Liputan6.com, Jakarta - Isu kesehatan mental di Indonesia telah menjadi fokus berbagai pihak. Meski tak dipungkiri masih diselimuti tabu dan stigma negatif, namun perhatian pada gangguan kesehatan jiwa semakin tumbuh kesadarannya di masyarakat.
"Sebenarnya masalah gangguan jiwa di mana saja bisa terjadi dan bisa siapa saja, dari status ekonomi apa saja dari rendah sampai tinggi, dari kondisi lingkungan apa saja semua memiliki potensi untuk mengalami masalah bahkan gangguan jiwa," kata Ahli Madya Epidemiologi Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Edduwar Idul Riyadi, dalam jumpa pers virtual "Peluncuran Survei Kesejahteraan Mental dan Pusat Kesehatan Digital TikTok," Rabu, 12 Oktober 2022.
Advertisement
Baca Juga
dr. Edduwar melanjutkan prevalensi gangguan jiwa berat saja di seluruh dunia hampir sama. Misal, gangguan jiwa berat disebut sebagai gangguan psikotik hingga skizofrenia, di seluruh dunia tidak jauh beda, yakni rata-rata 0,5--1 persen.
"Artinya bahwa tidak ada pengaruh dia di kota, Eropa, Amerika, Indonesia, itu tetap prevalensinya seperti itu. Memberi gambaran bahwa masalah gangguan jiwa itu memang ada di bagian masyarakat kita. Semakin banyak penduduk, semakin juga tinggi prevalensi gangguan jiwa di satu daerah tersebut," terangnya.
Ia mengungkapkan bahwa di kota, seperti Jakarta dengan penduduk yang padat, tingkat stresnya lebih tinggi dibanding di desa. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat sebagai faktor risiko meningkatnya stres pada seseorang.
"Peningkatan stres itu juga bisa memengaruhi kondisi kejiwaan seseorang, tapi ingat, kondisi kejiwaan seseorang juga dipengaruhi oleh ketahanan atau resiliensi mental seseorang," tuturnya.
Self-Care
dr. Edduwar mengatakan ketahanan mental sangat berperan dan berpengaruh pada diri seseorang. Ketahanan mental, disebut dr. Edduwar, tidak instan tetapi melalui suatu proses dari tahap perkembangan mulai masa kecil, remaja dan dewasa, termasuk kehidupan atau lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
"Ini yang membentuk ketahanan mental seseorang, sehingga kadang-kadang kita berpikir 'kok, masalah segitu saja bisa jadi terganggu' ini yang biasa kita pikir sepele, padahal sebenarnya itu bukan masalah sepele karena setiap orang memiliki ketahanan mental yang masing-masing berbeda untuk menilai stres-stres atau masalah yang timbul dalam kehidupannya," kata dr. Edduwar.
Ia menegaskan untuk tidak memandang remeh suatu persoalan, mengingat setiap orang memiliki kondisi-kondisi berbeda dalam menghadapi stresnya. Dalam situasi tersebut, ia menyarankan untuk pergi ke tenaga profesional atau bisa self-care.
"Self-care itu salah satu cara kita untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan mental yang ada dalam diri kita. Kalau kita mumet kerjaan seperti lagi banyak tekanan, tugas, capek ingin ngopi itu salah satu sikap untuk menangani kondisi stres kita itu disebut sebagai self-care kita, kadang-kadang kita enggak sadari bahwa itulah self-care," terangnya.
Â
Advertisement
Stigma Negatif
Setelah 'melepas' sejenak stres dengan cara sendiri, dapat kembali melanjutkan aktivitas, termasuk bekerja. "Daripada memaksakan diri harus menyelesaikannya akhirnya jadi buntu, persoalan seperti itu yang sering kita hadapi," tambahnya.
dr. Edduwar mengungkapkan, "Mengajarkan kepada teman-teman bahwa kita punya cara masing-masing dalam melakukan self-care itu adalah suatu hal yang baik untuk mengatasi stres-stres kehidupan sehingga tentu akan lebih nyaman, leluasa dan mental kita akan lebih sehat."
Sementara, tak dapat dipungkiri, isu kesehatan mental telah lama diselimuti stigma negatif, termasuk di Indonesia. "Stigma itu lebih pada bagaimana kesehatan mental dianggap sebagai sesuatu yang negatif," kata dr. Edduwar.
Ia menambahkan, stigma negatif pada isu kesehatan mental muncul akibat pernyataan maupun istilah yang dikemukakan masyarakat secara awam. Pernyataan itu meliputi orang dengan masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa berhubungan dengan hal di luar nalar, supranatural, hal-hal klenik, dan tidak masuk akal.
"Ada istilah yang disebut kalau dalam bahasa Inggris itu crazy, mad, dan dalam bahasa Indonesia kadang-kadang disebut sebagai suatu kegilaan, atau suatu di luar pikiran akal manusia yang disebut suatu kegilaan. Istilah ini sering dialamatkan pada penderita gangguan jiwa," tambahnya
Melek Kesehatan Mental
Istilah negatif yang ditempelkan pada penderita gangguan kesehatan mental kemudian disebut sebagai stigma. Hal tersebut, dikatakan dr. Edduwar jadi suatu hal yang memalukan hingga tabu.
"Bahkan, orang yang mengalami gangguan jiwa itu terdiskriminasi karena istilah negatif tersebut. Orang menghindari, menjauhi, sehingga orang itu jadi tersingkir," ungkapnya.
dr. Edduwar menambahkan, "Itu yang menyebabkan berbicara gangguan jiwa sering dianggap memalukan, khususnya bagi keluarga atau orang-orang dalam budaya timur. Itu awalnya."
Lebih lanjut dr. Edduwar berkata, "Sebenarnya kondisi itu diciptakan oleh kita sendiri. Oleh karena itu, kita sendiri yang harus menghilangkannya. Masyarakat dan generasi sekarang sudah harus menghilangkan stigma tersebut."
Salah satu caranya adalah mengganti istilah-istilah negatif dengan yang lebih positif. "Memberi nuansa yang menyemangati, bukan mendiskriminasi, sehingga itu tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu," lanjutnya.
dr. Edduwar melihat anak-anak muda saat ini lebih antusias dan semangat dalam membahas kesehatan mental. "Tidak lagi menganggapnya sebagai hal yang tabu. Kalau kita mewacanakan lebih bagus, dengan semangat positif, tentu perasaan tabu, malu, terstigma, akan sendirinya hilang," jelasnya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar satu dari lima penduduk. Dengan kata lain, ada sekitar 20 persen populasi di Indonesia memiliki potensi masalah gangguan jiwa.
Advertisement