Sukses

Jadi Kasus Positif Pertama Cacar Monyet di Thailand, Pria Nigeria Kabur Tanpa Jejak

Pria Nigeria sebelumnya diminta untuk karantina mandiri setelah berkunjung ke salah satu rumah sakit di Thailand dengan gejala mirip cacar monyet.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Thailand kehilangan jejak turis Nigeria yang dinyatakan positif mengidap cacar monyet. Pria berusia 27 tahun itu hilang setelah diinformasikan bahwa hasil tesnya positif pada Senin, 18 Juli 2022.

Itu menjadi kasus cacar monyet pertama yang terdeteksi di Thailand. Pasien itu sebelumnya mengunjungi sebuah rumah sakit di Phuket dengan gejala mirip dengan cacar monyet.

Dikutip dari Chanel News Asia, Sabtu (23/7/2022), menurut pejabat kesehatan setempat, pihak rumah sakit selanjutnya mengambil sampel darah dari pasien dan dites di laboratorium pada Sabtu, pekan sebelumnya. Hasilnya baru keluar pada Senin sore.

"Pada 18 Juli, sekitar pukul 6 sore,kami mengetahui hasilnya dari tes laboratorium pertama di Universitas Chulalongkorn. Setelah mempelajari hasilnya, pihak rumah sakit menelepon pasien untuk mengatur pemindahan untuk mendapatkan perawatan medis, tetapi ia menolak dan mematikan teleponnya," kata dr. Koosak Kookiatkul, kepada Kantor Kesehatan Masyarakat Phuket, dalam jumpa pers, Jumat, 22 Juli 2022.

Menurut kepala kesehatan Phuket, pria itu memasuki Thailand pada 21 Oktober 2021. Ia selanjutnya tinggal di kondominium di kawasan Patong, Phuket, sejak November 2021. Ia kerap mengunjungi tempat hiburan di daerah itu.

Setelah mengunjungi rumah sakit pada 16 Juli 2022, pria itu diminta untuk menjalani karantina mandiri di apartemennya. Namun, menurut dr. Koosak, rekaman CCTV menunjukkan ia meninggalkan apartemennya setelah diinformasikan positif mengidap cacar monyet pada 18 Juli 2022.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Belum Terlacak

Ia lalu menyewa kamar hotel di Patong pada hari yang sama. "Pada 19 Juli, dia masih berada di tempat itu tetapi tidak membiarkan staf membersihkan kamarnya. Pada jam 9 malam, dia meletakkan kunci kamarnya di resepsionis dan pergi," imbuh dr. Koosak.

Pejabat kesehatan dan otoritas setempat berusaha melacak keberadaan pria Nigeria itu untuk memberinya perawatan medis dan untuk mengendalikan penyebaran penyakit sejak Senin, pekan ini. Mereka juga melakukan penemuan kasus aktif dan pelacakan kontak.

Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan ada dua clades virus monkeypox, yaitu clade Afrika Barat dan clade Congo Basin (Afrika Tengah).

"Klade Congo Basin sepetinya lebih serang menyebabkan penyakit parah dengan rasio kematian kasus (case fatality ratio/CFR) yang sebelumnya dilaporkan mencapai sekitar 10 persen," kata WHO di situsnya.

"Klade Afrika Barat di masa lalu telah dikaitkan dengan CFR yang lebih rendah secara keseluruhan sekitar 1 persen pada populasi yang umumnya lebih muda di pengaturan Afrika. Sejak 2017, beberapa kematian orang dengan cacar monyet di Afrika Barat telah dikaitkan dengan usia muda atau infeksi HIV yang tidak diobati," tambahnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Rapat WHO

Menurut Dr Opas Karnkawinpong, Direktur Jenderal Departemen Pengendalian Penyakit, pria Nigeria terinfeksi oleh clade Afrika Barat. "Berdasarkan investigasi penyakit yang dilakukan terhadap dua kontak berisiko tinggi,teman pasien itu tidak menunjukkan gejala apapun, cacar monyet tidak terdeteksi," katanya dalam konferensi pers di Kementerian Kesehatan Masyarakat.

"Namun demikian, mereka harus dipantau atau dikarantina selama 21 hari. Pencarian pasien lebih banyak harus dilakukan di area berisiko seperti tempat hiburan yang pernah mereka kunjungi. Sementara itu, tim investigasi telah mendisinfeksi kamar pasien," tambahnya.

Dikutip dari kanal Global Liputan6.com, sejumlah pakar cacar monyet, pada Kamis, 21 Juli 2022, sedang mendiskusikan apakah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) patut mengklasifikasikan perebakan penyakit itu sebagai situasi darurat kesehatan dunia – status peringatan tertinggi akan sebuah penyakit.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, pertemuan kedua komite kedaruratan WHO tentang virus itu dilakukan untuk memeriksa situasi yang memburuk, dengan hampir 15.400 kasus dilaporkan terjadi di lebih dari 71 negara. Lonjakan infeksi cacar monyet telah dilaporkan sejak awal Mei di luar negara-negara Afrika Barat dan Tengah, di mana penyakit itu telah lama menjadi endemik.

 

4 dari 4 halaman

Status Darurat?

Pada 23 Juni 2022, WHO mengadakan pertemuan dengan komite darurat para pakar untuk menentukan apakah cacar monyet termasuk ke status Darurat Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Dunia (PHEIC) – tingkat siaga tertinggi badan kesehatan PBB. Tapi, sebagian besar pakar memberi tahu Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus bahwa situasinya saat itu belum memenuhi ambang batas.

Pertemuan kedua lantas digelar ketika jumlah kasus semakin meningkat. "Saya membutuhkan saran Anda dalam mengkaji dampak-dampak kesehatan masyarakat jangka pendek dan jangka panjangnya," kata Tedros pada awal pertemuan, yang berlangsung selama lebih dari enam jam.

Apabila komite itu memberi tahu Tedros bahwa perebakan itu memenuhi syarat PHEIC, organisasi PBB itu akan mengajukan rekomendasi sementara tentang cara mencegah dan mengurangi penyebaran penyakit dengan lebih baik dan mengatur tanggapan kesehatan masyarakat global. Tdak ada batas waktu komite itu akan mengambil keputusan atau mengumumkan hasil pertemuan itu.

Di sisi lain, studi yang dilakukan para peneliti Portugal dan diterbitkan dalam jurnal Nature Medicine menyebut virus cacar monyet yang menyebar di Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris bermutasi sangat cepat. Para peneliti menemukan semua pasien memiliki strain cacar monyet yang dapat ditelusuri kembali ke wabah virus sebelumnya pada 2018-2019 di Inggris, Israel, dan Singapura, yang virus aslinya berasal dari Nigeria.

Namun, tes menunjukkan bahwa virus telah bermutasi 50 kali. Angka itu 12 kali lebih banyak dari perkiraan para peneliti, setelah wabah sebelumnya pada 2018.