Sukses

Aktivis Thailand Dipenjara 2 Tahun karena Berdandan Seperti Ratu dalam Fashion Show Satire

Pengadilan telah menjatuhi hukuman pada seorang aktivis karena "mengejek" monarki setelah berpakaian seperti ratu Thailand selama aksi protes pada 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Thailand telah memvonis bersalah seorang aktivis karena dianggap  "mengejek" monarki setelah dia berpakaian seperti ratu Thailand selama aksi protes pada 2020 lalu.

Jatuporn Saeoueng (25) dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Senin 12 September 2022 karena menjadi bagian dari protes jalanan di Bangkok. Saat itu  dia berjalan di karpet merah mengenakan pakaian tradisional merah muda dengan pengunjuk rasa lain sambil ikut memegang payung untuknya.

Gaunnya sendiri tampak mirip dengan yang dikenakan oleh ratu Thailand di acara-acara publik. Saat Jatuporn berjalan di karpet merah, orang-orang di sampingnya meneriakkan, "Hidup ratu".

Pertunjukan fesyen jalanan itu dimaksudkan untuk memprotes anggota keluarga kerajaan yang diduga menggunakan dana publik sebesar 416.000 dollar AS atau setara Rp6,2 miliar untuk mempromosikan peragaan busana Putri Sirivannavari, menurut media lokal Coconuts, dikutip dari almostmag.co Kamis (22/9/2022). 

Di Thailand, ada hukum lèse-majesté yaitu melarang siapa saja  menghina, mencemarkan nama baik, atau mengancam raja, ratu, dan anggota keluarga kerajaan lainnya, dan hukuman berkisar antara tiga hingga 15 tahun penjara.

Sebelum putusan pengadilan, Jatuporn mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa dia “tidak berniat untuk mengejek siapa pun.” "Saya berpakaian untuk diri saya sendiri pada hari itu, untuk versi diri saya dalam pakaian tradisional Thailand," katanya, mengutip AP.

Istana dan pengadilan belum mengomentari kasus ini. Semakin banyak aktivis yang dituduh “menghina” monarki di Thailand, sejak Raja Maha Vajiralongkorn menjadi pernguasa pada 2019.

 

2 dari 4 halaman

Sering Dikritik Rakyat

Bukan kali ini saja kritik terhadap monarki Thailand terjadi. Sebelumnya, para aktivis telah mengkritik pengeluaran keluarga kerajaan dan penggunaan militer negara untuk mempertahankan kekuasaan monarki.

Pada Januari tahun lalu, seorang mantan pegawai negeri sipil berusia 63 tahun, Anchan dijatuhi hukuman 43 tahun penjara karena membagikan klip audio yang dianggap menghina kerajaan di media sosial. Sebelumnya Anchan dijatuhi hukuman 87 tahun penjara, tetapi hukumannya dipotong setengah karena dia setuju untuk mengaku bersalah.

Dia mengatakan hanya membagikan audio dan tidak mengunggah atau mengomentarinya. Menurut kelompok hak asasi manusia di Thailand, anggota keluarga kerajaan telah menggunakan hukum lèse-majesté ini untuk menuduh sekitar 210 aktivis sejak November 2020. 

Hal tersebut karena maraknya protes anti-pemerintah di mana para demonstran menuntut perubahan pada monarki. "Pertunjukan busana tiruan adalah satir tentang situasi politik negara - acara publik yang damai mirip dengan festival jalanan," kata Amnesty International, menurut BBC. "Peserta tidak boleh dihukum karena berpartisipasi dalam pertemuan damai.”hukum lèse-majesté

3 dari 4 halaman

Hukum lèse-majesté

Hukum lèse-majesté, adalah sebuah istilah Perancis yang berarti "melakukan kesalahan terhadap keagungan", adalah pelanggaran terhadap martabat penguasa yang memerintah atau terhadap negara. Perilaku ini pertama kali diklasifikasikan sebagai pelanggaran pidana terhadap martabat Republik Romawi Romawi kuno.

Dalam periode Dominasi, atau Kekaisaran Akhir, para kaisar menghilangkan ornamen republik dari pendahulu mereka dan mulai menyamakan negara dengan diri mereka sendiri. Meskipun secara hukum princeps civitatis (gelar resminya, artinya, kira-kira, 'warga negara pertama') tidak pernah bisa menjadi penguasa karena republik tidak pernah secara resmi dihapuskan, kaisar didewakan sebagai divus, atau dianggap sebagai dewa.

Kaisar yang didewakan menikmati perlindungan hukum yang sama yang diberikan kepada dewa-dewa kultus negara; pada saat itu digantikan oleh agama Kristen, apa yang sama sekali tidak disebut tradisi monarki telah menjadi mapan.

Konsepsi yang lebih sempit tentang pelanggaran terhadap Yang Mulia sebagai pelanggaran terhadap mahkota mendominasi di kerajaan-kerajaan Eropa yang muncul pada periode awal abad pertengahan. Di Eropa feodal, beberapa kejahatan diklasifikasikan sebagai lèse-majesté meskipun tidak secara sengaja ditujukan terhadap mahkota. Hukum lèse-majesté misalnya adalah pemalsuan, sehingga diklasifikasikan karena koin memiliki gambar dan/atau lambang raja.

4 dari 4 halaman

Kerajaan Eropa

Dengan lenyapnya monarki absolut di Eropa, lèse-majesté dipandang sebagai kejahatan yang lebih ringan. Namun, tindakan jahat tertentu yang pernah diklasifikasikan sebagai kejahatan lèse-majesté masih dapat dituntut sebagai pengkhianatan.

Republik masa depan yang muncul sebagai kekuatan besar umumnya masih diklasifikasikan sebagai kejahatan setiap pelanggaran terhadap perwakilan tertinggi negara. Undang-undang ini masih diterapkan juga di monarki di luar Eropa, terutama di Thailand dan Kamboja modern.

Belgium misalnya, pada 28 Oktober 2021, Mahkamah Konstitusi Belgia memutuskan bahwa undang-undang sejak tahun 1847 yang menghukum menghina raja dengan denda atau hukuman penjara melanggar hak atas kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Belgia serta Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Proposal untuk mencabut undang-undang tahun 1847 akan diajukan di Parlemen.

Di Denmark, raja dilindungi oleh paragraf fitnah biasa (267 KUHP Denmark yang memungkinkan hingga empat bulan penjara). Ketika seorang permaisuri, janda ratu atau putra mahkota menjadi target, hukumannya dapat ditingkatkan sebesar 50 persen.