Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran Taman Bacaan Masyarakat atau TBM di berbagai wilayah di Indonesia menjadi jembatan bagi masyarakat, terutama anak-anak, untuk membuka cakrawala lebih luas lewat membaca. Namun dalam pengelolaannya, ada beragam tantangan yang dihadapi para pegiat literasi.
Sebut saja kendala yang paling terasa adalah akses yang masih sulit dijangkau ke suatu daerah hingga sumber bacaan yang terlampau minim. Meski begitu, semangat pegiat literasi tak begitu saja memudar dan terus menggencarkan ketersediaan lebih banyak akses buku bacaan dan pentingnya literasi.
Salah seorang yang ambil bagian dalam misi mulia itu adalah pegiat literasi di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau bernama Muhammad Faisal. Dikatakan Faisal, saat ini setidaknya telah ada 25 Taman Bacaan Masyarakat di Natuna yang tersebar di enam kecamatan.
Advertisement
"Di Natuna tidak ada toko buku yang menyediakan bahan bacaan, ini menjadi tantangan kita sejauh ini. Kegiatan yang kita lakukan menghimpun buku-buku yang kita miliki, dengan di media sosial kita mengupayakan meng-expose kegiatan-kegiatan kita," kata Faisal saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 25 Agustus 2022.
Pria yang juga staf Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Natuna sekaligus Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat Nasional ini menjelaskan, saat awal melaksanakan kegiatan ini, kata literasi masih sangat awam di masyarakat. Namun, enam literasi dasar, yang terdiri atas Literasi Dini, Literasi Dasar, Literasi Perpustakaan, Literasi Media, Literasi Teknologi, dan Literasi Visual, dipandangnya telah cukup baik saat ini.
"Tantangan kita sejauh ini kegiatan kita dianggap "aneh" karena kita mengajak orang membaca. Tantangannya mengajak membaca tapi bahan bacaan itu kurang sekali, dengan media sosial kita bisa meng-expose kegiatan kita dan sambungkan ke pegiat literasi, penerbit, sehingga kegiatan literasi kita bisa dilihat," tambahnya.
Faisal mengungkapkan kegiatan menggencarkan semangat membaca ini tak seketika tampak dampaknya. Sekali lagi, ia memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan informasi terkait pentingnya literasi di masyarakat.
"TBM ini hadir tengah masyarakat tentunya membantu pemerintah dalam menggerakkan memberantas buta aksara maupun meningkatkan minat baca. Kehadiran kita hari ini TBM bukan hanya menyasar pada tulis baca saja, tetapi sudah menyasar kepada enam literasi dasar," katanya.
Distribusi Buku Bacaan
Selain tulis dan baca, Faisal menyebut bahwa Taman Bacaaan masyarakat juga menyasar perhatian pada lingkungan hidup, peduli satwa langka, memanfaatkan barang-barang bekas untuk mendapat nilai jual. Bahkan ada pula kegiatan untuk mengajak anak-anak untuk mendongeng.
Lantas, dari mana buku-buku didapatkan untuk didistribusikan ke Taman Bacaan Masyarakat di Natuna? Dikatakan Faisal, sebelum adanya media sosial, ia gencar membuka website kedutaan besar, termasuk Kedutaan Besar Amerika Serikat.
"Saya kirim email ke mereka, nanti mereka akan kirimkan buku. Tapi tidak jarang juga ada kementerian atau lembaga yang ada buku tapi tidak memiliki biaya kirim karena sangat mahal," lanjutnya.
Faisal menerangkan pada 2019, ia dihubungi Bakti Nusantara, LSM yang berkegiatan dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Ia mengusulkan untuk program pendidikan dikaitkan dengan adanya pengumpulan buku.
"Saya sampaikan mengumpulkan buku se-Indonesia, kemudian dikumpulkan di satu tempat dan diangkut dengan pesawat Hercules TNI AU, ternyata gayung bersambut. Mereka memiliki akses ke TNI AU sambil berkegiatan di sini, sekitar 1,2 ton buku terangkut ke Natuna, dari situ kita coba bagikan ke beberapa TBM," jelas Faisal.
Selain itu, ia juga menggunakan relasinya ketika akan menyebarkan buku ke pulau-pulau. "Menggunakan relasi kawan-kawan PNS yang sedang berkunjung ke Ranai, ibu kota Natuna, katakan pulau paling jauh itu Pulau Laut, saya komunikasi dengan mereka, apakah ada teman yang ada di sini, bila ada saya titip, begitu caranya selama ini," ungkapnya.
Media sosial juga berdampak positif pada distribusi buku ke Kabupaten Natuna. Faisal juga menyebut mendapat bantuan dari Badan Bahasa di Jakarta sebanyak 16 kardus dan dari Bakti Nusantara selanjutnya sekitar 37 kardus.
"Dari Jakarta diangkut menggunakan pesawat patroli Angkatan Laut dua kali," tutur Faisal.
Saat mempromosikan kegiatan di media sosial, Faisal menyampaikan bahwa bacaan yang mendominasi di masyarakat adalah buku cerita anak. Kendati demikian, ia tak bisa menolak ketika ada buku-buku lain yang dikirimkan pada pihaknya.
"Maka sebelum disampaikan ke TBM lainnya, kami selalu mengingatkan coba buku dikurasi mana yang layak dibaca, mana yang tidak. Dibutuhkan penyampaian terkait hal itu, kita tidak bisa menyortir ketika mereka kirim," tutup Faisal.
Advertisement
Cerita dari Nabire, Papua
Sosok lain yang turut menggaungkan semangat membaca adalah pegiat literasi di Nabire, Papua bernama Fauzan Al Ayyuby. Pria yang akrab disapa Ochank ini juga sebagai pengelola Komunitas Nabire Membaca (KONAME) dan pendiri gerakan kolektif lintas multimedia, Kolektif Stereo.
Misi untuk menghadirkan deretan buku bagi anak-anak dan anak muda Nabire, dikatakan Ochank bermula dari kegiatan menulis yang dilakukan dirinya dan teman-teman di komunitas. Mereka menyadari kekurangan referensi dan mencoba mencari toko buku.
"Kemudian kita coba cari toko buku yang ada di Nabire, itu juga kondisinya sangat jarang, cuma 1--2 toko, itu pun toko yang menjual buku-buku bacaan sekolah. Dari kondisi itu, teman-teman bersepakat untuk membuat satu taman baca," kata Ochank saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 26 Agustus 2022.
Ochank menjelaskan Kolektif Stereo adalah lembaga kajian yang belakangan membuat majalah yang menghimpun tulisan-tulisan soal Papua khususnya, bernama Megezine. Majalah ini hanya terbit online saja.
"Kalau KONAME ini dari guru-guru yang ada program pendidikan tertinggal, ada beberapa orang yang bikin taman baca itu di Nabire. Karena mereka kan harus pulang, pas pulang itu mereka sepakat untuk membikin Komunitas Nabire Membaca ini, saat pulang dilanjutkan dengan kita," tambahnya.
Dalam mengelola Taman Bacaan Masyarakat ini tentu bukan tanpa suka duka yang dihadapi. Ochank menjelaskan mengingat ini adalah hal baru di Nabire, ia dan kawan-kawan coba mendisiplinkan diri, terutama menjaga taman baca.
"Kita juga akhirnya belajar konsisten datang terus, walaupun yang datang biasanya 1--2 orang saja. Awalnya kita berpikir bahwa ini akan menarik dan dilihat banyak orang," terangnya.
Minat Baca
Namun Ochank tak memungkiri, kala itu ia takut harapan-harapan ia dan kawan-kawan terlampau tinggi hingga mereka menurunkan pelan-pelan ekspektasi tersebut. "Sebenarnya kita yang belajar disiplin waktu, konsisten dari minggu ke minggu, kita juga yang akhirnya membaca sendiri kita tawarkan ke orang, dukanya itu," kata Ochank.
Ia menyebut sejak adanya taman bacaan ini, teman-temannya yang tak suka membaca dan tak tahu mengakses hiburan dari mana mengingat di Nabire internet baru-baru saja bagus, akhirnya beralih membaca. Mereka juga memiliki strategi khusus untuk menyasar anak muda untuk membaca.
"Apalagi kita sekarang kita sebar buku ke kedai-kedai kopi untuk menyasar anak muda, justru yang banyak orang baca di kedai kopi itu bukan yang di lapakan," ungkapnya.
Selain itu, anak-anak muda yang di kedai kopi biasanya mulai mengikuti satu buku yang ada kutipan orang lain terkait buku yang harus diikuti lagi dan mencari buku itu. Mereka pun bertanya ketersediaan buku referensi tersebut ke taman bacaan.
"Secara minat mungkin meningkat, kita kalau ke anak muda, kita menyadari mereka lahir di kebudayaan digital, jadi kita coba buatkan akses digital lewat majalah itu, selebihnya misalnya ada film terbaru kita coba masuk dengan 'eh ada bukunya', ada film-film adaptasi, masuknya dari situ," terang Ochank.
Advertisement
Harapan ke Depan
Sementara, buku-buku di taman bacaan didapatkan dari kiriman yang didominasi dari Pulau Jawa termasuk dari Jaringan Pustaka Bergerak. Ketika buku sampai, pihaknya memfilter beberapa bacaan yang sesuai.
"Kita coba masuk lewat cara hidupnya mereka, anak muda lewat percintaan, isu-isu kesehatan mental belakangan banyak kita coba sesuaikan dengan persoalan yang ada, kita membaca realitas anak muda di Nabire, itu yang coba kita hadirkan dengan lapakan buku. Buku anak justru yang banyak, kita tidak lapak, kita bagikan karena untuk mengajak anak-anak kecil mengakses tempat bacaan kan cukup susah juga," jelas Ochank.
Ia mengungkapkan saat ini setidaknya ada sekitar 300-an buku yang tersebar di Komunitas Nabire Membaca termasuk yang di kedai kopi. Sedangkan di perpustakaan Kolektif Stereo itu buku kajian-kajian sekitar 400-an buku.
"Ekspektasi kehadiran taman baca kita coba berupaya menyediakan lebih banyak lagi soal literatur karena Nabire baru-baru jadi ibu kota provinsi, kita coba memperlihatkan banyak hal ke orang lain supaya ketika hal itu terjadi, mereka tidak lagi kaget dengan itu, jadi bacaan itu jadi semacam cara lain untuk melihat masa depan kita sendiri," tutup Ochank.