Liputan6.com, Pinrang - Kulit buah cokelat biasanya dibuang percuma. Tapi, kreativitas nyatanya bisa mengubah limbah dari kebun cokelat itu jadi bahan sabun cuci piring.
Sejak 2018, sejumlah ibu yang tergabung dalam kelompok usaha di Desa Pasang, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, merintis usaha sabun cuci dari kulit buah cokelatsabun. "Kita produksi atas nama berkelompok. Namanya kelompok usaha Massewa Pasang, yang artinya bersatu," kata Jumariah, salah satu anggota, ditemui di sela pameran 10 Tahun Cocoa Life, program inisiatif Mondelez, di Lapangan Barombong, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, Selasa (20/9/2022).
Advertisement
Baca Juga
Proses pembuatannya relatif sederhana. Kulit buah cokelat pertama-tama dipisahkan dari isinya. Lalu, kata dia, kulit atau cangkang dibersihkan dan dijemur hingga kering. "Waktu untuk mengeringkan tergantung ketuaannya. Kalau buahnya tua, kulitnya cepat kering," imbuh Jumriah.
Setelah itu, kulit dibakar hingga jadi abu. Abunya direndam di dalam air hingga air rendaman menjadi jernih. Air rendaman kemudian disaring, dipisahkan dari residunya.
"Nantinya (air rendaman) dicampur dengan bahan pembuat sabun, seperti SLS. Fungsi air cangkang kakao itu untuk membersihkan minyak," kata Jumriah.
Sabun lalu dikemas di botol berukuran 250 ml. Mereka menjualnya Rp8000 per botol. "Sebenarnya sekarang sudah naik, tapi kami sudah keburu kontrak," ucapnya sambil tertawa. Kontrak dimaksud adalah kemitraan dengan LSM yang membina kelompok usaha itu.
Jumriah menyebut kelompok usahanya bisa memproduksi sekitar 500 botol per bulan. Sabun itu saat ini lebih banyak dikonsumsi warga desa setempat, tapi tidak menutup kemungkinan dijual ke luar desa.
Â
Pendapatan Ekstra
Tak hanya mengolah kulit cokelat, para ibu juga membuat keripik dari bengkuang dan dodol aren. Keduanya ditanam di sela-sela pohon cokelat yang berfungsi sebagai pestisida alami.
"Kita bantu bapak-bapak yang produksi kakao. Daripada ibu-ibunya hanya tinggal di rumah, tapi kebutuhan semakin tinggi," ujarnya.
Petani saat ini tidak bisa hanya mengandalkan pendapatan dari berkebun cokelat saja. Nurtanio, salah satu pemilik kebun cokelat rakyat, mengaku hanya bisa menghasilkan sekitar 6--9 kilogram per bulan. Dengan harga biji cokelat kering saat ini sekitar Rp28 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram, uang yang dihasilkan dari memanen cokelat rata-rata antara Rp174 ribu sampai Rp261 ribu per bulan.
"Dengan teknik stek, kami bisa panen lebih cepat dan tak tergantung musim. Tapi kalau dulu, kami harus tunggu lama sebelum bisa berbuah," ujarnya ketika ditemui di kebun cokelat.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Abdul Muin yang memiliki sekitar 200 pohon cokelat di Desa Sipatuo, Kabupaten Pinrang. Ia mengaku bisa memanen enam kilogram biji cokelat yang dihasilkan dari dua kali panen dalam sebulan.
Bila hanya mengandalkan buah cokelat, pendapatannya tak akan menutupi kebutuhan keluarganya. Terlebih, dua dari tiga anaknya saat ini masih sekolah dan kuliah. "Saya juga punya sawah. Sebagian (berasnya) dijual, sebagian disimpan untuk makan sendiri," ujarnya.
Â
Â
Advertisement
Tak Bisa Intervensi
Â
Persoalan harga biji cokelat menjadi salah satu faktor penentu keberlanjutan usaha cokelat di Pinrang. Tanpa harga yang stabil dan bersaing, petani akan lebih mudah beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan. Hal itu pula yang disadari oleh pihak Pemerintah Kabupaten Pinrang.
Kepala Pengembangan Perkebunan Dinas Peternakan dan Perkebunan Pinrang, Jabbar Ali As'ad mengaku pemerintah tidak bisa mengintervensi harga jual. Harga diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
"Persoalan harga ini yang menjadi PR kita semua... Jadi, harusnya kita duduk bersama untuk mencari solusi harga yang terbaik yang petani terima, kemudian pedagang terima, dan pihak perusahaan juga terima itu," kata Jabbar.
Pemda, sambung dia, hanya bisa memantau proses budidaya tanaman cokelat. Bantuan, kata dia, diberikan dalam bentuk pemberian bibit cokelat, pupuk organik, hingga sarana prasarana pertanian agar bisa memudahkan kerja petani. Di sisi lain, pihak swasta, seperti Mondelez, membantu dalam proses pelatihan budidaya pertanian kepada petani.
Â
Intensifikasi Kebun
Andi Sitti Asmayanti, Direktur Sustainability, Mondelez International kawasan Asia Tenggara, melontarkan pernyataan senada. Pihaknya selaku pengguna biji cokelat sebagai bahan baku produksi mengaku tak bisa berbuat banyak menentukan harga karena hal itu diatur sepenuhnya oleh mekanisme pasar global.
"Kami juga tidak membeli biji cokelat langsung dari petani, melainkan dari pihak ketiga, seperti Berry Callebout (perusahaan pengolah cokelat)," ujarnya.Â
Mondelez, sambung dia, bisa membantu petani lewat penyediaan pelatihan dan dukungan pemberdayaan masyarakat lainnya. Perusahaan bersama Pusat Penelitian Kopi dan Kakao telah menyusun panduan cara bertanam kakao yang baik sejak 2018 yang telah dipublikasikan secara nasional.
"Dari situ, kami bekerja sama dengan mitra kami menurunkan manual training kakao di lapangan. Guideline ke manual itu kami sesuaikan dengan kondisi yang ada. Kami ada guideline, misalnya disesuaikan untuk perempuan," sahut perempuan yang akrab disapa Yanti itu.
Lewat panduan cara bertanam yang baik, petani diharapkan bisa meningkatkan kapasitas produksi sehingga pendapatan petani lebih tinggi dari luasan yang sama. Petani juga didorong untuk mengintensifikasi lahan dengan menanam beragam tanaman pelindung, seperti jagung, yang bisa menambah penghasilan. Selain itu, pihaknya juga menyiapkan layanan simpan pinjam bagi petani serta subsidi pupuk kakao.
"Kami juga berikan premi bagi petani, yaitu tambahan harga dari harga pasar yang diberikan kepada petani," ia menambahkan.
Advertisement