Liputan6.com, Jakarta - Wisatawan dari 64 negara bebas visa, termasuk Indonesia, China dan Mongolia, yang tiba di Pulau Jeju akan dibebaskan dari sistem otorisasi perjalanan elektronik (K-ETA) mulai 1 September 2022. Hal itu disampaikan Pemerintah Provinsi Khusus Jeju, dikutip dari The Korean Times, Selasa, 30 Agustus 2022.
K-ETA mewajibkan orang asing yang tiba di Korea Selatan untuk mendaftarkan informasi perjalanan dan kesehatan mereka, riwayat kunjungan dan catatan kriminal terlebih dahulu untuk otorisasi. Sebelumnya, Kementerian Kehakiman pada akhir pekan lalu mengatakan orang asing yang datang dari 112 negara bebas visa (B-1) atau bebas visa untuk kunjungan singkat (B-2-1) diminta mendaftarkan informasi perjalanan dan mendapatkan pra-otorisasi melalui K-ETAÂ sebelum tiba di Bandara Internasional Jeju.
Advertisement
Baca Juga
Kementerian akhirnya memutuskan untuk membuat pengecualian. Wisatawan dari 64 negara, termasuk China, Mongolia, Vietnam, Indonesia, dan Filipina, yang bisa tinggal di Pulau Jeju hingga 30 hari sebelum aturan berubah, nantinya dapat memasuki pulau tanpa mengisi K-ETA.Â
Hal ini dilakukan atas kekhawatiran pemerintah provinsi dan industri pariwisata pulau itu bahwa langkah pemerintah untuk mencegah masuknya imigran ilegal itu justru membuat wisatawan enggan mengunjungi Jeju. Meski begitu, turis yang berasal dari 64 negara bebas visa yang memiliki catatan imigrasi ilegal atau overstay tanpa dokumen kemungkinan tetap diminta mengisi K-ETA.
Pemprov Jeju membentuk dewan bersama dengan kementerian kehakiman, Asosiasi Pariwisata Jeju, Organisasi Pariwisata Jeju, dan Masyarakat Pariwisata Jeju. Mereka menggelar pertemuan pertama pada Jumat, 26 Agustus 2022, untuk membahas kerja sama untuk meningkatkan pariwisata dan mencegah imigrasi ilegal. Dewan bersama berencana untuk memantau peraturan visa pulau dan implementasi K-ETA, serta bekerja untuk mengembangkan industri pariwisatanya.
Apa Itu K-ETA?
Mengutip laman Liputan6.com, 27 Agustus 2022, K-ETA merupakan otorisasi perjalanan elektronik online yang harus diperoleh pengunjung asing dari negara bebas visa sebelum memasuki negara tersebut untuk berwisata, mengunjungi sanak saudara, atau untuk kepentingan bisnis. Wisatawan wajib mengirimkan informasi pribadi dan informasi lainnya melalui situs web atau aplikasi seluler.
Korea Selatan pertama kali memperkenalkan K-ETA pada September 2021 untuk 112 negara yang memiliki perjanjian bebas visa atau pengaturan serupa lainnya untuk mengizinkan masuk tanpa visa. Tetapi Jeju dikeluarkan dari daftar mengingat status hukumnya yang unik sebagai daerah otonom.
Kementerian Kehakiman sebelumnya mengatakan pihaknya juga mendorong untuk mengadopsi K-ETA untuk Jeju, mulai bulan depan. Langkah ini dimaksudkan untuk memperketat penyaringan kemungkinan adanya orang asing masuk secara ilegal dan mengambil keuntungan dari program bebas visa.
Kasus tersebut terjadi yang melibatkan 1.504 warga negara Thailand. Mereka tiba di Bandara Internasional Jeju dari Bangkok melalui penerbangan langsung Jeju Airlines antara 2--22 Agustus 2022, namun 855 ditolak masuk dan dipaksa pulang.
Advertisement
Tempat Pengasingan Era Joseon
Mengutip dari wikivoyage, Pulau Jeju menjadi tempat peninggalan prasejarah yang dulunya bernama Tamna sejak 38 SM. Pulau ini adalah rute perdagangan laut Baekje, Silla, dan Goguryeo dari Tiga Kerajaan Korea di ujung utara. Di abad ke-12 masa Sukjong dari kerajaan Goryeo (1105) ketika Tamna sepenuhnya kehilangan status independennya dan ada di bawah kendali namanya diubah menjadi Jeju.
Selama invasi Yuan Mongolia, Jeju berfungsi sebagai pos terdepan terakhir untuk protes anti-Yuan. Namun, Yuan menggagalkan perlawanan, mengendalikan pulau pegunungan dengan maksud untuk membiakkan kuda untuk invasi yang direncanakan ke kepulauan Jepang. Saat ini, kawasan hutan besar Gunung Hallasan (300m-800m) berubah menjadi sabana.
Selama pemerintahan Dinasti Joseon (1392-1910), Jeju sebagian besar digunakan sebagai tempat pengasingan. Melihat lokasinya yang strategis, penjajah Jepang memanfaatkan pulau Jeju sebagai pangkalan militer, merekrut orang Jeju sebagai pekerja paksa, dan membangun terowongan bawah tanah sebagai tempat perlindungan bila AS menyerang. Beberapa terowongan masih bisa dikunjungi di pulau itu.
Pulau Jeju menyimpan sejarah kelam selama Pemberontakan Jeju antara 1948--1949. Terjadi pembantaian massal saat pemberontak komunis bangkit melawan pemerintah yang didukung AS dan pemisahan Korea sebagai dua negara yang terpisah. Sekitar 14 ribu hingga 30 ribu warga atau sekitar 10 persen populasi terbunuh saat pasukan pemerintah membantai seluruh desa dan pemberontak memaksa penduduk desa pindah ke gua gunung untuk bersembunyi dari polisi.Â
Haenyeo
Di Pulau Jeju, ada komunitas perempuan, dengan beberapa di antaranya sudah berusia 80-an. Mereka dinamakan Haenyeo, menyelam 10m di bawah laut untuk mengumpulkan kerang, seperti abalon atau bulu babi untuk mencari nafkah tanpa bantuan masker oksigen.
Dengan pengetahuan tentang laut dan kehidupan laut, haenyeo (penyelam wanita) Jeju memanen hingga tujuh jam sehari, 90 hari dalam setahun menahan napas hanya selama satu menit untuk setiap penyelaman dan membuat suara verbal yang unik saat muncul kembali. Penyelam dikategorikan menjadi tiga kelompok menurut tingkat pengalaman: hagun, junggun dan sanggun dengan sanggun menawarkan bimbingan kepada yang lain.
Sebelum menyelam, doa diucapkan kepada Jamsugut, dewi laut, untuk meminta keselamatan dan tangkapan yang melimpah. Pengetahuan diturunkan ke generasi muda di keluarga, sekolah, koperasi perikanan lokal yang memiliki hak penangkapan ikan di daerah tersebut, asosiasi haenyeo, Sekolah Haenyeo dan Museum Haenyeo.
Haenyeo ditunjuk oleh pemerintah provinsi sebagai representasi karakter pulau dan semangat masyarakat. Budaya Haenyeo Jeju juga telah berkontribusi pada peningkatan status perempuan di masyarakat dan mempromosikan kelestarian lingkungan dengan metode ramah lingkungan dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan praktik penangkapan ikan.
Advertisement