Liputan6.com, Jakarta - Preferensi para orangtua muda di Korea Selatan yang berencana untuk memiliki anak berubah. Hasil survei lokal menemukan bahwa orangtua menilai dua anak perempuan adalah komposisi yang paling ideal, disusul dengan memiliki satu anak perempuan dan satu anak laki-laki sebagai pilihan ideal kedua. Sementara, memiliki dua anak laki-laki tanpa anak perempuan disebut kurang diinginkan.
Kim Yeon-ju, pekerja kantoran yang berbasis di Provinsi Gyeonggi baru saja menjalani cuti melahirkan sejak Maret 2022. Ia pun sangat setuju dengan hasil survei di atas.
Advertisement
Baca Juga
"Saya melihat dengan jelas tren bahwa anak perempuan lebih disukai daripada anak laki-laki, terutama di antara pasangan muda yang berencana memiliki bayi," katanya kepada The Korea Times, seraya menambahkan bahwa dia adalah salah satu orangtua yang lebih memilih anak perempuan daripada anak laki-laki, dikutip Selasa (2/8/2022).
Menurut dia, anak laki-laki ketika tumbuh dewasa akan menjauh dari orangtua, seperti orang asing. Anak laki-laki, kata dia, juga biasanya meninggalkan rumah setelah mereka menikah dan memiliki keluarga sendiri. "Hanya sedikit dari mereka yang berbagi interaksi emosional dengan orangtua mereka," ucapnya.
Meski semua anak pada dasarnya adalah anugerah, warga Korea menganggap anak perempuan lebih diharapkan daripada anak laki-laki saat ini. Itu juga sesuai dengan survei terbaru yang dilakukan Hankook Research kepada lebih dari 1.000 orang di Korea Selatan. Hasilnya, 55 persen berpikir memiliki anak perempuan adalah 'wajib', hanya 31 persen yang menyebut memiliki anak laki-laki itu wajib.
Dalam survei itu pula, anak perempuan lebih diinginkan daripada anak laki-laki oleh orangtua di semua kelompok umur. Tetapi trennya sangat luar biasa di antara responden yang berusia di atas 60 tahun. Dalam kelompok usia tersebut, 70 persen menyukai anak perempuan, lebih tinggi daripada 43 persen yang lebih menyukai anak laki-laki.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penganut Patriarki
Preferensi orangtua di Korea yang lebih memilih anak perempuan daripada anak laki-laki itu dinilai sebagai sebuah ironi. Negeri ginseng sejak berabad-abad lalu didominasi oleh laki-laki karena penekanan pada nilai-nilai neo-Konfusianisme.
Secara historis, ibu dengan anak perempuan didorong atau bahkan diancam untuk menambah anak untuk mengamankan garis keturunan keluarga mereka melalui anak laki-laki. Anggota keluarga perempuan juga diperlakukan seperti warga negara kelar dua yang hanya dapat mengambil bagian terbatas dalam tugas berbakti, termasuk mewarisi harta benda, meneruskan garis keluarga, pemujaan leluhur, dan merawat orangtua.
Sejak teknologi pemilihan jenis kelamin diperkenalkan dan tersedia secara luas pada 1970-an dan 1980-an, preferensi gender tampak lebih terlihat melalui pembunuhan bayi perempuan saat lahir. Hal itu secara tajam meningkatkan rasio jenis kelamin saat lahir menjadi 116 anak laki-laki per 100 anak perempuan pada 1990, sedangkan rata-rata alami adalah 103 laki-laki dan 107 perempuan.
Namun, Korea telah membalikkan preferensi gender dan menjadi "negara Asia pertama yang membalikkan tren peningkatan rasio jenis kelamin saat lahir," menurut makalah penelitian kebijakan Bank Dunia pada 2007. Rasio jenis kelamin negara itu saat lahir pertama kali mencapai kisaran alami 103 hingga 107 anak laki-laki per 100 anak perempuan pada 2007, sedangkan angka terbaru pada 2020Â menjadi 104,8 anak laki-laki per 100 anak perempuan.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tren Adopsi
Peningkatan preferensi terhadap anak perempuan juga meningkat di sektor adopsi. Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan mengatakan bahwa 65,4 persen dari anak yang diadopsi di dalam negeri pada 2020 adalah perempuan.
"Korea bukan hanya yang pertama, tetapi juga satu-satunya negara di dunia yang mengalami penurunan cepat dalam preferensi anak laki-laki," kata Cho Young-tae, seorang profesor di Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Nasional Seoul yang berspesialisasi dalam demografi dan pembuatan profil populasi.
Cho menjelaskan bahwa tren itu sebagian disebabkan oleh pergeseran fungsi berbakti dari anak laki-laki ke anak perempuan. "Biasanya, masyarakat yang memiliki preferensi kuat dan meresap untuk anak laki-laki cenderung memiliki keyakinan kuat untuk melanjutkan garis keturunan keluarga. Tapi itu dengan cepat menghilang di Korea, dan generasi yang lebih tua telah berubah untuk menghargai hidup mereka sebelum kematian demi masa depan keluarga," Cho menjelaskan.
Ia juga mengatakan bahwa anak laki-laki tidak lagi memiliki hak istimewa yang sama atas fungsi mereka sebagai anggota keluarga seperti di masa lalu. Orangtua di Korea mulai menyadari manfaat memiliki anak perempuan dan mengandalkan mereka di tahun-tahun senja mereka.
Generasi tua telah belajar melalui pengalaman mereka bahwa anak perempuan cenderung membuat hubungan emosional yang lebih baik dengan orangtua dan dengan penuh semangat mendukung orangtua mereka di tahun-tahun berikutnya, kata Cho. Akibatnya, orangtua semakin bergantung pada anak perempuan yang dianggap calon yang lebih baik untuk merawat mereka ketika mereka lemah dan tua, terutama karena harapan hidup meningkat.
Kondisi Ekonomi Membaik
Meski status perempuan di Korea di bawah lelaki secara historis, status sosial-ekonomi perempuan saat ini agak meningkat saat ini. Itu, kata Cho, menjadi alasan lain di balik preferensi anak perempuan menggantikan anak laki-laki. Perempuan tidak lagi terlalu didominasi mertua dibandingkan di masa lalu. Begitu pula tekanan dari mertua kepada perempuan untuk melahirkan anak laki-laki berkurang.
"Yang terpenting, wanita yang selamat dari era preferensi anak laki-laki yang kuat di Korea dari 1980-an dan 1990-an kini telah tumbuh menjadi generasi yang melahirkan dan menjadi orang tua. Mereka tahu sendiri bahwa memiliki anak laki-laki bukanlah suatu keharusan," kata Cho.
Meskipun anak perempuan lebih disukai daripada anak laki-laki, tidak berarti perempuan sepenuhnya dianggap setara dengan lelaki, atau memiliki status sosial yang lebih tinggi. "Ini mencerminkan harapan sosial dan peran yang ditetapkan pada wanita untuk melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan emosional daripada pria dalam keluarga," kata Lee Joo-hee, seorang profesor sosiologi di Universitas Ewha Womans.
Menurut Lee, anak perempuan secara fisik terikat lebih banyak karena 20 sampai 30 persen lebih sedikit terlibat dalam kegiatan ekonomi dibandingkan laki-laki. Mereka pada akhirnya menerima tekanan sosial untuk melakukan tingkat kerja emosional yang lebih tinggi.
Advertisement