Liputan6.com, Jakarta - Keindahan panorama alam Nusantara turut tersuguh di desa wisata yang tersebar di berbagai wilayah Tanah Air. Masyarakat yang ada sekitar wilayah tersebut tentu tak jarang ambil bagian dalam membangun, mengelola, hingga memetik hasil manis dari tumbuhnya pariwisata desa mereka.
Pengamat pariwisata sekaligus akademisi Robert Alexander Moningka menyampaikan desa wisata bukan sekadar klaim "desa wisata" semata baru menciptakan kegiatan-kegiatan untuk dinikmati wisatawan. Desa wisata yang sesungguhnya adalah desa biasa dengan aktivitas masyarakat dapat menjadi aktivitas wisata.
"Kalau yang namanya desa wisata adalah desa biasa di mana ada aktivitas yang bisa diidentifikasi yang pariwisata itu hakikatnya harus daily life," kata Bob, begitu ia akrab disapa, kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Maka itu, dikatakan Bob, masyarakat yang ada di desa wisata harus menerapkan langkah-langkah dalam pengelolaan desa mereka. Sebut saja, apa yang mereka lakukan adalah kegiatan sehari-hari, terlepas nantinya ada pengembangan ekonomi.
"Jangan melakukan yang bukan kehidupan sehari-harinya karena itu costly, ada karena butuh modal. Ini harus dibedakan mereka yang klaim desa wisata," lanjut Bob.
Di sisi lain, Bob menjelaskan bahwa desa wisata berjalan beriringan dengan menerapkan hospitality. Wisatawan sudah semestinya disambut kedatangannya sampai diajak berbincang-bincang.
"Basic-nya hospitality, sebelum mendapat hospitality dan pariwisata, desa tersebut sudah ada kegiatan, tanpa turis mereka tetap hidup. Tapi dengan sentuhan pariwisata dan hospitality, kualitas meningkat dan mendongkrak kehidupan ekonomi," terangnya soal pentingnya hospitality di desa wisata.
Peran Serta Masyarakat
Bob kembali menegaskan kegiatan sehari-hari masyarakat di desa wisata sebagai bagian dari memberi pengalaman berbeda bagi wisatawan. "Motivasi orang melakukan perjalanan seperti apa, oleh karenanya pendekatannya harus hospitality tourism, bukan ekonomi semata," terangnya.
Pria yang juga sebagai Ketua Umum Indonesian Tour Leaders Association (ITLA) ini juga sempat pendampingan ke Desa Wisata Mulyaharja di Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat bersama Politeknik Sahid. Di sana, ia tinggal di homestay yang merupakan milik masyarakat sekitar.
"Membimbing pemiliki homestay bukan hanya mengatur tempat tidur standar seperti di hotel berbintang, tetapi menata tata graha," jelasnya.
Ia juga menanyakan terkait keseharian warga, seperti saat memasak. "Waktu masak, kami tanya masak pakai apa dan nasi dimasak pakai dandang, di dapur ada yang pakai kayu. Kami minta mereka perhatikan kebersihannya," tambah Bob.
Manager Operasional Agro Eduwisata Organik Mulyaharja Kipin Ramadhan turut menjelaskan besarnya keterlibatan masyarakat desa dalam mengelola, membangun, dan menjaga Desa Wisata Mulyaharja. Biaya masuk destinasi ini sebesar Rp10 ribu juga dialokasikan bagi mereka.
"Kita buka menjual tiket Rp10 ribu dengan pengelolaannya di dalamnya yang fokus ke pemberdayaan masyarakat. Dari harga tiket Rp10 ribu para pengunjung sudah berpartisipasi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat," kata Kipin kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Untuk Masyarakat
Kipin merinci detail alokasi dari tarif masuk yang dibayar oleh wisatawan yang datang. Sebanyak 10 persen tiket masuk untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor, 10 persennya untuk para petani agar hidup lebih sejahtera, dan 10 persennya untuk CSR masyarakat sekitar lingkungan di Mulyaharja.
"Sisanya untuk biaya operasional dan perbaikan, para UMKM, pegawai, juru parkir hingga petugas keamanan semuanya merupakan warga Ciharashas, khusus untuk pemberdayaan masyarakat semuanya," terang Kipin.
Soal aktivitas yang ditawarkan untuk wisatawan, Kipin menyebut semuanya berdasarkan potensi yang dimiliki Mulyaharja dan kegiatan sehari-hari warga. Mengingat desa memiliki sawah seluas hampir 30,4 hektare, edukasi pertanian diangkat menjadi poin utama keunikan desa ini.
"Edukasi pertanian, pengunjung diajarkan menanam padi, membajak sawah, cara menyemai, cara menanam padi dengan teknik jajar legowo," katanya.
Di desa wisata ini dikatakan Kipin, ada beberapa metode pembajakan sawah. Pertama, bisa membajak secara tradisional menggunakan kerbau. Kedua, membajak sawah menggunakan traktor yang sudah kekinian.
Edukasi Pertanian
"(Membajak dengan traktor) karena lahannya cukup luas dan sudah jadi tempat wisata, percepatan tanam itu jadi hal yang paling penting," tutur Kipin.
Sebelum membajak sawah, pihaknya juga menyeleksi benih terbaik. "Bibit-bibit itu kita semai, penyemaian sekitar 2--3 minggu hingga ditanam padi. Saat menyemai itu kita harus menyiapkan lahannya dengan membajak sawah, pembajak dua kali, kasar dan halus," tambahnya.
Setelah pembajakan halus, dilanjutkan dengan teknik letak jajar legowo. "Teknik itu digunakan agar padi yang ditanam itu lurus sejajar," lanjut Kipin
Selain edukasi pertanian, masih ada beragam aktivitas lain yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Kipin menyebut mereka bisa menikmati hamparan sawah seluas hampir 30,4 hektare sembari berfoto dan menikmati kuliner "ngaliwet" di tengah sawah.
"Bisa melukis caping, trekking mengelilingi kawasan wisata dengan jalur 2,3 km, 3 km, 4,3 km, tergantung kesanggupan pengunjung, edukasi menangkap ikan, grounding, anak-anak bisa main lumpur. Namanya desa wisata, kita memang menghadirkan tradisi-tradisi yang masih ada di kampung wisata kita," terangnya.
Advertisement