Sukses

Jelang Pemakaman Ratu Elizabeth II, Intip Sejarah Aturan Pakaian Berkabung Kerajaan Inggris

Anggota keluarga kerajaan Inggris akan mengikuti aturan pakaian berkabung untuk pemakaman Ratu Elizabeth II yang digelar hari ini, Senin (19/9/2022).

Liputan6.com, Jakarta - Anggota keluarga kerajaan Inggris akan mengikuti aturan pakaian berkabung untuk pemakaman Ratu Elizabeth II yang digelar hari ini, Senin (19/9/2022). Raja Charles akan mengenakan seragam seremonial sehari penuh dengan medali, dan akan membawa tongkat beludru merah serta emas Field Marshal Baton yang diberikan Ratu kepadanya pada 2012.

Sementara Pangeran Edward, Putri Anne, dan Pangeran William semuanya akan memakai seragam militer dan medali. Pangeran Andrew dan Pangeran Harry kemungkinan juga akan mengenakan pakaian sipil karena sudah pensiun.

Meskipun keduanya sudah tidak lagi memiliki tugas resmi kerajaan, tapi mereka diizinkan untuk mengenakan pakaian militer di rentetan acara pemakaman Ratu Elizabeth II selama akhir pekan lalu. Para keluarga perempuan diharapkan mengenakan gaun hitam dan topi formal, sedangkan pria akan mengenakan mantel hitam.

Di tengah kedukaan, perhatian tetap diberikan pada bagaimana anggota keluarga kerajaan menafsirkan aturan pakaian, sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan telah berubah seiring waktu. Pada 1982, foto-foto Putri Diana di pemakaman aktris dan Putri Monako Grace Kelly menunjukkan anggota kerajaan yang baru menikah dengan topi jerami terselubung, gaun hitam lengan panjang berkerah dan kalung hati sebagai pilihan tepat yang masih menunjukkan pembawaannya pada fesyen.

"(Putri Diana) memiliki perasaan untuk melihat apa yang diharapkan publik, dan hanya mengetahui bagaimana membuat nada yang tepat," kata sejarawan dan kurator mode Inggris Kate Strasdin dalam sebuah wawancara video pada 2021, dikutip dari CNN Senin (19/9/2022).

2 dari 4 halaman

Simbol Visual Kesedihan

Hitam merupakan lambang pakaian pemakaman kerajaan modern, begitu pun selama pemakaman Princess of Wales sendiri pada 1997. Potret memilukan dari Pangeran Philip, Pangeran William, saudara laki-laki Diana Charles Spencer, Pangeran Harry dan Pangeran Charles berjalan di belakang peti mati dalam setelan gelap adalah salah satu foto yang paling banyak dirujuk dalam sejarah kerajaan kontemporer.

Bahkan Nicole Kidman dan Elton John termasuk di antara selebritas yang mematuhi aturan berpakaian serba hitam dan formal untuk memberi penghormatan selama pemakaman yang ditonton jutaan orang di seluruh dunia. Meskipun hitam telah lama menjadi warna pilihan untuk berkabung, hal itu juga populer di kalangan orang kaya selama Abad Pertengahan dan di mana-mana saat terjadi kabar kedukaan di abad ke-19.

Menurut Strasdin, selama periode ini di Eropa dan Amerika aturan berpakaian berkabung berlaku, terutama bagi perempuan, didukung oleh munculnya publikasi wanita serta pakaian yang lebih terjangkau. Harper's Bazaar, misalnya, menyarankan pembaca untuk membidik "kesederhanaan seperti biarawati" pada 1868.

3 dari 4 halaman

Departemen Store Khusus

Bahkan department store modern lahir dari pakaian berkabung untuk ke pemakaman. Sekitar tahun 1840-an, Strasdin mengatakan, "emporium besar" muncul di London dan Paris dimaksudkan sebagai tempat pemberhentian untuk membeli kebutuhan pemakaman. "Di bawah satu atap, Anda bisa mendapatkan segalanya mulai dari alat tulis hingga perhiasan duka," katanya.

Gaya berkabung seseorang "berfungsi sebagai simbol visual kesedihan... sekaligus menunjukkan status, selera, dan tingkat kepatutan pemakainya," kata teks pengantar untuk pameran 2014 " Death Become Her: A Century of Mourning Attire" di Museum Seni Metropolitan. 

Warna hitam sempat pensiun pada 1938, setelah kematian nenek Ratu Elizabeth II, Countess of Strathmore. Sebuah foto menunjukkan Ibu Suri mengenakan gaun putih yang dirancang oleh Norman Hartnell untuk menghormati kematian ibunya. Konsep "berkabung putih" mengikuti contoh Maria, Ratu Skotlandia, yang dilukis dengan gaun berkabung putih setelah dia kehilangan banyak anggota keluarga di abad ke-16.

Tapi tidak ada yang lebih berpengaruh pada pakaian berkabung selain Ratu Victoria. Setelah kematian tak terduga suaminya Pangeran Albert pada 1861, raja secara terbuka mengungkapkan kesedihannya dengan mengenakan pakaian hitam setiap hari selama empat dekade sampai kematiannya sendiri. 

Victoria-lah yang membantu mengkodifikasikan nuansa mode kesedihan dan mempertahankan identitasnya sebagai "janda abadi", menurut Strasdin. Di era Victoria, "bahkan detail pakaian yang sangat kecil yang menunjukkan tahap berkabung Anda menjadi sangat penting," jelas Strasdin. 

4 dari 4 halaman

Ratu Victoria

 

Hal itu menunjukkan kekayaan dan status untuk mampu membeli seluruh pakaian berkabung, serta pengetahuan masyarakat untuk memahami semua aturan. Selama satu tahun satu hari, para janda diharapkan mengenakan pakaian berkabung lengkap, yang terdiri dari kain krep hitam matte tanpa hiasan, menurut Strasdin. 

Saat kesedihan seseorang memudar, warna dan kain lainnya bisa diperkenalkan kembali secara perlahan. Akhirnya, selama enam bulan terakhir dari periode dua setengah tahun, pakaian "setengah berkabung" dapat dikenakan dalam warna putih, abu-abu, kuning pucat, atau nuansa ungu atau lavender.

Pertunjukan kesedihan abadi Victoria akhirnya tidak populer karena mendorong aturan berpakaian yang lebih kaku, catat Strasdin. Menantu perempuannya, Ratu Alexandra, menandai pergeseran, melonggarkan batasan ketika Ratu Victoria lewat dan setelah putra sulungnya sendiri meninggal. Alexandra memilih gaun setengah duka yang berkilauan dari sifon sutra ungu muda dan manik-manik, serta kuning pucat dan abu-abu.

"Dia tahu bahwa masyarakat telah benar-benar berjuang dengan Victoria yang berkabung terus-menerus," kata Strasdin.  "Jadi Ratu Alexandra mengadopsi setengah berkabung selama sisa hidupnya, karena dia tahu bahwa berkabung penuh bukanlah pilihan umum yang populer."

Selama beberapa dekade, tradisi pakaian berkabung panjang yang tidak praktis telah ketinggalan zaman, tetapi pengaruh Victoria masih ada di masa berkabung kerajaan modern, dari warna yang keras hingga kepatuhan yang kaku pada aturan berpakaian. "Terlepas dari perubahan, saya pikir abad ke-19 masih tampak besar," kata Strasdin.