Liputan6.com, Jakarta - Perupa Indonesia, Syaura Qotrunadha, berhasil jadi salah seorang finalis VH Award ke-4. Ini adalah penghargaan yang diprakarsai Hyundai Motor Group dalam mengapresiasi perupa media di Asia dari ragam latar belakang yang mengeksplorasi karya dengan media baru.
Bergabung bersama Syaura, finalis VH Award ke-4 lainnya adalah Doreen Chan, Paribartana Mohanty, Jungwon Seo, dan pemenang utama, Lawrence Lek. Kelima karya para perupa dipresentasikan di Museum MACAN mulai 10 September hingga 13 November 2022.
"Perhelatan ini telah diselenggarakan sejak 2016, tapi karya-karya pemenang dan finalis perdana berekspansi ke luar Korea Selatan. Finalis (yang terpilih) mendapat dana 25 ribu dolar AS untuk membuat karya audio visual," kata Direktur Museum MACAN Aaron Seeto di Museum MACAN, kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada Kamis, 8 September 2022.
Advertisement
Baca Juga
Sementara, Syaura menyuguhkan karya bertajuk Fluidity of Future Machines (Ketidakstabilan Mesin Masa Depan) (2021). Karya perempuan kelahiran 1992 ini terangkum dalam video kanal tunggal berdurasi 12 menit dan tiga detik.
Ia mengeksplorasi hubungan antara air dan migrasi makhluk hidup yang dapat disaksikan melalui mikroskop. Bukan hanya itu, Syaura juga menyertakan beragam eleman dan sentuhan dalam karyanya, termasuk penggalan sejarah.
Perupa yang akan melanjutkan studi Studi Master Fine Art di Goldsmiths, University of London ini menyampaikan bahwa karya Fluidity of Future Machines adalah bagian akhir dari trilogi yang ia buat sebelum pandemi. Kemudian, ia mengembangkan ide ke arah sejarah antropologi rasial yang terjadi di masa penjajahan Belanda.
Cerita Syaura
Syaura berkata, "Sebenarnya saya sudah menemukan satu material untuk video itu dari lama. Itu ada foto orang diukur warna mata, warna rambut, warna kulit, ada capnya, tapi saya waktu itu belum tahu kegiatan itu apa."
Baru pada 2020, ia akhirnya menemukan ternyata video itu adalah kegiatan antropologi rasial dan mencari tahu lebih dalam. Kemudian, bahasan itu dihubungkan dengan satu profesor Belanda bernama Fenneke Sysling.
"Dia menulis tentang kegiatan itu di Indonesia dari timur sampai barat. Akhirnya saya kontak Fenneke dan baca bukunya dari perspektif Belanda. Dari situ, video tentang sejarah jadi. Habis itu saya membaca ulang, sudah ada dua video sebenarnya apa yang akan terjadi di masa depan setelah mengetahui apa yang sekarang ada dan apa yang terjadi di masa lalu, gimana pendidikan itu dibentuk di masa lalu," ungkapnya.
Syaura menyebut, riset dilakukan secara mengalir dengan membuat tulisan dan draft selama enam bulan. "Sambil coba tes mikroskop. Ingin cobain apa yang bisa dikerjain dari video terakhir ini," tambahnya.
Advertisement
Makna
Elemen air dan tanah sudah ada sejak karya video pertamanya. "Karena kalau dipikir juga membaca visi misi Hyundai Art sekarang mereka banyak bersinggungan dengan timeline tiga waktu itu: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Jadi, mungkin ada itu juga yang bikin saya akhirnya bisa masuk ke situ karena punya visi misi yang sama," terangnya.
Dalam video karyanya, Syaura menggabungkan deretan huruf. "Kalau font itu saya memang sejak lama sudah riset tentang kata serapan. Selama ini sudah banyak, cuma kita suka lupa. Misalnya waktu masih sekolah belajar bahasa Indonesia koreksi beberapa kata yang tulisannya enggak sesuai EYD, sebenarnya kata yang enggak sesuai EYD itu adalah kata asing yang diadaptasi ke bahasa Indonesia," lanjut Syaura.
Salah satu terjemahan dari sejarah di video karyanya adalah subtitle dan font di tiga video. Ia menyebut, "Itu adalah bentuk dari bahasa Indonesia yang karakternya mengikuti karakter asli sebelum jadi EYD. Itu lebih ngomongin migrasi dan gimana kita sebenarnya enggak ada ras murni."
Ketertarikan
Karya Fluidity of Future Machines sendiri dibuatnya selama enam bulan. Di triloginya, Syaura juga selalu memasukkan huruf bahasa Indonesia serapan, tapi dalam bentuk aslinya. "Sebenarnya itu sih yang bisa (buat) membaca lebih fokus," kata Syaura.
Syaura juga menjelaskan ketertarikannya mengusung elemen antropologi rasial. "Saya merasa sampai sekarang, kita bahkan sesama orang Indonesia masih terlalu mengkotak-kotakan di masyarakat," terangnya.
Ia menambahkan, "Saya bukannya enggak setuju, mungkin itu bagian dari survival orang. Tapi menurut saya, kenapa itu ada dan kenapa pola pikir kita bisa jadi kayak gitu sampai sekarang."
"Kalau dari karya ini, saya ingin orang-orang lebih berusaha melihat sesuatu dari sisi tengah. Jadi enggak terlalu terpengaruh ke satu sisi, tapi melihat dulu ada apa saja, baru memutuskan sesuatu, lebih objektif. Subjektif juga enggak apa-apa, tapi maksudnya enggak cuma melihat dari satu kacamata saja," tutup Syaura.
Advertisement