Liputan6.com, Jakarta - Sudah lama sejak bibit, bebet, dan bobot (3B) jadi "panduan" dalam memilih pasangan hidup. Kebiasaan ini tentu tidak bermaksud buruk, namun seiring perubahan zaman, apakah praktiknya masih relevan?
Terkait ini, Closeup, merek pasta gigi gel produksi PT Unilever Indonesia, Tbk., melakukan studi kuantitatif dan kualitatif, melibatkan lebih dari 160 responden dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang sedang menjalani hubungan inkonvensional, orangtua, dan individu yang masih lajang.
Advertisement
Baca Juga
Salah satu hasilnya, Head of Marketing Oral Care Category, PT Unilever Indonesia, Distya Tarworo Endri, mengungkap bahwa penilaian dari lingkungan masih menghambat kelanjutan hubungan inkonvensional. "Lima dari 10 orang yang menjalani hubungan tersebut jadi meragukan masa depan hubungan," katanya dalam jumpa pers di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 9 Agustus 2022.
Terkait filosofi 3B, ditemukan bahwa hampir seluruh kelompok responden setuju pedoman ini pada dasarnya masih baik untuk diterapkan. Namun, hanya dua dari 10 orang merasa definisi konvensional 3B masih relevan, Distya menyambung.
Pendapat serupa dituturkan psikolog klinis dan peneliti relasi interpersonal, Pingkan C. B. Rumondor. Ia berkata di kesempatan yang sama, "(3B) cocok diterapkan di zaman dahulu kala. Waktu seseorang ditentukan dari statusnya saat lahir."
"Sekarang sudah (zaman) modern. Orang gampang untuk tinggal di kota besar, di mana kesempatan berkembang sangat-sangat luas," Pingkan menyambung. "Kalau zamannya seperti ini, pemaknaan 3B harus ditinjau lagi."
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Berbeda, Bertumbuh, Bersama
Distya menjelaskan, studi tersebut menunjukkan lima dari 10 orang menginginkan makna lebih segar dari 3B. Bibit jadi memastikan asal-usul seseorang bukanlah untuk memvalidasi stereotipe mengenai suku maupun ras tertentu, melainkan meyakinkan bahwa ia memiliki lingkungan atau support system yang mendorongnya bertumbuh.
"Lalu bebet," Distya menyambung. "Latar belakang ekonomi keluarga bukan jaminan masa depan yang cerah, tapi yang penting bagaimana bisa memaksimalkan potensi diri." Terakhir, bobot. Latar belakang pendidikan dan keahlian dinilai tidak lagi cukup. Itu harus dipertajam dengan memastikan pasangan memiliki visi yang sama.
Mereka pun menawarkan 3B yang baru, yakni berbeda, bertumbuh, bersama. "Makna ini dalam sekali karena menunjukkan usaha berkepanjangan sebagai pasangan. Seiring waktu, pasangan bertumbuh, perbedaan akan tetap ada, tapi bagaimana mereka terus bersama dalam hubungan yang langgeng," ia mengatakan.
Di kampanye kali ini, mereka menyoroti tiga jenis hubungan inkonvensional. Mereka adalah pasangan dengan usia terlampau jauh, lain ras, serta berbeda status sosial dan ekonomi.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Meyakinkan Orangtua
Pasangan selebritas, Muhammad Fardhan dan Mikaila Patritz, setidaknya masuk dalam dua jenis hubungan tersebut: usia terpaut jauh dan beda ras. "Selama pacaran, hal ini menimbulkan pertanyaan dari keluarga dan orang-orang terdekat. Tapi, jalan terus saja," Mikaila bercerita.
"Apalagi, saya biasanya pacaran dengan perempuan lebih tua," Fardhan menyambung. "Beberapa teman awalnya kayak, 'Ah paling cuma beberapa bulan.' Tapi, akhirnya kami membuktikan bisa serius. Pacaran 1,5 tahun, langsung yakin menikah."
Kendati awalnya dipertanyakan orang-orang di sekitar mereka, Mikaila dan Fardhan mengaku bisa terus menjalani hubungan mereka karena merasa cocok secara pribadi. "Sudah satu visi. Kan yang penting orangnya," Mikaila berkata.
Pingkan pun mengungkap cara meyakinkan orang sekitar, terutama orangtua, terkait hubungan inkonvensional maupun hubungan asmara secara umum. "Pertama-tama, kita harus benar-benar menghargai orangtua dan menyesuaikan cara berkomunikasi dengan mereka. Ada, misalnya, yang benar-benar harus sopan atau lebih santai, itu disesuaikan," ia mengatakan.
Bersamaan dengan penghargaan terhadap orangtua, kata dia, setiap invdividu juga harus menghargai pendapat diri sendiri. "Dengarkan concern orangtua, dan itu yang harus di-addressed. Coba tunjukkan bahwa kekhawatiran itu tidak akan terjadi," katanya.
Tapi, pasangan harus sudah menyamakan visi dan pandangan terlebih dulu. "Tunjukkan melalui perilaku. Kalau sudah ada faktor-faktor ini, mengomunikasikan hubungan kita ke orangtua bisa dilakukan dengan lebih percaya diri," tuturnya.
Â
Web Series sampai Kemasan Produk Edisi Terbatas
Menyebarkan pesan positif serupa, Closeup pun merilis web series di Tiktok dan Instagram mereka. "Karena menurut kami, tidak ada yang lebih kuat dari cerita," Distya mengatakan.
Tayangan itu menyoroti tantangan yang dihadapi tiga pasangan muda dalam menjalani hubungan inkonvensional. "Alhamdulillah sudah ditonton lebih dari 50 ribu kali, dan banyak juga yang jadinya curhat di kolom komentar," ujarnya.
Kemasan Closeup #SpeakUpforLove edisi terbatas juga akan diluncurkan secara eksklusif di pertengahan bulan ini. Kemasan menampilkan ilustrasi dan pesan unik tentang pasangan muda yang menjalani hubungan inkonvensional. Selain itu, mereka juga akan segera meluncurkan situs web yang akan jadi hub sekaligus safe space bagi generasi muda untuk mencari dan berbagi inspirasi dalam menjalani hubungan.
Distya berkata, "Nanti akan ada ahli yang membantu mengatasi masalah hubungan seperti apa yang dihadapi." "Kami harap kampanye #SpeakUpforLove dapat membantu lebih banyak pasangan muda Indonesia mengeksplorasi dan memiliki hubungan yang sehat dan penuh cinta," ucapnya.
Â
Advertisement