Liputan6.com, Jakarta - "Pada 2018, kami menghilangkan fungsi tempat sampah di rumah," begitu praktisi hidup nol sampah, Andhini Miranda, mengawali cerita Rumah Tanpa Tempat Sampah di akun Instagram-nya, @021suarasampah, bulan lalu. Satu kalimat yang menggelitik sekaligus menimbulkan pertanyaan, "Bagaimana bisa?"
Melalui email pada Liputan6.com, Sabtu, 17 September 2022, Andhini bercerita, "Saya bersama suami dan anak belajar mengurangi sampah di keseharian kami sejak 2012. Dalam perjalanan belajar mengurangi sampah sehari-hari, kami mendapati bahwa membuang sampah pada tempatnya tidak efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan sampah."
Advertisement
Baca Juga
"Karenanya pada 2018, kami memutuskan mengalihfungsikan tempat sampah kami di rumah jadi pot tanaman dan berhenti membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)," ia menyambung.
Ini adalah tahun ke-4 mereka hidup tanpa tempat sampah di rumah, dan karena dilandasi kesadaran akan pentingnya untuk tidak menghasilkan sampah, keluarga itu menjalaninya dengan senang hati. Namun, proses itu dijalani bukan tanpa tantangan.
Andhini berkata, "Saat kami memutuskan mengalihfungsikan tempat sampah di rumah pada 2018, prinsip kami adalah mencegah sampah sejak awal. Namun pada 2012, saat kami belajar secara bertahap untuk mengurangi sampah sehari-hari, tantangan yang dihadapi lebih banyak."
"Kini, tantangannya adalah sebatas ditemukannya sampah yang nyasar ke tempat sampah kami yang sudah beralih jadi pot pepaya," tuturnya. "Petugas sampah sempat menanyakan tempat sampah kami yang selalu kosong, namun itu hanya di awal-awal saja."
Cegah Sampah Sejak Awal
Soal apa yang membuatnya yakin menerapkan prinsip rumah tanpa tempat sampah, Andhini menjawab, "Sistem tata kelola sampah di negara kita baru sebatas kumpul-angkut-buang. Sampah-sampah dari perumahan, sekolah, kampus, kantor, mal, restoran, pasar, bandara, hotel, dan berbagai tempat lain hanya dipindahkan saja oleh petugas kebersihan ke TPA."
"Di sana, sampah-sampah tersebut hanya menumpuk tidak terkelola," katanya. "Sampah-sampah yang tidak terkelola ini mengakibatkan banyak masalah lingkungan. Misalnya, sampah organik yang tidak diolah akan menghasilkan gas rumah kaca yang disebut gas metana. Gas ini memanaskan Bumi 21 kali lipat dari karbon dioksida."
Berdasarkan pengalamannya dan keluarga menjalani hidup nol sampah, mencegah sampah sejak awal dengan menolak produk dalam kemasan sekali pakai dan menolak produk yang sifatnya sekali pakai memang sangat efektif dalam menekan jumlah sampah rumah tangga mereka.
"Karena setiap produk, apapun materialnya, memiliki dampak ekologis. Tidak hanya setelah produk atau kemasasan tersebut selesai dipakai, namun sejak awal pembuatannya," tutur perempuan yang juga seorang ibu rumah tangga itu.
Advertisement
Produk Ramah Lingkungan Elite dan Mahal?
Soal produk ramah lingkungan kerap kali dianggap "elite dan mahal," Andhini menyebut itu tergantung sudut pandang seseorang. "Contohnya, sabut cuci piring yang kami pakai di rumah adalah buah blustru yang dikeringkan. Tanamannya bisa ditanam di rumah, bagian daunnya bisa diolah jadi masakan, buahnya dijadikan sabut cuci piring, hemat," katanya.
"Kemudian, cairan pembersih rumah tangga di rumah kami diracik dari sisa dapur yang diolah jadi cairan eco enzyme," ia menguturkan. "Tidak ada batas kedaluwarsa dan gratis."
"Tisu ramah lingkungan di rumah kami menggunakan lap kain anak kami saat bayi. Selain itu, kami juga bikin sendiri dengan memanfaatkan pakaian yang sudah tidak dipakai yang disulap jadi sapu tangan, dan banyak lagi contohnya," Andhini memaparkan.
Tapi, jika nol sampah masih dianggap berat, langkah awalnya bisa dimulai dari pilah sampah dari rumah. Itu, menurut Andhini, penting untuk dilakukan guna mencegah sampah rumah tangga berakhir di TPA.
"Saat kita melakukan pilah sampah di rumah, baik sampah organik dan non-organik bisa terkelola dengan baik, dan bisa bantu meredam pemanasan global," ia menyebut.
Perlunya Regulasi
Lebih lanjut Andhini berkata, "Dari yang saya amati, membangun kesadaran masyarakat akan perilaku sadar sampah saja tidak cukup. Banyak yang sudah sadar tentang kerusakan lingkungan, namun enggan melakukan aksi nyata."
"Banyak yang sudah tahu bahwa sedotan plastik bisa mengancam keselamatan satwa, tapi karena mereka tidak merasakan dampaknya secara langsung, akhirnya kesadaran tidak dilanjutkan dengan langkah nyata," katanya.
Ia menyambung, "Lain halnya jika ada regulasi yang tegas dan jelas dari pemerintah terkait tata kelola sampah, baik bagi konsumen maupun pelaku industri. Karenanya, peran regulasi dari pemerintah sangat mendesak."
Akhirnya, Andhini mengatakan, penting untuk disadari bahwa membuang sampah ke TPA hanya akan memicu efek berantai masalah lingkungan. "Karenanya, prinsip 'Rumah Tanpa Tempat Sampah' penting untuk diterapkan di manapun," katanya.
Kuncinya adalah dengan mengetahui bahwa semua produk, apapun materialnya, memiliki dampak ekologis sejak awal proses pembuatannya. "Dengan berbekal mindset ini, saat hendak membeli sesuatu, kita akan lebih kritis memilih produk yang memang benar-benar kita butuhkan dengan dampak ekologis yang minim," katanya.
"Jika sampah sudah dicegah sejak awal, tidak ada sampah yang perlu dikelola, lebih praktis dan lebih mudah," tuturnya. "Baru untuk sampah yang tidak terhindari seperti sisa organik dari kegiatan dapur, sampahnya bisa dipilah sesuai jenis. Setelah itu, dikelola sesuai jenis materialnya."
"Sampah organik dijadikan kompos dengan fasilitas kompos rumahan. Lalu, untuk sampah non-organik yang tidak bisa digunakan kembali, dikirim ke pelaku daur ulang kredibel agar sampahnya terkelola dengan baik," tutupnya.
Advertisement