Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pemberitaan dan persepsi beredar di media dan publik terkait kenaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo, termasuk Pulau Komodo, senilai Rp3,75 juta per orang per tahun dan pembatasan jumlah wisatawan sejumlah 200.000 orang per tahun yang diberlakukan mulai 1 Agustus 2022. Pihak pengelola dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun memberikan pernyataan resmi seputar kabar tersebut.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Zet Sony Lobing menyebut, kenaikan harga tiket menjadi Rp3,75 juta dan pembatasan pengunjung di TN Komodo telah melalui proses kajian. Menurutnya, harga tiket itu sebanding dengan biaya konservasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal.
Menurut Sony, pihaknya meminta ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Udayana dan Universitas Nusa Cendana (Undana), untuk mengkaji besaran kontribusi lingkungan yang harus dibayar wisatawan. Hasil kajian itu menunjukkan angka Rp2,9 juta sampai Rp5,8 juta per orang.
Advertisement
Baca Juga
"Pemerintah provinsi mengambil posisi tengah yaitu RP 3.750.000 per orang. Kontribusi itu dipakai untuk konservasi, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, untuk peningkatan kapabilitas bagi tenaga ranger di situ supaya dia profesional, untuk biaya monitoring, biaya pengelolaan sampah dan air minum serta amenitas sarana dan prasarana," jelas Sony dalam Weekly Press Briefing yang digelar secara hybrid, Senin (11/7/2022).
Sony mengatakan, nantinya pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat akan mendapatkan dana dari pengelolaan TN Komodo berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Sony, dana itu dibutuhkan untuk membangun jalan, jembatan, rumah sakit, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Sony mengungkapkan, bertahun-tahun Pemprov NTT tidak ikut dalam menjaga dan melestarikan komodo, karena itu adalah kewenangan pemerintah pusat. Kini, pemprov diberikan kesempatan untuk ikut mengelolanya atas izin pemerintah pusat.
"Jadi ini saatnya kita ikut mengelolanya. Karena komodo ini adalah anugerah Tuhan yang luar biasa bagi rakyat NTT, maka kita harus menjaganya dengan baik. Kita melestarikannya dengan baik," terangnya.
Sony menambahkan, besaran tiket Rp3,75 juta itu hanya untuk Pulau Padar dan Pulau Komodo serta perairan di sekitarnya. Alasannya, berdasarkan hasil kajian, dua pulau itu yang mengalami penurunan ekosistem dibandingkan pulau-pulau lainnya yang juga memiliki komodo.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Biaya Kontribusi
Dalam kesempatan yang sama, Carolina Noge, Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi di Taman Nasional Komodo menambahkan, penetapan biaya sebesar Rp3,75 juta per orang yang berlaku selama satu tahun merupakan biaya kontribusi untuk program konservasi Pulau Komodo, Pulau Padar, dan kawasan perairan sekitarnya, dan bukan sekedar harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo.
"Pengunjung yang akan melakukan kunjungan diwajibkan melakukan registrasi dan reservasi secara online satu pintu melalui aplikasi. Kemudian, pembatasan pengunjung melalui registrasi online serta penerapan biaya kontribusi ini akan digunakan untuk upaya konservasi; manajemen kunjungan, pengelolaan sampah, pemulihan terumbu karang yang rusak, serta berbagai isu dan permasalahan lain di kawasan yang mengancam habitat komodo dan ekosistem di dalamnya," jelasnya.
"Pulau Komodo dan Padar ini memang jadi prioritas utama karena ekosistemnya berbeda dengan di pulau lain. Begitu juga dengan habitat komodo di sana yang perlu penanganan khusus. Singkatnya, kedua pulau ini memang harus segera dibatasi agar ekosistemnya bisa berjalan dengan baik," tambahnya.
Dr. Irman Firmansyah yang melakukan Kajian Daya Dukung Daya Tampung (DDDT) Berbasis Jasa Ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar dan Kawasan Perairan Sekitar, menambahkan, jika seorang wisatawan datang mengunjungi suatu tempat, pastinya ada nilai ekosistem yang berkurang, mulai dari air yang digunakan, oksigen yang dihirup, tempat tinggal yang digunakan, limbah sabun, suhu panas yang dikeluarkan tubuh, sampah yang dihasilkan, dan sebagainya.
Advertisement
Ekosistem yang Rusak
"Belum lagi jika tanpa manajemen kunjungan dan tata kelola yang terintegrasi, pengawasan dan keamanan menjadi kurang maksimal. Keterkaitan permasalahan ini mengancam ekosistem," terang Irman.
Biaya kontribusi ini akan digunakan sebagai program konservasi untuk memperbaiki kembali ekosistem yang rusak atau berkurang nilainya."Gambaran ini baru satu orang wisatawan. Bagaimana kalau ratusan wisatawan datang sekaligus? Berapa banyak kerusakan ekosistem yang dihasilkan? Untuk itu, pembatasan pengunjung penting untuk segera diterapkan," tutur Irman.
Selain nilai jasa ekosistem yang rusak dan berkurang, aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi perilaku dari komodo itu sendiri.
"Komodo di area aktivitas manusia tinggi menunjukkan kewaspadaan yang kurang. Kemudian massa tubuh yang lebih besar karena kemudahan perolehan pakan dari sisa-sisa makanan di area wisata. Hal ini tentu mengurangi insting berburu komodo, sehingga lama kelamaan area wisata ini bisa jadi area budidaya komodo. Inilah hal yang harus kami jaga dengan upaya-upaya konservasi," sambung Carolina.
Wisata Survival
Mulai 1 Agustus, tiket masuk ke kawasan Taman Nasional Komodo akan diberlakukan secara daring melalui aplikasi Inisa yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi NTT. Mulai saat itu pula, kunjungan ke pulau Komodo dan pulau Padar akan dibatasi maksimal 290 ribu pengunjung per tahun.
Kepala Taman Nasional Komodo Lukita Awang menambahkan bahwa saat musim kawin komodo, yaitu selama Juni-September, jumlah pengunjung akan lebih dibatasi. "Dengan sistem online memudahkan kita lakukan pembatasan, di mana saat musim kawin berapa orang per harinya, itu akan ditetapkan dalam sistem online," ujarnya.
"Ini yang harus kita ingat dan pahami kalau wisata di TN Komodo ini termasuk wisata survival bukan wisata oriented yang masif seperti Bali atau daerah-daerah wisata lainnya yang selalu ramai pengunjung, jadi memang harus mengutamakan kualitas bukan kuantitas dan di sana tidak ada makhluk hidup berusai jutaan tahun yang harus dilestarikan," lanjutnya.
"Jadi kalau kita lihat penjelasan dari berbagai pihak, kami di Kemenparekraf terutama saya sendiri, ini biaya yang wajar dan masuk akal. Ini bisa mendatangkan manfaat tak hanya dari segi ekonomi tapi juga dari segi pelestarian lingkungan dan berbagai aspek. Ini sesuai dengan prinsip wisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," timpal Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Menpakeraf Sandiaga Salahuddin Uno.
"Setelah mendengar semua masukan dan penjelasan tadi, saya semakin yakin kalau kebijakan ini akan membuat wisatawan semakin peduli dan memahami pentingnya pelestarian wisata seperti ini. Kami sendiri sudah punya Permenparekraf Nomor 9 sudah mengacu pada bagaimana membuat Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super proritas yang berkelanjutan," sambung Sandiaga.
Advertisement