kata dia.

Selama tiga tahun, Ilene bergelut dengan masalah mental dan pikiran. Ia selalu stres setiap makan. Mood-nya terpengaruh dan merasa tidak ada seorang pun yang mengerti masalah yang dihadapinya.

"Dari awalnya stres setiap mau makan, sampai depresi, insomnia, sampai suicidal thought juga," ucapnya.

Puncaknya terjadi pada 2008. Ia merasa sangat tidak nyaman pada tubuhnya tetapi tidak mengerti penyebabnya. Ia mengalami gangguan kecemasan yang membuat dadanya terasa perih. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari tahu lewat internet.

"Aku coba googling, dada perih ada pembahasannya, oh itu anxiety. Itu bagian dari namanya mental health. Apa gue perlu coba konseling sama psikolog, ya?" kata dia.

 

4 dari 4 halaman

Butuh Kerendahhatian

Pemikiran itu akhirnya mengantarkannya pada seorang teman yang lulusan S2 psikologi. Teman itu pula yang merekomendasikan nama lain untuk berkonsultasi.

"Sekali konseling, mataku kebuka banget. Hal yang kenapa anxiety, kenapa ya aku, apa aku worry berlebihan atau aku baperan, dia jawabnya masuk akal dan logis," tutur Ilene.

Ia menyadari bahwa tidak mudah menerima masukan dari orang lain. Tetapi, ia mengingatkan bahwa kunci untuk sembuh dari masalah kesehatan mental itu adalah kerendahhatian untuk mau belajar.

"Dulu soalnya menganggap diri paling piter, bebannya paling berat itu di aku. Di situlah kita butuh kerendahhatian untuk belajar. Butuh kerendahan hati buat denger atau refleksi diri," ujarnya.

Karina menambahkan, keberhasilan proses konsultasi adalah pada kejujuran. "Harus jujur ke konselor, nanti kalau enggak jujur, bantunya gimana? Tapi, kalau emang belum tenang, bingung, iitu wajar. Kalau nyaman ditemenin orang lain, get one friend, sosok yang kamu percaya, literally duduk di sebelah kamu selama konsultasi, itu juga enggak ada salahnya," ia menjelaskan.