Sukses

Gucci Kalah dalam Gugatan Merek Dagang ke Produsen Kaus Jepang

Gucci bukan satu-satunya merek mewah yang menuntut produsen kaus Jepang ini.

Liputan6.com, Jakarta - Gucci kalah dalam gugatan merek dagang terhadap produsen kaus Jepang, Parodys, yang memiliki rekam jejak meniru logo merek fesyen mewah. Kendati demikian, pengacara spesialis paten yang memenangkan kasus atas nama perusahaan pakaian yang berbasis di Osaka tersebut mengakui bahwa ia merasa undang-undang Jepang saat ini perlu dievaluasi.

Melansir SCMP, Sabtu, 17 September 2022, pada Juli 2021, Gucci mengajukan gugatan terhadap Parodys, yang dimiliki Nobuaki Kurokawa, setelah mencatat bahwa ia punya merek dagang bernama "CUGGL" pada Oktober 2020. Kurosawa menerapkan nama itu pada pakaian, ikat pinggang, alas kaki, dan pakaian atletik.

CUGGL muncul dalam font yang sama seperti yang digunakan dalam logo rumah mode tersebut, bahkan dengan jarak yang sama. Namun, perusahaan Kurosawa menggunakannya dengan garis tebal berwarna yang menutupi bagian bawah setiap huruf.

Komplain yang diajukan Gucci adalah garis tersebut mengaburkan bagian-bagian dari huruf yang akan mengungkap mereka untuk terbaca sebagai "CUGGL." Mengingat Gucci adalah merek terkenal secara internasional, siapa pun yang hanya melihat bagian atas huruf-huruf itu akan menganggap mereka mengarang kata Gucci.

Namun pada Juli lalu, Kantor Paten Jepang memutuskan bahwa merek dagang CUGGL "tidak mungkin disamakan dengan GUCCI," atau mungkin memiliki "hubungan ekonomi atau organisasi dengan pemohon." Masaki Mikami, pendiri Marks IP Law Firm, sebelumnya mengatakan bahwa ia yakin memenangkan kasus ini atas nama Kurokawa.

2 dari 4 halaman

Keputusan Aneh?

Mikami berkata, "Tidak mungkin konsumen Jepang akan menghubungkan istilah 'CUGGL' dengan 'GUCCI.' Saya tidak berpikir logo 'GUCCI' telah digunakan dengan garis yang dicat. Jika demikian, tidak ada kemungkinan kebingungan yang masuk akal."

"Selain itu, Kurokawa tidak mempromosikan kaus berlogo 'CUGGL' dengan memanfaatkan GUCCI, karena ia mengiklankannya sebagai parodi," ucapnya. Selain itu, kata Mikami, kata-kata tersebut tidak memiliki bunyi yang sama saat diucapkan.

Berdasarkan undang-undang merek dagang Jepang, Mikami menjelaskan, sebuah gambar hanya dapat dilarang jika menimbulkan kebingungan dengan merek terkenal. Jadi, jika konsumen tidak percaya bahwa suatu produk adalah produk asli dari merek terkenal, itu tidak dapat dilarang penjualannya.

Dapat dikatakan bahwa itu adalah "keputusan aneh," mengingat merek Jepang sering mengungkap kekhawatiran produk mereka ditiru di luar negeri. Pada 8 September 2022, surat kabar Yomiuri melaporkan bahwa pemerintah prefektur Ishikawa mendesak pemerintah Jepang untuk mengambil tindakan setelah anggur Ruby Roman ditemukan dijual di Korea Selatan.

 

3 dari 4 halaman

Kekhawatiran Perusahaan Jepang

Petani di prefektur Ishikawa membutuhkan waktu 14 tahun untuk menyempurnakan jenis anggur ini, yang dikenal karena berwarna merah tua dan rasanya manis, dengan kandungan gula setidaknya 18 persen. Seikat anggur Ruby Roman terjual dengan rekor 1,5 juta yen (Rp156,2 juta) dalam lelang pertama pada Juli 2022.

Para petani mengklaim, berdasarkan tes genetik pada anggur yang dibeli di Korea, itu dinyatakan identik dengan varietas Jepang. Sayangnya untuk petani di Negeri Sakura, perusahaan Korea Selatan adalah yang pertama mendaftarkan nama dan varietas anggur, sehingga tidak mungkin bagi pihak berwenang Jepang menuntut agar penjualan dihentikan.

Di kasus lainnya, nelayan dari Pulau Kyushu Jepang telah lama mengeluh bahwa mata pencaharian mereka dirusak kerang murah yang diimpor dari Korea dan Cina. Produk itu dikemas ulang sebagai "dari Kumamoto," sebuah kota di pulau itu.

Beberapa di industri daging sapi Jepang juga dikatakan khawatir atas DNA sapi "wagyu" yang jatuh ke tangan peternak asing yang dapat mencoba menjualnya dengan embel-embel "berasal dari Jepang."

 

4 dari 4 halaman

Kasus Lainnya

Di kasus "CUGGL," sebuah survei dari setengah lusin teman dan kolega menghasilkan setiap satu dari mereka bisa mengidentifikasi logo "CUGGL," bukan Gucci.

"Menurut pendapat pribadi saya, undang-undang harus melarang merek tersebut ketika konsumen mengaitkannya dengan merek terkenal," kata Mikami, bahkan jika konsumen sangat sadar bahwa mereka tidak membeli barang bermerek, tapi tiruan.

Kendati, Mikami menambahkan, Parodys belum sepenuhnya berhasil di pengadilan. Sementara memenangkan kasus yang diajukan Champion, merek pakaian atletik yang berbasis di AS, atas barang-barang yang menampilkan logo khas Champion "C" yang telah dibalik dan dilapiskan dengan wajah kucing, ia kalah dalam kasus serupa yang dipicu Lacoste.

Merek pakaian olahraga dan rekreasi Prancis itu keberatan ketika Parodys mulai menjual pakaian bergambar buaya terbalik di atas kata Ocosite, dalam font yang sama seperti yang digunakan Lacoste.

Mikami yakin bahwa meski perusahaan tidak memiliki hak mengajukan banding atas keputusan Kantor Paten Jepang, ia dapat mengajukan tindakan pembatalan. Ia mengharapkan Gucci untuk membuat langkah itu dalam beberapa bulan mendatang.