Liputan6.com, Jakarta - Adalah Riya Kumari, seorang siswi yang dinyinyiri pejabat senior layanan sipil utama India (IAS), Harjot Kaur Bamhrah, ketika berbagi panggung dalam lokakarya yang diselenggarakan pemerintah India dengan UNICEF di ibu kota negara bagian Bihar, baru-baru ini.
Melansir Says, Selasa (4/10/2022), menurut laporan harian berbahasa Hindi, Dainik Bhaskar, Kumari bertanya apakah pemerintah negara itu dapat membantu menyediakan pembalut dengan tarif bersubsidi 20--30 rupe (sekitar Rp3,7 ribu--Rp5,6 ribu) seperti halnya kebutuhan dasar lain.
Advertisement
Baca Juga
Pertanyaan gadis itu mendorong hadirin, khususnya siswa berusia 15 dan 16 tahun, bertepuk tangan. Tapi, reaksi kontras justru diperlihatkan petugas IAS yang pertama-tama mencaci-maki penonton karena bertepuk tangan.
Setelahnya, Bamhrah memusatkan perhatiannya pada gadis di atas panggung dengan menanyakan apakah "tuntutan-tuntutan" ini akan berakhir. "Besok kamu akan meminta pemerintah menyediakan jeans. Mengapa tidak beberapa sepatu yang indah setelah itu? Dan seterusnya," katanya.
Ia menyambung, "Akhirnya, kamu akan meminta pemerintah membantumu dengan metode KB dan kondom. Kalian semua hanya ingin semuanya gratis dari pemerintah."
Siswi yang disebut tinggal di daerah kumuh itu kemudian memberitahu Bamhrah bahwa pemerintah ada karena rakyat dan suara mereka. Karena itu, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat harus jadi tanggung jawab pemerintah saat itu. Kesal dengan kehadiran gadis itu, Bamhrah yang merupakan birokrat senior di Kementerian Kesejahteraan Perempuan dan Anak India, mengejeknya dengan mengatakan bahwa "menuntut" hal-hal seperti itu dari pemerintah adalah "tindakan bodoh."
Â
Permintaan Berlebihan
Juga, bahwa jika orang memilih sebagai imbalan atas layanan, mereka tidak boleh memilih sama sekali. "Jangan memilih. Pergi ke Pakistan. Apakah kamu memilih uang dan layanan? Mengapa kamu perlu mengambil sesuatu dari pemerintah? Cara berpikir ini salah. Lakukan sendiri," jawab Bamhrah dengan marah.
Untuk ini, gadis itu menegaskan, "Saya orang India. Mengapa saya harus (pergi ke Pakistan)?"
Says menjelaskan, menyuruh orang "pergi ke Pakistan" digunakan sebagai penghinaan oleh pemerintah India dan petugasnya untuk membungkam warga India karena berani bertanya, bahkan menanyakan fasilitas dasar. Saat warga berharap seorang wanita dalam posisi berkuasa bersimpati pada masalah dasar kebersihan menstruasi yang tidak bisa diakses jutaan gadis di India, petugas tersebut justru memberi tahu siswi bahwa bahkan meminta toilet terpisah saja terlalu berlebihan.
Ketika siswa perempuan lain menyoroti fakta bahwa toilet sekolah mereka rusak dan siswa laki-laki sering masuk ke toilet yang diperuntukkan bagi perempuan, Bamhrah bertanya apakah mereka memiliki toilet terpisah untuk laki-laki dan perempuan di rumah.
"Jika Anda terus meminta banyak hal di tempat yang berbeda, bagaimana cara kerjanya?"
Â
Advertisement
Mengelak
Ketika pernyataannya dikonfirmasi media, Bamhrah mengklaim bahwa ia tidak mengatakan apa yang ia katakan, meski ada video yang beredar. Ia bahkan menyebut bahwa laporan peristiwa itu dilakukan untuk "memfitnah" reputasinya.
"Itu adalah pelaporan yang salah, jahat, dan salah tentang suatu peristiwa," katanya, menambahkan bahwa ia "dikenal sebagai salah satu pembela hak dan pemberdayaan perempuan yang paling gencar" di negara itu, lapor The Hindu.
Namun, dengan Komisi Nasional untuk Perempuan India (NCW) dan beberapa orang terkemuka mengutuk pernyataannya dan menjulukinya "tidak layak" jadi pegawai negeri, Bamhrah sejak itu mencoba 'meluruskan' pernyataannya. Ia mengaku menyesal "jika sentimen beberapa gadis atau peserta terluka dengan beberapa kata-kata saya." Ia mengklaim "niatnya bukan untuk mempermalukan," tapi "mendorong mereka maju" di masa depan.
Sementara itu, Riya yang berusia 20 tahun itu membela pertanyaannya. Dalam wawancara dengan media, Riya mengatakan pertanyaannya tentang subsidi pembalut tidak salah.
Â
Kasus Putus Sekolah
Siswi itu berkata, "Permintaan saya tidak terlalu besar. Saya hanya mengatakan pemerintah harus memberikan pembalut gratis karena memang pemerintah memberikan banyak hal gratis. Saya bahkan tidak meminta petugas untuk menyediakan pembalut secara pribadi."
"Saya dapat membelinya sendiri, tapi banyak orang di daerah kumuh tidak mampu membelinya. Orang-orang di daerah kumuh saya bahkan tidak mampu pergi ke klinik ketika mereka jatuh sakit. Jadi dalam situasi seperti itu, bagaimana bisa mereka membeli pembalut?" katanya.
"Kami pergi ke sana untuk menyampaikan keprihatinan kami, bukan untuk bertarung," imbuhnya.
Di India, menstruasi tetap jadi topik yang tabu. Hampir 23 juta anak perempuan putus sekolah setiap tahun setelah mereka mulai menstruasi karena kurangnya akses ke fasilitas kebersihan menstruasi yang layak.
Stigma sosial yang dihadapi perempuan menstruasi di negara itu sering kali memaksa mereka hidup di bawah batasan ketat atau menghadapi pengucilan selama siklus menstruasi mereka setiap bulan. Menurut survei yang dilakukan pemerintah India, banyak dari mereka menghadapi masalah kesehatan, seperti disfungsi menstruasi, anemia, periode panjang atau pendek, dan infeksi saluran reproduksi, yang dapat dicegah dan bukan karena kurangnya kesadaran atau manajemen kebersihan menstruasi yang buruk.
Advertisement